Media Massa Cenderung Hilangkan Nurani Kultural

Pemilihan kata dalam pemberitaan tentang konflik sosial di media massa cenderung membentuk stigma antar-etnik dan menghilangkan nurani kebudayaan (cultural conscientia) dari etnik yang terlibat konflik. Konsentia kultural itu kemudian tidak mampu lagi membedakan mana yang manusiawi dan mana yang tidak.

Hal itu dikemukakan Direktur Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas) Alwy Rachman, dalam seminar Pers dan Konflik Sosial, di Makassar, Kamis (3/5). Rangkaian peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar itu, juga menghadirkan pembicara Arianto Sangaji (Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, organisasi nonpemerintah yang berbasis di Palu, Sulawesi Tengah), Husain Abdullah (anggota Pusat Studi HAM Unhas, Makassar), dan Aidir Amin Daud (kolumnis Harian Fajar).Menurut Alwy, pemilihan kata yang kurang tepat mengakibatkan kekejaman sebagai manifestasi konflik, kemudian secara tidak disadari berpindah dari ruang sosiokultural ke ruang media. Kalimat “Perburuan Orang Madura” seperti yang ditulis salah satu media terkemuka, atau kata “primitif” yang dilekatkan bagi etnis Dayak pada pemberitaan konflik Sampit, sangat memungkinkan terbentuknya stigma antar-etnik.

“Dengan demikian, konflik dan kekerasan hanya mengalami transformasi ruang. Pada saat yang bersamaan, pelaku konflik belum tentu memiliki akses yang memadai ke ruang media. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa justru para politisi yang kemudian mengambil alih pengembangan isu konflik dan mengelola akses ke media atau bisa juga sebaliknya. Media justru yang memilih fokus pada politisi,” paparnya.

Aspek lain dari pemberitaan media tentang konflik dan kekerasan berkaitan dengan kebutuhan akademisi dan komentator lainnya, yang melahirkan pergolakan pendapat para pakar. Media massa kemudian menjadi “arena perang tanding” bagi para pakar atau kelompok kepentingan lain.

Label kategoris

Sementara itu, Arianto Sangaji menyebutkan telah terjadi kecenderungan pelabelan yang dilakukan oleh media massa yang terbit di Sulawesi Tengah, dalam pemberitaan tentang kerusuhan Poso. Label yang kategoris, dengan penyebutan “kelompok merah” untuk kalangan beragama Kristen, dan “kelompok putih” untuk kalangan beragama Islam. Di samping itu, ada label stigmatis terhadap kelompok Kristen, seperti “pasukan kelelawar hitam”, “pasukan kelelawar merah”, “perusuh”, “pembantai”, dan sebagainya.

Dalam pemilihan kata, ujar Arianto, media massa cenderung menggunakan pilihan kata yang mendirikan bulu kuduk dibanding kata-kata yang menyejukkan. Kata-kata seperti “pembantaian”, “perkosaan”, “pembakaran”, atau “penculikan”, digunakan dalam rangkaian kalimat yang dramatis. “Tidak berlebihan kalau saya menyebutkan telah terjadi praktik horror journalism dalam pemberitaan mengenai kasus Poso oleh sejumlah media massa lokal,” ungkap Arianto.
Arianto menyayangkan, nyaris tidak ditemukan laporan investigatif yang lengkap mengenai penderitaan pengungsi, baik dari kalangan Islam maupun Kristen. Padahal, laporan semacam itu akan lebih menggugah dan mendinginkan suasana, dibanding laporan “perang” yang mengerikan dan mudah membakar sentimen konfrontasi. (lam)