Tokoh Agama Islam dan Kristen Nilai Satgas Poso Tidak Efektif

Tokoh agama Islam dan Kristen menilai Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Poso yang dilantik Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Widodo AS, Kamis (24/11/2005) tidak efektif menyelesaikan kasus Poso. Hal ini dikemukakan Ketua Forum Silahturahim dan Perjuangan Umat Islam Poso Ustad M Adnan Arsyal dan Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Pendeta Rinaldy Damanik. “Satgas tidak bekerja efektif menyelesaikan sejumlah kasus di Poso. Mereka hanya konsentrasi pada kasus-kasus kekerasan terbaru semisal penembakan misterius dan mutilasi. Sementara banyak kasus sebelum dan sesudah Deklarasi Malino belum ditangani,” ungkap Arsyal saat dihubungi di kediamannya di Kelurahan Kampung Baru, Jalan Teuku, Lorong Binte, Palu Barat, Jumat (6/1/2006).

Ada beberapa catatan sejumlah kasus yang dimaksud Arsal itu. Mulai dari pembantaian santri di Pesantren Walisongo, Kilo 9, Poso pada tahun 2000, hingga pembantaian di Buyung Katedo Juni 2001. Selain itu, ada pula masalah hak-hak keperdataan, berupa lahan pertanian atau bangunan rumah.
“Kerja mereka sekarang yang terlihat paling cuma tangkap menangkap orang. Seperti Ipong dan Yusuf itu,” kata Arsal.

Penilaian serupa datang pula dari Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Pendeta Rinaldy Damanik.

“Bagaimana bisa efektif jika Satgas tidak melibatkan masyarakat. Satgas hanya terdiri dari polisi, militer dan birokrasi,” sebut salah seorang tokoh Deklarasi Malino untuk Poso ini.

Karenanya, menurut Damanik, masyarakat tidak bisa mengevaluasi kerja-kerja Satgas karena mereka tidak terbuka. Ia juga melihat bahwa pola pikir aparatur negara yang melihat bahwa masyarakatlah sumber konflik Poso harus diubah.

Soal rencana pemerintah membentuk Komando Operasi Keamanan Sulawesi Tengah sekaligus menambah jumlah pasukan yang akan diterjunkan ke daerah itu, Damanik tentu saja tidak bersepakat.

“Akar persoalanya bukan pada masyarakat, tapi juga pada aparatur negara,” tekannya lagi.

Itu pulalah yang dikemukakan Anto Sangadji, Presidium Poso Center terkait soal rencana pemerintah tadi.

Dia menilai pemerintah tengah mempersiapkan prakondisi darurat sipil.

“Itu harus ditolak, karena cara pandang salah dari pemerintah dalam penyelesaian kasus Poso, seolah-olah masyarakatlah yang mengacaukan Poso,” demikian Anto Sangadji.

Untuk diketahui, pembentukan Satgas ini bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan, kerjasama dan koordinasi dan kesatuan kendali operasi penanganan Poso. Selain itu, juga untuk memberikan dukungan, dorongan dan back up baik secara teknis maupun operasional bagi seluruh aparat dan instansi dalam penanganan Poso.

Juga membangun dan meningkatkan harmoni sosial dalam masyarakat yang dinilai lambat. Di samping itu juga untuk memback up dan mendukung operasional penanganan sejumlah kasus yang tidak dapat ditangani oleh aparat maupun instansi setempat.

Satgas ini mempunyai empat tugas pokok. Yakni mempercepat pengungkapan kasus teror dan kriminal yang terjadi di Poso, membina dan memelihara harmoni sosial dalam masyarakat, menciptakan rasa keamanan dan rasa aman masyarakat, serta menyelesaikan masalah-masalah residual pascakonflik, khususnya dalam penyelesaian penyimpangan bantuan sosial dan penanganan pengungsi serta rehabilitasi sarana dan prasarana yang hancur akibat konflik.

Satgas ini akan bekerja selama enam bulan ke depan dan berkantor di sebuah gedung di samping Kantor Bupati Poso, Poso Kota. Satgas ini dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penanganan Poso Secara Komprehensif.
Sayang, Satgas yang terdiri dari perwira tinggi Polri berpangkat Irjen, Brigjen TNI, pejabat Depdagri, dan pejabat dari beberapa departemen lainnya ini dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Poso. (nrl)

Sumber : Detikcom