20 Tahun Walhi: Gerakan Berbasis Massa Sudah Saatnya Diwujudkan

Jakarta, Pada usia 20 tahun dan pada kondisi politik seperti sekarang, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) semestinya menjadi organisasi yang tak hanya sektoral, melainkan mengembangkan kolaborasi dengan sektor lain, seperti, soal buruh dan kesehatan. Di luar itu, Walhi sudah waktunya mengubah bentuk organisasinya agar menjadi gerakan lingkungan hidup berbasis kekuatan rakyat, sehingga ikut mempercepat transisi politik menuju situasi kondusif untuk menegakkan demokrasi kerakyatan.

Wacana tersebut dilemparkan Arianto Sangaji, Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka yang berpusat di Palu (Sulteng), dalam seminar Gerakan Lingkungan di Indonesia yang diadakan dalam rangka peringatan 20 tahun Walhi, di Jakarta, Senin (23/10). Panitia menghadirkan pembicara lainnya, yakni Direktur Walhi Emmy Hafild, Bambang Harymurti (Majalah Tempo) dan Emil Salim (aktivis lingkungan yang juga mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup).

Diskusi sesi pertama terkesan menarik karena MM Billah (dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan/ Kontras) yang menjadi moderator, mampu menggiring peserta untuk memfokuskan pembicaraan pada masalah struktur organisasi Walhi di masa sekarang dan mendatang. Beberapa pemikiran muncul, antara lain ada yang menginginkan agar Walhi tak menjadi organisasi politik, punya kemampuan lebih spesifik (profesional) dalam mendalami suatu ilmu untuk bekal adu argumentasi, menjadi gerakan penekan (pressure group), sampai keinginan untuk menjadi gerakan ideologis.

Tak lagi holistik

Emil Salim dalam kesempatan itu berpendapat, paradigma pembangunan pada abad ke-21 adalah pemikiran bahwa pembangunan tak melalui lagi pendekatan holistik seperti pada masa lalu, melainkan pendekatan dari bawah dan memperhatikan aspek keadilan dan pemberdayaan masyarakat sipil. Penggunaan sumber daya alamnya juga dengan cara bagaimana bisa senantiasa diperbarui. Sementara, atas bermacam masukan, Emmy Hafild menyatakan, upaya menjadikan Walhi sebagai organisasi politik pernah dicoba dan ternyata gagal karena mendapat tantangan keras dari dalam. Sedang Arianto berpendapat, jika tak bisa berbentuk organisasi rakyat, setidaknya Walhi mentransformasikan dirinya kepada gerakan masyarakat. “Bukan kekuatannya, tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat sipil,” kata Arianto.

Demokratis tetapi elitis

Arianto yang juga ‘orang dalam’ Walhi mengakui organisasi tersebut sebagai paling solid dan demokratis, meskipun juga sering terjadi masalah internal. Akan tetapi, di sisi lain ia mengkritik keberadaan Walhi yang dinilainya sebagai organisasi elitis yang cenderung hanya menyuarakan kepentingan kelas menengah dan kalangan terpelajar. “Perjuangan untuk mengubah Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 seolah hanya perjuangan Walhi, sama sekali tak mendapat dukungan kuat dari rakyat,” jelasnya memberi contoh. Menurut Arianto, Walhi sebenarnya berpotensi menjadi organisasi lingkungan dengan dukungan luas dari rakyat. “Potensi itu ada pada masyarakat korban berbagai konflik lingkungan. Potensi ini tak tergarap karena pendekatan organisasi Walhi cenderung sebatas penyelesaian kasus,” tuturnya. Seharusnya, lanjut Arianto, Walhi dapat mengintegrasikan pendekatan penyelesaian kasus dengan pengembangan konstituennya. Implikasinya, katanya, Walhi akan tumbuh menjadi organisasi lingkungan, sekaligus organisasi rakyat. Kurangnya perhatian terhadap pengembangan organisasi rakyat sendiri dan gerakan lingkungan yang masih bersifat sektoral, tambah Arianto, merupakan kelemahan lain dari Walhi. Akibat lebih menekankan perhatian pada penyelesaian kasus, Walhi nyaris tak punya perhatian untuk mendorong terbentuknya organisasi rakyat dengan cakupan wilayah yang luas; padahal bisa dilakukan berdasarkan kesamaan isu pada beberapa daerah. (tri)