Dukungan Bagi Petani Honbola yang Dikriminalisasi
“Meskipun potensi dan kontribusi kelapa sawit untuk perekonomian nasional relatif tinggi, namun disisi lain membawa dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi yang buruk, serta memprihatinkan bagi rakyat,” ujar Adriansah
“Keuntungan dari produksi kelapa sawit yang kapitalistik itu, kemudian tidak didistribusikan secara merata dan memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi buruh perkebunan dan menciptakan kemiskinan bagi petani akibat tanah mereka yang dirampas,” lanjut Adriansah.
Masih menurut Adriansah, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, produksi kelapa sawit meraup keuntungan Rp 205 trilyun pada 2012, meningkat Rp 160 trilyun dari 2011. Peningkatan keuntungan tersebut mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi indonesia sekitar 6,3% pada 2012.
“Tapi keuntungan tersebut seakan menguap dan malah meninggalkan jejak kemiskinan pada kehidupan para buruh dan petani,” kata Adriansah.
“Kelapa sawit yang dinilai oleh pemerintah telah menyerap banyak tenaga kerja, ternyata belum mampu mensejahterakan buruh, petani, dan masyarakat secara umum,” kata Adriansah melanjutkan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa pembangunan industri perkebunan kelapa sawit telah mengubah corak produksi masyarakat, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga kerja upahan. Bagi Adriansah, keterbatasan pilihan pekerjaan dan tidak adanya perlindungan dari negara mengakibatkan buruh perkebunan terpaksa bekerja dengan upah murah, standar kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk, serta hubungan kerja yang eksploitatif.
“Pengembangan industri kelapa sawit berdampak pada lingkungan dan telah mengancam ketahanan pangan,” imbuh Adriansah.
“Besarnya kekuasaan pengusaha atau kapitalis telah menempatkan petani dan buruh pada posisi tak berdaya,” kata Adriansah melanjutkan. Baginya, perampasan tanah, upah murah, buruh kontrak (outsourcing), minimnya fasilitas dan rentan atas kecelakaan kerja adalah wajah dari industri perkebunan sawit di Indonesia secara umum.
Adriansah menerangkan, bahwa di Sulawesi Tengah pada tahun 2008 hingga 2009 salah satu korporasi perkebunan kelapa sawit yakni Kencana Agri Ltd (Kencana Group) yang dimiliki oleh keluarga Maknawi dan berbasis di Singapura, menguasai lahan perkebunan seluas ± 36.000 Ha yang tersebar di Kecamatan Bualemo, Batu, dan Batui Selatan di Kabupaten Banggai, serta Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara.
“Korporasi kapitalis perkebunan itu dalam perluasan ekspansinya telah melakukan kriminalisasi terhadap petani,” jelas Adriansah.
Sementara itu, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng), dalam kurun 5 tahun terakhir di Kabupaten Banggai paling tidak ada 35 orang petani yang dikriminalisasi, bahkan beberapa diantara mereka telah didakwa hingga 4 tahun penjara.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus penahanan dua orang petani di Desa Honbola, Kecamantan Batui, Kabupaten Banggai, dimana PT Delta Subur Permai (PT DSP) melaporkan dua orang warga kepada pihak kepolisian.
Kemudian pada tanggal 13 November, 2 orang petani yakni Yoktan Kinding dan Ham Kinding telah ditahan oleh pihak kepolisian dengan tuduhan melakukan pengerusakan dan pengancaman. Seolah tak puas dengan hal tersebut, pada Kamis (28/11), lagi-lagi 3 orang petani dijadikan tersangka dan belakangan 20 orang warga lainnya di sebut-sebut, juga terlibat pada kasus yang sama.
Menurut WALHI Sulteng, penangkapan dan tuduhan terhadap petani Desa Honbola tersebut sebagai reaksi atas aksi pemalangan jalan pada tanggal 15 Oktober yang dilakukan oleh kurang lebih 30 orang petani pada wilayah Singsing, dimana diklaim oleh PT DSP.
Padahal, menurut warga wilayah Singsing, lokasi tersebut adalah area wilayah peruntukan perkebunan plasma. Menurut warga pula, pemalangan yang dilakukan oleh petani Honbola itu bukan tidak berdasar, karena sesuai dengan hasil pembicaraan yang mereka lakukan dengan pihak PT DSP pada bulan Mei 2013 lalu, dimana perusahaan dan warga telah menyepakati adanya pembagian lahan dalam skema plasma dan inti, yaitu dalam plasma sebesar 20 % dan inti sebesar 80 %.
Dalam kesepakatan tersebut jelas tercantum, bahwa Singsing bukanlah area Hak Guna Usaha (HGU) PT DSP, justru Singsing yang wilayah plasmanya adalah milik warga, tidak kunjung direalisasikan. Menurut warga, wilayah Singsing kini telah diklaim sebagai lahan HGU dan diolah oleh PT DSP sementara waktu. PT DSP kemudian hanya menyisakan sedikit wilayah plasma untuk warga, itu pun jauh di pinggiran sungai Batui dengan kondisi tanah yang berbatu dan sama sekali tak dapat diolah.
WALHI Sulteng mencatat, mulai dari tahun 1997 semenjak HGU PT DSP diterbitkan, baik ketika masih dimiliki oleh PT Banggai Sentral Sulawesi hingga tahun 2011 dan kemudian diakuisisi oleh Kencana Agri Ltd, perusahaan tersebut selalu berbenturan dengan warga Desa Honbola.
Pada tahun 2002, masih menurut Walhi Sulteng, lima orang warga ditahan dengan tuduhan penyerobotan dan mereka kemudian divonis dengan penjara selama lima bulan. Sedangkan 16 orang lainnya dipukuli oleh aparat kepolisian. Kasus serupa kemudian berlanjut, hingga pada tahun 2003 kurang lebih 10 petani di jadikan tersangka dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.
“Korporasi kapital perkebunan telah mengkriminalisasi petani dengan berbagai motif,” terang Adriansah.
“Mulai dari tuduhan melakukan penyerobotan, pengrusakan, pengancaman, hingga pencemaran nama baik,” lanjut Adriansah menerangkan.
“Kriminalisasi terhadap petani ini pun membuat posisi petani semakin tertekan,” imbuh Adriansah.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan dengan melaporkan petani ke pihak kepolisian adalah salah satu bentuk dari tekanan yang dilakukan oleh pemilik modal terhadap petani, yang sedang memperjuangkan hak atas tanah. Bagi Adriansah, penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap petani telah menunjukkan keberpihakan negara terhadap pemilik modal (kapitalis) dan sama sekali tak punya keberpihakan terhadap petani yang telah dirampas alat produksinya (tanahnya).
“Untuk itu, kami menuntut kepada pihak pemerintah, kepolisian, dan perusahaan agar segera menghentikan kriminalisasi terhadap petani yang mempertahankan haknya serta membebaskan 2 orang petani Honbola yang saat ini ditahan Polres Banggai” kata Adriansah yang juga Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) tersebut dalam orasinya.
Selain itu, FPKR juga meminta kepada pihak kepolisian agar jeli melihat setiap kasus sengketa lahan yang terjadi dan tidak memihak kepada pemilik modal serta menuntut kepada pihak perusahaan agar mengembalikan lahan petani yang telah dirampas oleh perusahaan.
Tuntuntan lain dari Front gabungan organisasi masyarakat sipil, NGO, organisasi rakyat dan organisasi mahasiswa tersebut adalah moratorium ekspansi dan produksi PT DSP hingga selesainya kasus sengketa antara warga dengan perusahaan tersebut. (Udin)
Sumber: perspektifnews