Kekerasan Poso dan Ekspansi Modal

Arianto Sangaji

Kesuksesan ekspedisi militer Belanda ke Sulawesi Tengah, khususnya di Poso, tahun 1905-1907, merupakan bagian dari strategi perluasan imperialisme Belanda di luar Pulau Jawa. Ekspedisi itu mengakibatkan 160 orang tewas dalam penaklukan Napu dan Mori.

Penaklukan militer dilakukan karena Poso sarat perang antarsuku dan mengayau, kekerasan khas masyarakat prakapitalis.

Sebuah perang 1892-1902, antara To (orang) Napu dan To Ondae, dua suku asli Poso, memakan korban 194 jiwa di kedua belah pihak. Penaklukan militer Belanda mengakhiri tradisi perang suku dan melarang praktik mengayau di antara penganut agama suku di Poso.

Namun, ekspedisi militer itu adalah bagian dari strategi Belanda mengintegrasikan Poso ke dalam kapitalisme di bawah Politik Etis. Dengan introduksi padi sawah, tahun 1908, Belanda memaksa warga turun dari bukit-bukit dan secara bertahap meninggalkan sistem perladangan subsisten. Dengan membangun jalan, warga di dataran tinggi mengangkut surplus produksi pertanian ke daerah pesisir. Sebuah perekonomian modern secara bertahap tumbuh, di mana warga dapat membayar pajak kepada Belanda, dari hasil menjual padi sawah, selain damar. Belanda tertarik kepada wilayah ini juga karena kekayaan tambang. Beberapa geolog asing melakukan survei, lalu merekomendasi pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan survei yang lebih sistematis.

Berulang

Kisah seperti berulang sekitar seratus tahun kemudian. Situasi kaotis meluas menyusul kejatuhan Soeharto. Di Poso, sejak Desember 1998, kekerasan bertopeng etno-religi pecah dan menewaskan lebih dari seribu orang. Tahun 2000-2001, pemerintah mengerahkan sekitar 5.000 personel TNI dan Polri untuk mengakhiri kekerasan. Desember 2001, Jusuf Kalla, kini Wakil Presiden RI, menggiring wakil-wakil dari komunitas yang dianggap bertikai duduk berunding di Malino. Hasilnya, perang terbuka dapat dicegah, tetapi kekerasan tertutup atau misterius berulang terjadi, kendati dua batalyon pasukan tempur organik baru, dari TNI dan Brimob, didirikan di Poso sejak 2004.

Berbarengan dengan itu, wilayah ini dilirik karena kekayaan sumber daya alam. Sejak pertengahan 1990-an, PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, sudah bernafsu mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, di mana sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso. Pertengahan Juni 2006, Rio Tinto mengumumkan rencana penambangan nikel dekat areal kontrak karya PT Inco di Morowali. Seorang eksekutif perusahaan menyatakan akan menanam modal sebesar 1 miliar dollar AS, mempekerjakan 5.000 buruh, dan memproduksi nikel 46.000 metrik ton setiap tahun. Sang eksekutif menyatakannya setelah bertemu Wapres Jusuf Kalla (Reuter, 20/6/2006).

Di Teluk Tolo, khususnya di wilayah Kabupaten Morowali, terdapat areal joint operation body Pertamina dan Medco E & P Sulawesi untuk eksploitasi minyak. Perusahaan telah memproduksi minyak mentah dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005. Pengapalan perdana produksi minyak mentah berlangsung 12 Januari 2006, dengan mengirim 75.000 barrel ke kilang Pertamina Plaju (Kompas, 13/1/2006).

PT Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla, sejak pertengahan 2005, juga hadir di Poso. Perusahaan membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 740 MW, dengan memanfaatkan aliran Sungai Poso. PLTA ini hendak menyuplai kebutuhan industri di Sulawesi Selatan. Untuk itu, perusahaan tengah membangun tower-tower saluran udara tegangan ekstra tinggi di atas tanah-tanah pertanian warga Poso menerobos ke Sulawesi Selatan.

Pelindung modal

Seperti biasanya, kehadiran perusahaan raksasa memicu konflik dengan petani. Sejak akhir 1990-an, penduduk asli Bungku dan transmigran asal Bali, Lombok, dan Jawa bertikai dengan PT Inco karena areal kontrak karya terletak tepat di atas lahan-lahan pertanian. Dalam proyek PLTA, warga 11 desa di sekitar Danau Poso resah karena proyek ini menimbulkan banyak masalah, terutama soal ganti rugi tanah.

Bagi korporasi-korporasi raksasa, kekerasan Poso seperti blessing in disguise. Pasukan-pasukan tempur organik yang ditempatkan di sana dan sekitarnya, dengan dalih meredam kekerasan, justru “berdwifungsi” sebagai pelindung modal dari oposisi para petani. Dua kompi pasukan dari TNI dan Brimob ditempatkan di Morowali, dekat wilayah konsesi PT Inco, Rio Tinto, Pertamina dan Medco, dan perkebunan sawit milik Guthrie, Malaysia. Lokasi proyek PLTA Poso terletak persis di antara Markas Yonif 714/Sintuwu Maroso dan markas kompi senapan C Yonif tersebut, dalam jarak antarmarkas sekitar 70 kilometer. Dengan demikian, korporasi-korporasi itu menarik keuntungan dari “militerisasi” di bawah ketidaknyamanan Poso.

Selama ini publik hanya melihat kekerasan berdarah di sana, tanpa perhatian terhadap konflik-konflik struktural menyusul kehadiran korporasi-korporasi raksasa. Isu kekerasan struktural, karena pengambilan lahan petani secara paksa atau setengah paksa, tenggelam oleh kasus-kasus penembakan, peledakan bom, pembunuhan, dan pembakaran. Padahal, modal leluasa bergerak ke Poso karena tersedianya “jalan tol”, yakni kekerasan bermasker konflik horizontal.

Tentu saja, ini bukan saja khas Poso. Bercermin dari Aceh dan Papua, kekerasan juga duduk berdampingan dengan ekspansi modal. Poso merupakan bagian kecil dari gambar besar hubungan antara kekerasan dan modal. Oleh karena itu, tanpa solusi ekonomi dan politik, penyelesaian kekerasan secara menyeluruh sulit dibayangkan.

Arianto Sangaji Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Palu

 

Sumber : Kompas, Selasa, 12 September 2006