Ekploitasi Sumber Daya Alam Industri Ekstraktif di Morowali Gagal Sejahterakan Rakyat
Sadar, sadar, sadar! Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) berbasis industri ekstraktif itu lebih banyak ruginya daripada untungnya, apalagi kalau dilakukan seenak perutnya. Contoh nyatanya aktivitas pertambangan di Morowali yang seperti “dewa mabuk”, tabrak sana-tabrak sini.
“Aktivitas pertambangan di Morowali dinilai bisa mengancam kesehatan penduduk setempat seperti halnya di Desa Bahomakmur, Kecamatan Bahodopi dan desa One Pute Jaya Kecamatan Bungku Timur yang berjarak sekitar 200-300 meter dari jalan angkut (hauling road) PT. Citra Mandiri Putra Perkasa (CMPP) dan PT. Bintang Delapan Mineral (BDM),” terang Yayasan Tanah Merdeka (YTM), seperti disampaikan Adriansa Manu, Manager Kampanye & Jaringan Yayasan itu, di Palu (29/9).Berdasarkan investigasi Yayasan Tanah Merdeka (YTM), ada banyak perusahaan melakukan penambangan tidak teratur dan tidak terarah, selain material yang tergali pada front penambangan tidak ditutup kembali. Tidak adanya disposal area baik over burder (OB) maupun lapisan tanah penutup (Top Soil) bahkan OB dan Top Soil ditumpuk pada satu tempat. Penambangan dilakukan dengan sistem penambangan terbuka (open pit) dan tidak membuat jenjang (Bench), seharusnya ada dan disertai dimensi jenjang yang sesuai dengan ketinggian dan kondisi material, dimana tinggi bench maksimum 6 m dan kemiringan (slope) maksimum 450 , sementara jalan angkut (hauling road) berdebu. Selama ini perusaan tidak melakukan penyiraman secara rutin. “Masyararakat sudah sering kali mengeluhkan, tetapi sampai detik ini belum ada tindakan perusahaan untuk melakukan perbaikan, terutama holing road yang dianggap mengancam kesehatan, jika terus demikian ini dapat mengakibatkan Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) 5 atau 10 tahun yang akan datang,” ungkap Adriansa. Selain itu, kegiatan pengerukan (mining) hanya berjarak 1-2 km dari pemukiman warga, YTM menganggap ini dapat berpotensi terhadap penyingkiran penduduk setempat. Sebab, jika perusahaan terus melakukan aktivitasnya, ini akan berdapak besar terhadap penurunan produktivitas petani yang melakukan kegiatan pertanian. Selain itu, juga perpotensi terhadap gangguan kesehatan, dan mengancam kenyamanan terutama penduduk yang baru saja melahirkan karena suara bising truk, lalu lalang mengangkut ore. Menurut Bank Indonesia (BI) sektor pertambangan di Banggai, Morowali, dan Tojo Una-una berkontribusi besar yakni 70,07 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang mencapai 10,26 persen pada 2013. Asumsinya, bahwa kabupaten Morowali merupakan daerah yang berkontribusi besar, melihat ada 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari 20 IUP yang telah beroperasi di Sulawesi Tengah. Menurut YTM, lanjut Adriansa, pertumbuhan ini, justru meningkatkan eksploitasi besar-besaran terhadap buruh, dengan upah rendah, jaminan kesehatan yang buruk, dan keselamatan kerja yang tidak begitu di perhatikan. Selain itu, juga menambah laju perampasan tanah-tanah petani. Karena sebagian besar lahan petani telah dikonversi menjadi areal pertambangan. Saat ini Morowali merupakan kabupaten, berada pada urutan ke-tiga jumlah penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Tengah yakni, sekitar 39.611 jiwa. Angka kemiskinan ini dihitung berdasarkan pendapatan di bawa dari 300 ribu per bulan. Bagi YTM, perusahan yang melakukan kegiatan pertambangan di Morowali, merupakan perusahaan yang sama sekali tidak memikirkan keberlanjutan sumber daya alam dan hanya mengejar keuntungan (profit) semata. Hasil produksi tidak diperuntukan untuk kehidupan sosial masyarakat. Tetapi, keuntungan dari kegiatan produksi diperuntukan khusus untuk pemilik modal dan penerima pajak (tax). Buruh dan tani merupakan kelas yang menjadi korban dari kegiatan produksi, nilai (value) buruh sama sekali tidak dihargai, artinya tenaga kerja mereka dalam komoditi yang dihasilkan tidak sesuai dengan upah yang mereka peroleh, yang hanya berkisar 3 hingga 6 juta per bulan. “Kita belum tahu bagaimana hubungan-hubungan produksi yang berlangsung di sana, apakah mereka bekerja berdasarkan waktu yang ditentukan oleh perusahaan atau mereka ditarget berdasarkan perolehan komoditi atau malah sudah lebih maju, misalnya penggunaan teknologi, dan ilmu pengetahuan, tenaga manusia tidak lagi banyak diperlukan, buruh justru dikontrol oleh mesin-mesin,” ungkapnya. Logikanya perusahaan datang untuk memperoleh profit dan menghisap para buruh demi keberlanjutan produksinya, tidak ada perusahan yang baik, merelahkan keuntungannya demi kebutuhan semua orang. Kecuali, terus mengisap tenaga kerja, dengan upah murah, meningkatkan keuntungan hingga berlibat-lipat dengan berbagai macam mekanisme. Selain itu, kita juga akan selalu berhadap-hadapan dengan kerusakan lingkungan, apalagi penggunaan teknologi maju, seperti mesin, tanpa mempedulikan petani-petani di sekitar, seperti halnya CV. Tridaya Jaya yang melakukan aktivitas pertambangan di desa Bahomotefe, pada 6 juli 2012 lalu, membuat sungai berlumpur dan menggenangi persawaan warga desa One Pute Jaya. Akibatnya, hasil panen menurun draktis yang biasanya mencapai sekitar 50 karung per 75 are, menjadi 25 karung karena sebagian besar padi tidak dapat diambil lagi. (data primer YTM) Mekanisme ini merupakan salah satu cara penghancuran produksi petani, sehingga dengan sendirinya mereka terpaksa harus merelahkan lahannya kepada perusahaan karena tak lagi maksimal menghasilkan produksi, selain itu, juga dengan cara-cara lain. Mereka akhirnya harus menjual tenaga kerjanya kepada perusahaan karena dianggap lebih menguntungkan. Hubungan produksinya pun di bawah corak produksi yang kapitalistik, dimana perusahaan mempekerjakan mereka tanpa status pekerjaan yang jelas. Artinya, mereka dipekerjakan berdasarkan kebijakan outchorsing atau fleksibilitas tenaga kerja. Para buruh kapan saja dapat tersingkir dari pekerjaan mereka, dan kembali mencari pekerjaan yang baru. Secara umum, praktek ketenaga kerjaan tidak menjamin adanya kepastian kerja seperti halnya buruh permanen, rata-rata para pekerja di bawah hubungan kerja outchorsing. Itulah sebabnya kenapa perusahaan dengan mudah memutus hubungan ketenaga kerjaan jika terancam bangkrut seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu, sekitar 900 buruh PT. Bindang Delapan Mineral (BDM) di Morowali teramcam di PHK dengan alasan penurunan harga nikel dan mengantisipasi UU minerba tahun 2009 dan Permen no 07 tahun 2011, tentang pelarangan ekspor bahan baku yang mewajibkan semua perusahaan membangun pabrik smelter ditempat produksinya. Langka yang paling memungkinkan adalah efisiensi produksi, dengan cara mengurangi ongkos produksi, upah buruh ditekan dan bahkan dapat menimbulkan pemecatan secara tiba-tiba terhadap buruh tanpa ada alasan yang jelas. Dengan demikian, Yayasan Tanah Merdeka mendesak Pemerintah Daerah Morowali untuk kembali meninjau dan menghentikan kegiatan perusahaan yang belum memiliki syarat-syarat menambang. Selain itu, YTM juga mendesak agar pemda Morowali mengawasi perusahaan yang tidak memperhatikan jaminan kesehatan para buruh dan tidak memperhatikan kesehatan lingkungan yang berdapak terhadap meningkatnya polusi, karena debu dari jalan angkut (hauling road), karena mengancam kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitarnya.
Sumber: okezone.com