Program REDD+ di Sulteng Masih Kontroversial, Dinilai Sarat akan Kepentingan Kapital
Palu- Sulawesi Tengah telah siap sebagai salah satu wilayah sasaran implementasi program REDD+. Pernyataan tersebut diungkapkan pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Susilowati ketika ditemu i wartawan di sela-sela acara Launching Pemantauan REDD+
Sulawesi Tengah yang digelar oleh Lembaga Studi dan Riset Media Massa bersama Pokja Pantau REDD Sulawesi Tengah atas dukungan Transparency International Indonesia dan NORAD Norwegia di Hotel Santika Palu kemarin Sabtu 31/08/2013.
“Bahkan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah telah menetapkan Peraturan Gubernur nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan FPIC pada REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah, yang dikategorikan sebagai social safeguard” ujar Susilowati.
Meskipun demikian, kata Susilowati, REDD+ sendiri belum memiliki mekanisme yang jelas dan hingga saat ini belum ada dana REDD+ yang masuk melalui pemerintah Indonesia. Untuk itu, pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder lainnya harus menyiapkan diri jika nantinya program REDD+ itu akan dijalankan. “Untuk itu, kita harus mempersiapkan kapasitas sumber daya manusia, utamanya masyarakat sebagai pelaksana di lapangan dan pihak pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi program REDD+” ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat sebagai kelompok sasaran dan pelaksana dilapangan haruslah mendapatkan manfaat dari program REDD+ agar dapat diberdayakan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, perlunya ditetapkan rambu-rambu sebagai pola pengamanan program REDD+ misalnya kelestarian lingkungan hidup, kepentingan masyarakat terlindungi, serta perlu tata kelola yang baik atau good governance.
Tak kalah pentingnya menurut Susilowati perlu adanya tata ruang kawasan yang jelas. “Yang mana kawasan hutan, yang mana kawasan pertambangan dan yang mana wilayah kelola masyarakat atau budi daya. Intinya tata ruangnya harus jelas” tukasnya.
Ia mencontohkan, kawasan Dongi-dongi yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi untuk mengeluarkan dari kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.
“Program REDD+ sangat penting untuk dilakukan pemantauan, karena program ini menggunakan dana yang besar dan merupakan kepercayaan yang diberikan oleh dunia Internasional kepada Pemerintah Indonesia” kata Susilowati.
Menanggapi pertanyaan dari peserta tentang posisi, tugas dan fungsi Pokja Pantau REDD+, Koordinator Pokja Pantau REDD+ Sulawesi Tengah Ardin Tahir mengungkapkan Pokja Pantau REDD+ Sulawesi Tengah adalah sebuah jaringan kerja yang diinisiasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, NGO, simpul warga masyarakat dalam rangka melakukan pengawasan dan pemantauan sebagai langkah pencegahan terjadinya korupsi atas dana program REDD+ serta melakukan pendidikan kepada masyarakat sebagai langkah persiapan program REDD+ di level masyarakat.
Yayasan Merah Putih (YMP) sebagai salah satu anggota Pokja Pantau REDD+ yang diwakili Azmi dalam pemaparannya mengungkapkan bahwa di Sulawesi Tengah beberapa wilayah tutupan hutannya masih baik. Namun disisi lain, kegiatan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit serta perambahan hutan terus berlangsung tanpa adanya kontrol dan pengawasan yang jelas.
Menurutnya, ada beragam kepentingan yang ikut berperan terhadap laju deforestasi hutan di Sulawesi Tengah. Berdasarkan data dari Jatam Sulteng, sedikitnya 250-an perusahan tambang (lokal, nasional dan transnasional) mendapat IUP (KP/KK) dalam kawasan hutan Sulawesi Tengah dengan luas total 2.389.580 ha. Sementara itu, berdasarkan data Walhi Sulteng, kurang lebih 12 Perusahaan mendapat izin HGU perkebunan sawit dengan total luas lahan 124.546 ha.
Data Departemen Kehutanan dan BPS pada tahun 2009, sekitar 16 Perusahaan memperoleh IUPHHK (6 tidak aktif) untuk pembalakan kayu dengan total luas lahan 992.155 Ha serta kurang lebih 33,15 % penduduk Sulteng bermukim di 724 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. Umumnya desa pertanian/perkebunan. Sekitar 20.517 KK Komunitas Adat di Sulteng hidup subsisten dalam hutan dengan cara berladang dan memanfaatkan HHBK berdasarkan kearifan tradisionalnya (KAT Center).
“Sebagai akibat dari deforestasi dan degradasi hutan maka akibat yang ditimbulkan yakni hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya daya dukung lingkungan, hilangnya mata pencaharian rakyat serta meningkatnya emisi gas rumah kaca yaitu 48 persen dari total emisi Indonesia dari sector hutan dan lahan” ujarnya.
Untuk itu menurut Azmi, hal yang perlu dilakukan adalah proaktif melakukan pemantauan terhadap hutan, mencatat dan mendokumentasikan temuan-temuan atau fakta kerusakan hutan dan melaporkan temuan tersebut kepada pihak berwenang serta membangun dan mengembangkan jaringan pemantauan dan advokasi kehutanan yang lebih luas.
Lebih lanjut ia menjelaskan, berbagai tantangan pemantauan hutan di Sulawesi Tengah diantaranya kurangnya animo publik terhadap kerusakan hutan, minimnya akses informasi publik terhadap situasi kehutanan, adanya tekanan terhadap hutan terus meningkat oleh industri ekstraktif berbasis lahan dalam hal ini sawit, tambang, HTI, IUPHHK, transmigrasi.
“Partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan selama ini sama sekali belum mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. REDD+ sendiri sebagai sebuah wacana yang terus bergulir, telah ada persiapan namun belum implementasi” katanya.
Tantangan lainnya kata Azmi adalah lemahnya penegakan hukum di bidang kehutanan, lemahnya tekanan publik terhadap kerusakan hutan. Kapasitas aktor pemantau masih lemah, misalnya dalam membangun jejaring yang lebih luas, dan menyuarakan isu berbasis “evidence based advocacy”. Perhatian dan minat media massa meliput kerusakan hutan dan (isu REDD+) masih kurang dan pandangan dunia akademisi masih “scientific forestry approach”, sehingga lebih sering menjadi pembenar akademik.
Dibalik berbagai tantangan tersebut, menurut Azmi ada peluang untuk upaya pemantauan hutan di Sulawesi Tengah. “Isu REDD+ memberikan momentum politik dan hukum untuk perbaikan tata kelola kehutanan secara umum. Masuknya Sulawesi Tengah sebagai salah satu pilot project REDD+ di Indonesia melalui skema UNREDD dan dukungan Satgas REDD+ merupakan sebuah kehormatan yang akhirnya juga akan mendorong kesadaran individual dari berbagai kalangan dan pemangku kepentingan untuk menyelamatkan hutan dan lahan yang tersisa” tandasnya.
REDD+ Skema Penyingkiran Petani dari Sumber Penghidupannya
Ditemui di tempat yang sama, Staf Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Adriansah mengungkapkan bahwa berbagai macam skema atau program berkedok penyelamatan hutan dan konservasi yang selama ini sengaja dibuat tidak lain hanyalah untuk menyikirkan petani dan menghilangkan hak mereka atas kepemilikan tanahnya dan akses mereka terhadap sumber penghidupan yang ada di hutan.
“Kami melihat REDD+ ini sebetulnya adalah satu skema yang sengaja diatur oleh negara kapitalis yang ingin membuat kesan bahwa mereka itu baik, mereka juga ingin mengatasi laju deforestasi dan kerusakan hutan. Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Ini semacam ‘cuci tangan’ mereka atas kerusakan yang mereka lakukan sendiri. Sementara ekspansi kapitalis sebagai akar masalah dari kerusakan hutan tidak pernah dihentikan, bahkan terus berlangsung hingga detik ini” ujarnya.
Ia mencontohkan, ekspansi perkebunan sawit berskala besar dan perusahaan tambang nikel di Kabupaten Morowali adalah bentuk ekspansi kapital yang berperan dalam penghancuran hutan yang ada di Kabupaten tersebut. “Jika proyek ini telah terimplementasi, pasti ujung-ujungnya petani yg hidup di sekitar kawasan hutan atau petani yang sangat tergantung penghidupannya dengan hutan tidak dapat lagi dengan bebas mengakses hutannya” kata Adriansah.
Menurut Adriansyah skema REDD+ hanya akan menguntungkan pihak tertentu yang terlibat baik dalam penanganan, maupun pemantauan proyek tersebut. “Termasuk NGO yang ikut dalam pematauan REDD+. Mereka memanfaatkan proyek ini dengan alasan meskipun ditolak, REDD+ tetap akan jalan. Sebenarnya kita mau berpihak kepada siapa? Kepada rakyat atau kepentingan negara kapitalis?” katanya.
“Jadi menurut kami, sebelum benar-benar dijalankan, proyek REDD+ ini wajib untuk ditolak. Karena akan menyingkirkan petani dari kepemilikan tanahnya” tegasnya.
Demikian pula yang diungkapkan Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sulawesi Tengah Rahmawati. Ia mengungkapkan bahwa skema program REDD+ haruslah diselaraskan dengan agenda reforma agraria yang selama ini dijanjikan pemerintah. Dimana menurut Rahma, penyelamatan hutan dan lingkungan sejatinya tidak menyingkirkan rakyat dari lahan garapannya. “Seperti yang terjadi selama ini, atas nama penyelamatan hutan dan pelestarian lingkungan, seringkali rakyat disingkirkan dari lahan garapannya. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah laju kerusakan hutan adalah mencabut atau menghentikan mengeluarkan HGU perkebunan skala besar dan ijin usaha pertambangan” ungkapnya.
Pemerintah Mau Menyelamatkan Hutan atau Memuluskan Investasi?
Senada dengan Adriansah, Direktur Jatam Sulteng Syahrudin Ariestal mengungkapkan bahwa program REDD+ merupakan upaya dari negara kapitalis maju yang menyumbang terhadap tingginya emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim yang kemudian membuat program untuk mengurangi dampak kerusakan hutan. “Negara-negara berkembang seperti Brazil, Kongo dan Indonesia diminta untuk menjaga hutannya. Negara-negara maju itulah yang kemudian menjanjikan akan mengucurkan dana untuk program REDD+ ini” katanya.
Menurut Ethal sapaan akrabnya, sejak diwacanakan dari tahun 2009 hingga sekarang, REDD+ hanya menjadi wacana. Sementara pemerintah Indonesia tetap menjalankan program ini dengan pembiayaannya sendiri berdasarkan skema yang telah dirancang oleh negara kapitalis tanpa bantuan kucuran dana hingga sekarang.
“Problemnya laju kerusakan hutan sebagai akibat ekspansi industri kapital pertambangan yang notabene setiap tahunnya semakin meningkat. Di sisi lain, pemerintah kita juga menerima program REDD+ juga diterima untuk menghalau laju kerusakan hutan. Intinya perusahaan datang membawa duit melalui pertambangan diterima, REDD+ datang membawa duit dalam bentuk penyelamatan hutan. Keduanya adalah hal yang bertolak belakang. pemerintah tidak memiliki ketegasan pilihan, mau mengambil posisi yang mana?” katanya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan sasaran dan substansi dari pemantauan program REDD+. “Apakah yang akan dipantau adalah kerusakan hutannya ataukah dana yang dikucurkan oleh negara maju itu? Kalau yang dipantau adalah uangnya berarti tidak memantau program yang ada di lapangan” Tanya Ethal.
Sementara itu, Divisi Kampanye Walhi Sulteng Aries Bira, menilai Pokja Pantau REDD+ hanyalah merupakan sebuah formasi yang dibuat dalam rangka memuluskan program REDD+ di Sulawesi Tengah. Karena Pokja Pantau REDD+ sendiri tidak memberikan solusi substansial atas penyebab utama dari kerusakan hutan dan lingkungan itu sendiri. Seperti massifnya perkebunan skala besar, HTI dan pertambangan di hutan lindung serta cagar alam. “Bahkan cenderung menyalahkan masyarakat yang selama ini dikorbankan” tandas Aries. (Udin)
Sumber: JOB