Kenaikan BBM Hanya Akal Busuk Pemerintahan Boneka Amerika SBY & Boediono di Indonesia
PALU, FPR NEWS-, Rencana Pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 15 Juni 2013 mendatang dinilai hanya akal-akalan, hal tersebut di ungkapkan oleh Ketua Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Tengah, Gifvents Lasimpo kemarin (04/06/13) di Kantornya.
“Pemerintah harusnya lebih mementingkan kepentingan rakyatnya ketimbang kepentingan asing yang selama ini terus mendapatkan layanan khusus dari Rezim SBY & Budiono yang berkuasa saat ini”.
Selama kepemimpinan SBY tercatat sudah empat kali BBM mengalami kenaikan alasannya selalu sama adalah membengkaknya jumlah subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat naiknya harga minyak dunia,ungkapnya.
Selama ini pemerintah Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang mencapai 1,3 juta barel per hari, sedangkan produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel per hari. Hal tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500 untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia. Monopoli atas produksi hingga distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar akibat turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.
Di Balik kenaikan BBM
Penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada istilah 7 sisters (Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile), Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai lebih dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan krisis yang berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco Phillips.
Meskipun banyak pihak yang menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters” yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia) meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi semata, monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.
Exxon Mobil saja memiliki cabang hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai lebih dari 120.000 dan enam divisi besar yang masuk dalam tiga kategori Upstream, Downstream dan Chemical yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005 saja sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah menggurita.
Sesungguhnya instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai intrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia.
Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.
Selama ini pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak khususnya untuk jenis crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur AS.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa – penguasa perdagangan minyak seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter) atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak di pasar dunia.
Sehingga dari sinilah terlihat bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis maupun pemerintah bonekanya. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.
Sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk di dalamnya Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti pada umumnya pemerintah boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang dibantu birokrat kapitalis dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.
Rakyat Di Bunuh Secara Perlahan Dengan BLSM
Pada Tanggal 15 Juni mendatang pengumuman kenaikan BBM akan dilakukan, dan kompensasi atas kenaikan BBM Tersebut yaitu pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang salah satu program diidalamnya penambahan Kuota Untuk beras Miskin (Raksin) padahal kita tau bersama Kalau Beras Raskin itu dicampur pemutih beras yang mengandung Nitrogen Dioksida (NO2), Nitrosil Khlorida (NOCl), Khlorin Dioksida (ClO2) dan Zat ini bisa memicu kanker, dan itu dibuktikan dengan data yang dirilis Deherba.com penyebab tingginya kasus kanker di indonesia akibat pola makan yang tidak sehat, setidaknya 15.000 kasus penderita kanker serviks yang katanya pembunuh nomor 1 wanita di indonesia, kedua kanker payudara yang dari tahun 2004-2008 mencapai 8.277 penderita dan ketiga kanker hati umunya menyerang laki-laki karena menahan lapar pada saat bekerja dan untuk anak-anak terkena leukimia. Bahkan menurut WHO pada tahun 2030 akan terjadi lonjakan penderita kanker di Indonesia sampai tujuh kali lipat. (Iven FPR)
Sumber: http://fprsulteng.blogspot.com/