Rencana Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Pemerintah Tunduk Dengan Pemilik Modal

PerspektiNews, Palu – Rencana pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), merupakan salah satu bentuk lepas tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap rakyatnya. Demikian pernyataan sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Tadulako (BEMUT) dalam aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah hari ini (21/5).

BEMUT menjelaskan dalam rilisnya bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak pada kehidupan seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Menurut mereka, jika kenaikan harga BBM bersubsidi dilaksanakan, maka akan terjadi kenaikan ongkos transportasi umum, kehidupan para nelayan yang bergantung pada BBM untuk melaut, naiknya harga-harga produk pertanian, dan PHK bagi buruh karena pemilik modal akan melakukan efisiensi. Selain itu, menurut mereka, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tidak akan berarti apapun jika harga bahan pokok juga mengalami kenaikan.

Dalam rilisnya yang diterima PerspektifNews hari ini, BEMUT menyatakan bahwa kebijakan ini juga sangat jelas mengarah pada kebijakan yang pro terhadap sistem neoliberalisme dan tunduk di bawah imperialisme. “Neoliberalisme digunakan oleh Imperialisme, sebagai alat untuk menguasai politik perekonomian global, yang mensyaratkan semua aktifitas perekonomian Indonesia, tidak terkecuali BBM harus dibebaskan dari subsidi dan diserahkan ke pasar global atau pasar dunia. Artinya rakyat Indonesia dipaksa untuk berkompetisi untuk memenuhi perekonomiannya secara individu. salah satunya dipaksa membeli BBM dengan harga yang sama dengan harga BBM di level Internasional,” begitu salah satu bunyi dalam rilis BEMUT tersebut.

Dalam aksi yang diikuti ribuan mahasiswa tersebut, BEMUT juga menyatakan bahwa alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM sangat tidak rasional. Pemerintah mengklaim anggaran subsidi BBM telah membebani APBN hingga menyebabkan defisit 3 persen.

“Jika argumen ini dipakai sebagai landasan untuk memangkas subsidi BBM, maka akan sangat bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang melonggarkan perjanjian pajak investasi terhadap investor baik asing maupun lokal yang akan menanamkan modal di Indonesia” ujar BEMUT dalam rilisnya.

Seperti yang diwartakan oleh media online Bisnis.com pada Minggu 19 Mei 2013, pendapatan negara terbesar sejauh ini masih bergantung dari sektor pajak. Terkait hal itu, menurut BEMUT, jika pemerintah memang benar-benar serius ingin mencari solusi untuk menghindari defisit APBN tanpa membebani rakyat, pemerintah seharusnya memperbesar besaran perjanjian pajak kepada para investor tersebut. Hal ini menurut mereka akan meningkatkan pendapatan berbasis pajak.

“Tetapi pada kenyataannya, hal demikian tidak menjadi pilihan pemerintah, dan pemerintah malah memilih memangkas anggaran subsidi BBM yang akan semakin mencekik rakyat,” tegas BEMUT.

Disisi lain, menurut mereka, Indonesia seharusnya mampu memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri dengan meningkatkan produktifitas Pertamina. Tetapi pada kenyataannya, pemerintah enggan melakukan hal itu.

“Pemerintah malah memberi keleluasaan terhadap perusahaan asing yang menguasai produksi minyak dalam negeri, dan mengeksplorasi wilayah kerja Migas Indonesia secara bebas, seperti yang tercantum dalam UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,” pungkas mereka.

Karena UU 22/2001, menurut mereka, Pertamina hanya menguasai 8,8 persen dari 275 wilayah pertambangan Migas di Indonesia. Akibatnya, total pengelolaan migas oleh Pertamina hanya mencapai kurang dari 20 persen.

“Wewenang Pertamina dilucuti oleh BP Migas, sebagai pengelola sektor hulu migas. Pertamina hanya dijadikan sebagai pemain, bukan pemilik di negeri sendiri,” tambahnya.

Mereka juga menuding kelangkaan produksi minyak diciptakan oleh perusahaan-perusahaan yang memonopoli produksi minyak bumi. Mereka menduga hal ini dilakukan untuk mengontrol harga bahan bakar minyak (BBM).

“Saat ini produksi minyak terkonsentrasi hanya pada beberapa perusahaan berskala global, dan beberapa perusahaan inilah yang memainkan peran dalam mengontrol produksi dan harga BBM secara global,” terang BEMUT.

Menurut mereka, selama Indonesia masih bergantung pada impor BBM untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, maka selama itu pula Indonesia harus membeli BBM dengan harga yang ditentukan oleh perusahaan yang memonopoli produksi minyak di level global tersebut. “Jika harga belinya tinggi, maka pemerintah akan terus memangkas subsidi BBM untuk rakyat,” tambahnya.

Berdasarkan catatan dari media online, AsiaBusiness Info pada tanggal 2 Februari 2013, hanya 10 perusahaan minyak terbesar yang ada di dunia, yakni Saudi Aramco, Gazprom, National Iranian Oil Co, ExxonMobile, PetroChina, British Petrolium, Royal Ducth Shell, Pemex, Chevron Corporation, dan Kuwait Petroleum Corp.

Selain menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, dalam rilisnya BEMUT juga menuntut diadilinya para mafia minyak, serta mendesak pemerintah untuk menasionalisasi perusahaan asing, khususnya yang memproduksi minyak dan menyerahkannya di bawah kontrol rakyat. Mereka juga mendesak agar akses pendidikan dan akses kesehatan digratiskan serta menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Mahasiswa Kecewa Terhadap Wakil Rakyat

Di depan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah perwakilan dari masing-masing lembaga internal kampus bergantian melakukan orasi. Dalam orasinya mahasiswa mendesak kepada wakil rakyat yang ada di DPRD Provinsi untuk menyatakan sikap penolakan terhadap rencana kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.

Namun permintaan dari mahasiswa hanya menuai kekecewaan, pasalnya dua orang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yaitu Nawawi Sangkilat dan Nyoman Slamet yang menemui massa aksi hanya menjawab dengan bahasa diplomatis.

Dua orang wakil rakyat tersebut hanya menyatakan akan menyampaikan tuntutan mahasiswa ke lembaga DPRD Provinsi untuk dibahas. “Kami tidak bisa menentukan sikap sekarang ini karena itu harus melalui mekanisme pembahasan di internal kelembagaan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah” kata Nawawi Sangkilat. (Udin)

Sumber : http://www.perspektifnews.com/