Lahan Rusak, Petani Tuntut Kompenisasi PT BDM
Sebanyak 497 kepala keluarga (KK) di desa itu kini terpaksa harus mempertaruhkan kelangsungan hidupnya bersama rusaknya 372,75 hektar sawah yang tidak bisa berproduksi lagi.
Akibatnya rusaknya lahan pertanian itu, warga menuntut kompenisasi ganti rugi pada PT BDM yang beroperasi berdasarkan izin usaha pertambangan operasi produksi bernomor: 540.3/SK.001/DESDM/VI/2010 d blok Bahodopi Kabupaten Morowali.
“Sudah 5 tahun kami tidak bisa mengolah sawah dan kebun, karena sungai yang jadi sumber irigasi dikuasai PT BDM. Bahkan jalan houling berada dibelakang dapur rumah kami, sepertinya kami tidak merasakan adanya kemerdekaan dalam hidup,” ujar Sabar, salah satu perwakilan warga dalam Tim Pokja, dalam jumpa pers bersama Jatam-YTM di secretariat AJI Palu, kamis (16/4/2015).
Sabar menuturkan, tuntutan petani Bahokmakmur bukan tanpa dasar. Tetapi menuntut duberikannya hak hidup dengan sumber penghidupan, apalagi Tim Pokja II telah menemukan adanya logam berat yang sudah mencemari sungai Bahodopi.
“Kami mendesak Bupati Morowali agar segara menuntaskan permasalahan itu. Bukan menggantungkan kasus tanpa penyelesaian,” tegas Sabar.
Direktur Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw yang mendampingi perwakilan warga mengatakan, meski masalah ini sudah berlangsung selama lima tahun, namun PT BDM mengklaim bukan sebagai biang kerok penderitaan para petani di desa Bahomakmur. “Bahkan mereka menutup mata dengan semua fakta yang menjadi penyebab kemiskinan pemiskinan yang terjadi,” jelasnya.
Menurutnya, investasi triliunan rupiah PT BDM di Kabupaten Morowali jangan hanya dilihat dari satu sisi saja. Meski sukses mendongkrak laju industrialisasi, serapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah, tapi berakibat dan berdampak pada segala sendi aspek kehidupan masyarakat sekitar.
Penghancuran atas hak penghidupan ini terkait erat dengan pelanggaran terhadap hak ekonomi, social, dan budaya, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 11/2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, kata Etal.
“Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak tersebut kepada warganya. Tapi dalam kasus ini Bupati Morowali sebagai pemberi IUP, justru lebih mengakomodir kepentingan PT BDM ketimbang menyelesaikan kasus tersebut. Padahal hasil laporan dua Tim Pokja investigasi yang dibentuk sudah melaksanakan tugasnya,” ujarnya.
Disebutkan, Tim Pokja I bertugas untuk memastikan dampak social, ekonomi, lingkungan serta fisika, biologi dan kimiah tanah. Sementara Tim Pokja II melakukan investigasi atas dampak yang ditimbulkan adanya jalan hauling PT BDM.
“Ironisnya, sejak 2014 laporan hasil kerja dua Tim Pokja tidak perna ditindaklanjuti oleh Bupati Morowali. Kedatangan utusan petani ke DPRD Sulteng (16/4/2015 berharap agar permasalahan ini diselesaikan,” jelas Etal.
Terkait dengan kasus ini, Jatam Sulteng menyampaikan lima tuntutan kepada PT BDM, yakni: Pertama; meminta agar PT BDM segera melaksanakan kewajibannya untuk memberikan kompenisasi kepada masyarakat; Kedua, pemerintah Kabupaten Morowali harus segera memerintahkan PT BDM agar melaksanakan keputusan yang dibuat oleh tim investigasi pemerintah; Ketiga, jika PT BDM tidak melaksanakan kewajibannya, masyarakat meminta agar jalan houling yang dibangun di atas akses jalan tani segera dipindahkan dari luar areal lahan II (dua).
Dalam tuntutannya juga mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk tidak meresmikan beroperasinya PT BDM pada tanggal 24 april 2015, karena masih merugikan masyarakat Bahomakmur.
Terakhir, meminta kepolisian segera menindak PT BDM yang mencaplok dan menutup jalan akses petani. [***]
Sumber: jurnalsulteng.com