Hari Tani Nasional: Bersatu dan Berlawan Menghadapi Oligarki Politik
PerspektifNews, Palu – Dalam memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September tahun ini, Yayasan Tanah Merdeka (YTM), berharap agar gerakan perlawanan rakyat multi-sektor yang mempertahankan sumber penghidupannya, dapat bersatu dan berlawan dalam menghadapi oligarki politik yang telah menggadaikan Indonesia maupun mengusir penjajahan neoliberal.
Dalam rilis yang diterima PerspektifNews hari ini (24/9), YTM bersikap untuk mendukung sepenuhnya aksi-aksi pendudukan atau reklaiming yang dilakukan oleh para petani dalam merebut, menguasai, dan mengelola kembali tanah mereka, dimana telah sekian lama dikuasai oleh pemodal/kapitalis-neoliberal.
“Kami pun menyerukan kepada rakyat pekerja multi-sektor untuk memberikan dukungan atas pendudukan atau reklaiming yang dilakukan oleh petani demi mempersatukan kaum buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, perempuan, dan rakyat pekerja lainnya,” tegas Khairuddin, Divisi Kampanye YTM.
Ketegasan sikap YTM tersebut didasarkan pada tinjauan realitas sosial yang mereka temukan, dimana terdapat keluhan massal tentang tingginya biaya untuk membeli kebutuhan pangan, energi, air, pendidikan, kesehatan, transportasi/otomotif, telekomunikasi, dan perumahan (baik sewa maupun kredit pemilikan).
“Namun pemerintah selalu berkilah dan beretorika dengan amat tangkasnya, sambil mengeluarkan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi di Indonesia maupun angka kemiskinan yang berhasil ditekan. Sungguh kontras dengan keluhan massal yang terjadi di seluruh Indonesia mengenai kondisi realitas kehidupan rakyat,” ujar Khairuddin.
Menurut YTM, adalah sebuah ironi sosial, dimana angka pertumbuhan ekonomi nasional tahun lalu diperoleh dari konsumsi domestik rakyat yang teramat tinggi, yakni meliputi seluruh biaya pengeluaran rakyat untuk konsumsi pangan dan non-pangan. Pengeluaran untuk pangan terakumulasi pada kenaikan harga pokok biji-bijian, termasuk beras, kedelai, dan lain-lain. Sedangkan pengeluaran non-pangan terakumulasi pada pengeluaran energi, otomotif, telekomunikasi, kesehatan, dan pendidikan.
“Sumbangan untuk pertumbuhan ekonomi nasional itu diperoleh dari tenaga dan upah buruh yang minim, dari panen pertanian yang makin menurun, dari tangkapan ikan yang makin kecil-kecil jenisnya, dari keuntungan seperak-dua perak pedagang eceran. Dari penghasilan yang serba minim itu, rakyat kemudian dipaksa belanja dengan biaya tinggi, atau dengan kata lain ekonomi Indonesia terselamatkan karena disumbang oleh belanja konsumsi rumah tangga tersebut,” pungkas Khairuddin.
Dalam analisa YTM, agar dapat berbelanja kebutuhan mereka dengan biaya yang tinggi, uang rakyat pekerja berasal dari “jaring-jaring berbagi hutang”. Mereka berhutang pada warung sembako, sesama kawan, tetangga, kerabat, pengijon, dan rentenir.
“Di pedesaan penghasil pisang, ibu-ibu rumah tangga berhutang uang tunai ke pengijon dengan mengijonkan pohon pisang yang baru akan ditanam. Di kalangan urban, ibu-ibu pekerja pabrik yang lokasi pabriknya berjarak jauh dengan rumahnya, mengambil kredit sepeda motor dan untuk pembayarannya mereka berhutang kepada rentenir. Berkat “jaring berbagi hutang” ini barang-barang pangan dan non-pangan tetap dapat terjual, sehingga sirkulasi uang tidak terganggu peredarannya.,” imbuh Khairuddin. (Daus)
Sumber: perspektifnews.com