Konflik Horisontal Buah dari Ketidaksadaran Kelas
Oleh : Khaeruddin, Ketua PRP (Partai Rakyat Pekerja) Komite Kota Palu
Akhir-akhir ini eskalasi konflik horisontal di Sulawesi Tengah semakin tinggi. Di Kota Palu dan Kabupaten Sigi sendiri, hampir setiap minggu kita melihat dengan mata kepala sendiri atau mendengar kabar terjadinya perkelahian antar kampung ataupun antar kelompok, baik itu melalui media cetak, media elektronik, media online serta media sosial seperti facebook dan twitter.
Tak sedikit masyarakat yang menjadi korban dari konflik sosial yang terjadi. Mulai dari rumah yang terbakar, hilangnya harta benda, korban luka-luka hingga korban jiwa.
Padahal di Sulawesi Tengah, sejak puluhan tahun yang lalu pasca konflik Poso, berbagai pihak telah melakukan upaya dalam rangka pencegahan konflik sosial. Baik itu yang dilakukan oleh pihak pemerintah, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi non pemerintah hingga melibatkan organisasi dan lembaga donor internasional. Dari sekian banyak program yang diselenggarakan, hampir tak terhitung jumlah besaran dana yang telah digelontorkan. Namun, dari segala upaya yang dilakukan, tak kunjung dapat menyelesaikan persoalan, bahkan eskalasinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Mengapa bisa demikian? Dalam pandangan penulis, hal ini terjadi karena program-program atau upaya-upaya yang dilakukan tidaklah menyentuh akar masalah yang menyebabkan terjadinya konflik horisontal.
Lalu apa sesungguhnya yang menjadi akar masalah dari konflik horisontal ini? Di kalangan masyarakat sendiri ada banyak pandangan tentang sebab-musabab terjadinya konflik horisontal. Ada yang mengatakan bahwa konflik horisontal terjadi karena merosotnya moral generasi bangsa. Dilain pihak ada pula yang mengatakan terjadi karena kemiskinan. Kaum agamawan pun juga menganggap terjadinya konflik horisontal sebagai akibat dari pengabaian atas nilai-nilai ajaran agama. Pandangan lainnya menganggap bahwa konflik horisontal terjadi karena kurangnya rasa nasionalisme dan integritas kita sebagai sebuah bangsa.
Apakah memang demikian? Jawabannya tidak. Akar masalah terjadinya konflik horisontal yang sesungguhnya adalah karena di tengah semakin menguatnya politik kelas yang dilancarkan oleh kelas kapitalis, sebagian besar kelas pekerja malah semakin kehilangan identitasnya dan tidak mampu mengenali kepentingannya sendiri ketika berhadapan dengan keputusan-keputusan politik pemerintah yang berpihak pada pemilik modal (kelas kapitalis). Dengan kata lain, kelas pekerja tidaklah menyadari posisinya sebagai kelas pekerja dalam masyarakat yang kapitalistik atau ‘tidak sadar kelas’.[1] Jika kita pelajari trend kesadaran politik di Sulawesi Tengah secara umum. Saat ini kelas borjuasi nasional sebagai terwakil dari partai politik, sedang menjarah profit pertumbuhan ekonomi untuk politik elektoral hingga tahun 2014. Dalam penjarahan profit ini terjadi kompetisi antara aliansi borjuasi nasional versus aliansi borjuasi regional/lokal, yang runyamnya, dimutasikan pada masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) di kalangan rakyat pekerja. Perang antar-kampung, bantai- membantai, dan bakar-membakar diantara rakyat pekerja, dengan korban nyawa dan harta-benda yang tidak murah, adalah contoh mutasi konflik tersebut. Sungguh mengenaskan. Pesta profit dinikmati pembuat konflik, yang penderitaannya ditanggung rakyat pekerja.
Kalaulah mereka sadar akan posisinya sebagai kelas pekerja yang terus dieksploitasi oleh kelas kapitalis, maka niscaya tidak akan terjadi konflik horisontal. Karena hakikat perang yang sesungguhnya terjadi dalam sistem kapitalisme adalah perang kelas. Yakni perang antara kelas kapitalis dan kelas pekerja. Bukanlah perang suku, agama, ras atau perang antar kampung yang mengorbankan sesama kelas pekerja seperti yang sering terjadi dewasa ini.
[1] Pidato Politik Kongres III PRP yang diselenggarakan di Kabupaten Garut Jawa Barat 22 Nopember 2012
Artikel ini sebelumnya perna diterbitkan di blog komunitas ekopol. Dimuat ulang disini untuk kepentingan pendidikan.