Buntut Penertiban Tambang, Warga Dongi-dongi Kena Hujan Peluru
Belasan warga Dongi-dongi, terkena peluru karet aparat kepolisian, Selasa siang (29/3/16) di Pos Polisi Kehutanan (Polhut) Ranoromba, Desa Bora Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sekitar 900 personil polisi bersenjata lengkap memblokir Jalan poros Palu-Napu, sejak pagi mencegah petani Dongi-dongi aksi damai peringatan “Hari Ketiadaan Tanah Internasional” bersama berbagai elemen masyarakat sipil dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR).
Aksi diikuti berbagai organisasi masyarakat sipil dengan tujuan Kantor DPRD, Kapolda, Gubernur Sulteng dan Balai Taman Nasional Lore Lindu. Aksi berisi kampanye anti perampasan dan monopili tanah oleh perkebunan skala besar, pertambangan korporasi. FPR bersama elemen yang terlibat menyerukan penyelesaian konflik agraria dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, termasuk tuntutan melegalkan tambang rakyat.
Petani Dongi-dongi dan penambang rakyat di bawah pimpinan Forum Petani Merdeka (FPM), hendak menuju Kota Palu untuk bergabung dalam demonstrasi bersama FPR. Di tengah jalan mereka dihadang barikade polisi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng, Ahmar Wellang, menyatakan, massa petani hendak aksi damai di Palu, tak anarkis. “Penyerangan polisi buntut negosiasi yang buntu,” katanya.
Polisi menghalangi sekitar 10.000 massa petani dan merazia kendaraan yang hendak demonstrasi di DPRD Sulteng. Negosiasi tak cukup menenangkan massa hingga memicu kegaduhan dan penembakan yang mengakibatkan kekacauan.
“Tindakan pengamanan berlebihan, massa petani langsung dihadapkan dengan moncong senjata. Tanpa ada dialog lebih baik,” katanya.
Kronologis dari Front Perjuangan Rakyat (FPR), menyebutkan, rombongan massa setiba di Ranoromba, ditahan polisi dan digeledah. Saat negosiasi, massa dari belakang mendesak ke depan. Komunikasi tak efektif karena massa banyak hingga kemacetan dua kilometer. Massa di belakang tak mengetahui terjadi negosiasi di depan. Dari belakang kesesakan membuat massa petani mulai berteriak. “Maju sudah!”
Tindakan ini dianggap polisi sebagai upaya membuka blokade.
Sesaat setelah itu, polisi menembakkan gas air mata. Ribuan massa terdesak berhamburan, dari mobil turun ke jalan berlari membelakangi blokade. “Polisi saat itu tak hanya mengarahkan senjata ke atas, juga ke kumpulan massa. Massa berlarian mundur. Polisi mulai menembak massa membabi buta dan menimbulkan beberapa korban,” tulis FPR dalam kronologis kejadian.
Data sementara FPR, tercatat 64 orang masih ditahan kepolisian di Ranoromba Desa Bora, Sigi. Belum diketahui jelas alasan penahanan. Beberapa orang dibawa ke Polda Sulteng, 14 orang mengalami luka tembak, ada bagian kepala, telinga, punggung, pinggang, pantat dan kaki.
Polisi mengakui terjadi penembakan ke massa tani menggunakan peluru karet. Tindakan itu diambil aparat kepolisian untuk menghalau massa petani yang merangsek menuju Palu.
“Ada 10 orang terluka kena peluru karet, sudah dilarikan ke RSU Bhayangkara Palu untuk perawatan,” kata Wakapolda Sulteng Kombespol Leo Bona Lubis, dikutip dariViva.co.id.
Penertiban tambang rakyat
Serangan berdarah polisi ini rangkaian operasi penertiban tambang rakyat Dongi-dongi. Blokade dan sweeping terhadap penambang rakyat dilakukan aparat gabungan kepolisian dan TNI sejak 23 Maret 2016. Operasi ini instruksi Gubernur Sulteng, guna penertiban tambang rakyat Dongi-dongi.
Hasil identifikasi pemerintah daerah tercatat sekitar 3.000 penambang merusak Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Mereka tak hanya dari Poso, Palu dan Sigi (Sulteng) juga Manado dan Kotamobagu (Sulawesi Utara), Kendari (Sulawesi Tenggara), Gorontalo dan Jawa. Sedangkan kawasan tambang itu sekitar lima hektar.
Kronologis LBH Sulteng, pada 23 Maret, kepolisian membangun Pos Portal di Dongi-dongi KM 74. Personil gabungan terdiri 100 polisi, 30 tentara, 30 satpol PP, dari Poso. Petugas ini menyebarkan surat edaran Bupati Poso, diterima warga, dibagi-bagikan. Mulai saat itu penambang berangsur-angsur turun. Mereka diberikan ultimatum sampai 25 Maret 2016.
Pada 26 Maret, beredar isu aparat kepolisian akan razia ref (bongkahan emas) di rumah-rumah warga. Warga demonstrasi di lapangan, semua turun protes. Terjadi ketegangan. Datang Bupati Poso dan Balai Taman Nasional, meredahkan kemarahan warga.
Bupati Poso Darmin A. Sigilipu menyampaikan, akan menutup tambang sementara. “Penambang dari luar dipersilakan turun, kalau tak ada uang silakan minta sama Bupati Poso,” katanya. Darmin berjanji, akan memberikan dispensasi waktu tiga hari untuk mengeluarkan material dari Dongi-dongi. Namun tak pernah ada warga bisa lolos di Pos Polisi Ranoromba. Semua bongkahan emas ditangkap polisi.
Aktivis LBH Sulteng, Ahmar Wellang menguraikan, pada 28 Maret, pengurus FPM, sosialisasi untuk demonstrasi ke Palu untuk meminta kejelasan tapal batas Lore Lindu dan izin membawa bongkahan emas. Pengurus FPM mengimbau, seluruh penambang tak membawa ref ke Palu.
“Subuh 29 Maret, penambang siap turun ke Palu meninggalkan Dongi-dongi.”
Sementara itu, aktivis Yayasan Tanah Merdeka Adriansyah mengkritik pendekatan represif kepolisian. Kejadian ini, katanya, menunjukkan kepolisian tetap menggunakan cara-cara represif ketika menghadapi masyarakat. Tidak bisa sesederhana cara aparat kepolisian memandang masalah ini.
“Masalah Dongi-dongi sangat kompleks, ada sejarah struktural yang menempatkan orang Dongi-dongi selama ini sebagai korban. Mereka petani korban, dari Pegunungan Kamalisi, Kulawi masa lalu. Sekarang memilih jalan sebagai penambang rakyat, akibat negara tak hadir memberikan penguatan pada produksi petani.”
Tambang rakyat Dongi-dongi, katanya, tak bisa dipandang kejahatan. “Melainkan negara gagal memenuhi hak-hak dasar, tak pernah mengakui sungguh-sungguh orang Dongi-dongi.”
Petani korban
Sejak petani Dongi-dongi memutuskan menjadi penambang rakyat menyulut reaksi Pemerintah Sulteng dan resistensi mendadak dari aktivis LSM Palu. Sebagian LSM mengkritik dan menyalahkan petani karena dianggap merusak cagar biosfer dunia, TNLL. Pemerintah Sulteng segera menertibkan guna mengeluarkan penambang dari Dongi-dongi.
Sejak Dongi-dongi direbut sebagai wilayah reklaiming, pengakuan sungguh-sungguh Pemerintah Sulteng baru didapatkan pada momentum Dampak Cakupan Luas Strategis (DCLS). Kawasan Dongi-dongi jadi enclave tahap pertama 1.531 hektar, implikasi perubahan RTRW Sulteng 2013.
Hingga kini tapal batas defenitif antara wilayah TNLL dengan enclave Dongi-dongi belum jelas. Terjadi perbedaan tafsir antara masyarakat Dongi-dongi dengan Balai Besar TNLL maupun Pemerintah Sulteng.
“Masalah ini sengaja dibesar-besarkan dengan menggandeng isu konservasi. Hingga detik ini belum ada dialog multipihak serius, tentang penanganan tambang rakyat dan penentuan batas BTNLL dan masyarakat Dongi-dongi,” ucap Ahmar.
Pemerintah, katanya, sengaja menggunakan pendekatan represif dan kekerasan. Padahal, masyarakat penambang sepakat meninggalkan lokasi tambang menunggu tim Komisi III DPRD Sulteng yang berjanji meninjau lokasi saat demo Maret 2016.
Emas disita
Sejak 1999-2013, katanya, tak ada sentuhan apapun dari negara malah terjadi penangkapan dan ancaman relokasi menghantui sepanjang waktu. Sekolah dibangun swadaya oleh gereja dan petani. Petani beragam suku dan agama itu, dengan gagah berani hidup di kawasan bekas HPH milik PT Kebun Sari. Mereka petani relokasi.
“Kami paham tambang ini masih ilegal, tetapi apa alasan polisi mengambil bongkahan emas?” kata Udin, warga Dongi-dongi, kepada Mongabay, Rabu (30/3/16).
Udin juga aktivis petani Sulteng menilai, tambang rakyat yang mengandalkan tenaga, hingga siapa saja bisa melakukan. Ledakan tambang rakyat Dongi-dongi, tersiar lewat pengabaran dari mulut ke mulut.
Dengan razia bongkahan emas, katanya, tak menunjukkan upaya menyelesaikan masalah. Justru menimbulkan kerugian masyarakat. “Masyarakat bertaruh nyawa di dalam tanah mencari sesuap nasi. Bongkahan batu yang mengandung emas semua disita polisi.”
Beberapa korban tembakan yang berhasil diidentifikasi: 1. Akbar asal Kecamatan Palolo, Sigi Sumber: LBH Sulteng |
Sumber : mongabay.co.id
Edisi : 30 Maret 2016