Seminar dan Dialog Kebijakan tentang Implementasi MP3EI di Sulteng (1)
Tanpa MP3EI, Sulteng Tetap Bisa Jalan
Laporan : Anita Anggriany
TAK hanya soal IPM yang rendah, Ahlis juga menampilkan data-data dan sisi skeptic dari pertumbuhan ekonomi Sulteng yang dibangga-banggakan pemerintah dalam beberapa kali pertemuan di skala regional dan nasional ini. Doktor ekonomi lulusan Universitas Sorobonne, Perancis ini menegaskan bahwa pertumbuhan itu sebenarnya semu. Itu meningkat karena konsumtif masyarakat. Dia lalu memperhadapkan pada realita berbagai persoalan yang membelit Sulteng sendiri. Misalnya, ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin, tingginya angka putus sekolah, serta 80 persen pekerja di Sulteng masih di sisi Informal. Paling miris adalah banyaknya SDM di Palu yang meninggal pada rentang usia 40 tahun ke bawah.Lalu Ahlis mempersoalkan tentang Sumber Daya Alam di bumi Sulteng yang juga menjadi andalan pemerintah. Apakah kekayaan ini menjadi rahmat atau kutukan semata. Studinya yang dilakukannya di beberapa Negara memperlihatkan bahwa daerah yang kaya, cenderung melahirkan pemimpin yang korup. Kedua, minyak selalu menjadi sumber peperangan di muka bumi. Negara-negara besar lalu melakukan standar ganda terhadap Negara yang memiliki SDA belimpah ini.
Sisi buram tentang ekonomi Sulteng ini disampaikan Ahlis terkait dengan program pemerintah yaitu “Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Program ini juga “menyeret” Sulteng menjadi salah satu dari kawasan tersebut.
Melihat kondisi MP3EI yang rentan dan banyak celah, lalu menjadi alasan Lembaga Yayasan Tanah Merdeka menggelar Seminar dan Dialog Kebijakan “Antisipasi Implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Sulteng, di Hotel Rama kemarin.
Sebelumnya, Kepala Bappeda Sulteng, Dr. Patatope memaparkan tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi Sulteng dan program MP3EI ini. Menurut Patatope, memang benar bahwa masyarakat cukup konsumtif sehingga menaikkan indeks pertumbuhan ekonomi beberapa waktu lalu. Tetapi tahun terakhir ini kata dia, pergerakan ekonomi tidak melulu karena hasrat “berbelanja” masyarakat. Tetapi juga bertumbuh dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memang berkembang di Palu saat ini.
Patatope juga merilis data tentang kemiskinan di Sulteng yang mengalami penurunan 1 persen, dan bermain di skala 15,4 persen. “ Meskipun demikian masih lebih rendah disbandingkan dari nasional yang kini tinggal 12 persen,” ujar Patatope.
Terhadap MP3EI, Patatope sendiri mengatakan, tanpa program ini pun sebenarnya Sulteng bisa berjalan. Karena program sebelumnya sudah mulai focus dan bergerak pada titiknya masing-masing. Namun kemudian katanya, program ini menjadi berbedah ketika masuk pada persoalan percepatan dan perluasan. “Karena program pembangunan ini membutuhkan dana besar maka tidak hanya bisa dilakukan pemerintah semata, swasta pun harus dilibatkan,” tandasnya. Namun dia menegaskan bahwa, tidak ada anggaran khusus untuk program ini. Semuanya beranggarkan pada APBD dan APBN.
Dari berbagai telaah tentang program yang ditelorkan Pemerintah Pusat pada 2011 ini, Ahlis memang tidak sendiri. Bersamanya ada tiga narasumber lain yang juga menilai MP3EI ini jauh dari niat baik untuk mensejahtrakan masyarakat Indonesia. Ketiganya adalah Arianto Sangaji, kandidat Doktor dari Universitas York Toronto, Kanada, Muhammad Ridha, dari Partai Perhimpunan Rakyat Pekerja dan Noer Fauzi Rachman, Direktur Sayogyo Institute yang juga dosen di Institute yang juga dosen di Institut Pertanian Bogor.
Bahkan dalam diskusi tersebut, Arianto dengan tegas mengatakan tidak ada yang baru dari program MP3EI tersebut. “Saya menyimpulkan bahwa MP3EI ini adalah proyek kelas Kapitalis,” tandasnya.
Dan dengan yakinnya Antp, begitu dia disapa, menegaskan bahwa MP3EI adalah proyek destruktif untuk menuju Kapitalisme. Muhammad Ridha lalu melontarkan berbagai permasalahan yang muncul dari kapitalisme MP3EI ini. Soal modus baru dengan pola yang lama, tentang outsourcing, upah murah dan privatisasi tanag milik rakyat oleh sekelompok penguasa dan pengusaha.
Menarik lagi, Noer Fauzi Rachman, memaparkan data-data tentang bagaimana MP3EI ini lebih dipandang sebagai pasar, sebagai sebuah kesempatan untuk meraih pasar. Lalu tak pernah ada telaah bagaimana konsekuensi MP3EI ini terhadap berbagai sektor di Sulteng atau di Indonesia. Bagaimana program ini bergerak di sektor perkebunan dan tambang. “Misalnya, kita lihat ada berapa banyak perusahaan yang secara transparan membuka data tentang konsensi lahannya ke publik,” Tanya Fauzi. Padahal, tak sedikit dari lahan tersebut milik warga. Lalu, pemerintah pun tak perna tuntas memberi harga pembebasab lahan tersebut. Yang terjadi akhirnya “pemiskinan” kepada warganya sendiri. (***)
Sumber : Palu Ekspres, 13 Desember 2012