Sulteng tetap dilanda konflik TNI diuntungkan

Media Indonesia kembali memberitakan sejumlah pembunuhan di Poso. Pihak kepolisian khawatir kalau kasus-kasus ini digunakan untuk memprovokasi kota Poso yang dikatakan mulai kondusif. Anto Sangadji, Koordinator Yayasan Tanah Merdeka, LSM soal masyarakat adat di Sulawesi Tengah, menyatakan itu hanya alasan polri di Sulawesi Tengah, karena sampai sekarang tidak pernah diketahui sebab atau pelaku pembunuhan. Menurutnya ini juga membuktikan bahwa pemerintah gagal memberikan rasa aman. Ia menduga aparat keamanan juga terlibat dalam konflik Poso, dan TNI/Polri juga diuntungkan dengan adanya kekerasan di Sulawesi Tengah. Berikut penjelasan Anto Sangadji.Tindak kriminal sederhana

Anto Sangadji [AS]: Saya kira ini bentuk ekskusnya dari aparat kepolisian di Sulawesi Tengah. Karena berulang-ulang kali, peristiwa kekerasan seperti ini, itu tidak pernah ada jawaban dari aparat kepolisian. Siapa sebetulnya yang melakukan itu semua. Saya kira peristiwa yang tadi siang jam 11, itu sekali lagi membuktikan bahwa aparat kepolisian kita sudah gagal untuk memberikan rasa aman di masyarakat.

Peristiwa hari ini kan hanya berbeda beberapa hari dengan peristiwa sebelumnya. Dua tiga hari yang lalu ada seorang kepala desa yang kepalanya dipenggal di Poso. Kurang dari satu bulan ini sudah ada empat atau lima kasus kekerasan yang terjadi di Poso. Ada penembakan misterius, ada pembunuhan misterius, ada pemboman misterius.

Radio Nederland [RN]: Jadi menurut Bapak empat lima kejadian terakhir ini lebih dikaitkan kepada tindakan kriminal biasa atau memang ada latar belakang lainnya?

AS: Saya kira ini lebih bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal yang sederhana. Karena kita bicara tentang kekerasan di daerah konflik. Problem Poso ini sudah jauh lebih rumit. Jauh lebih politis daripada sekedar melihatnya sebagai suatu peristiwa kriminal.

Tidak pernah ada pendekatan strategis

RN: Tetapi kan polisi belakangan ini banyak melakukan razia senjata, razia kendaraan, berbagai macam razia. Apakah tidak ada manfaatnya sama sekali?

AS: Kalau kita bicara soal razia, razia itu sudah berkali-kali dilakukan. Jadi kalau setiap kali terjadi kekerasan, setelah itu polisi selalu melakukan razia seperti itu. Tapi setelah habis razia, tidak pernah kekerasan terhenti kan. Jadi menurut saya konteksnya bukan di situ. Dalam menangani soal kekerasan di Poso, pendekatan pihak kepolisian semestinya tidak harus sekedar menggunakan pendekatan model pemadam kebakaran. Ada kejadian terus datang.

Mestinya kan harus menggunakan pendekatan yang jauh lebih strategis. Salah satu contoh misalnya. Banyak kekerasan bersenjata di Poso, sampai hari ini, kita tidak pernah bisa tahu dari mana sebetulnya sumber senjata dan amunisi. Banyak fakta yang menunjukkan, bahwa misalnya amunisi, banyak sekali PT Pindad. Peluru-peluru buatan PT Pindad beredar di sana. Nah tetapi sampai hari ini tidak pernah ada tindakan yang konkret untuk menginvestigasi PT Pindad.

Menurut saya, apakah karena pihak kepolisian takut? PT Pindad adalah salah satu perusahaan di mana komisarisnya itu adalah kepala staf angkatan darat sehingga ada sesuatu yang memang secara politis menjadi hambatan buat polisi untuk menginvestigasi secara lebih jauh.

RN: Jadi menurut Bapak secara politis ada kemungkinan keterlibatan aparat keamanan dalam konflik di Poso? Begitu Pak?

AS: Ya, kalau saya melihat sejauh itu, karena sampai hari ini tidak pernah ada suatu tindakan konkret untuk mencari tahu. Terutama dilihat dari sisi penyebaran senjata api dan amunisi. Dari mana senjata-senjata itu datang. Apakah itu bentuknya selundupan. Atau pun dari sumber pasokan dalam negeri. Semuanya kan harus dikembalikan kepada otoritas keamanan kita.

Polisi dan TNI diuntungkan

RN: Apa gunanya? Apa maksudnya untuk sepertinya menjaga, menciptakan situasi yang kondusif terus-menerus ini Pak?

AS: Sejak tahun 1998, sebetulnya kekuatan yang secara politis diuntungkan, itu kan militer? Apakah polisi atau pun TNI ya. Karena selama kekerasan begitu banyak pasukan dikirim ke sana. Selama kekerasan kemudian terjadi penempatan pasukan organik. Selama kekerasan kemudian terjadi pemekaran komando teritorial.

Secara institusional polisi dan TNI diuntungkan dengan adanya kekerasan di situ. Kekerasan ini juga menguntungkan pihak di birokrasi pemerintahan. Dengan berlarut-larutnya kekerasan begitu banyak ‘proyek kekerasan’ itu dimobilisasi di Poso. Dan semua proyek-proyek itu kan penuh dengan korupsi.

RN: Jadi kalau misalnya sekarang konflik Poso ini tetap dibikin marak untuk menjaga agar TNI dan polisi tidak ‘ditarik mundur’ dari Poso, sekarang bagaimana cara penyelesaiannya Pak?

AS: Nah, kalau menurut saya harus ada dua pendekatan yang harus dilakukan. Yang pertama-tama berkaitan dengan aparat keamanan sendiri. Memang harus ada semacam pembentukan komisi kebenaran. Kewenangannya itu adalah untuk menginvestigasi. Sebetulnya sejarah kekerasan Poso ini, termasuk pihak pemerintah sendiri harus diinvestigasi untuk mengaudit seberapa jauh tindakan-tindakan yang dilakukan di Poso, itu memberikan rasa aman kepada masyarakat. Atau pun justru sebaliknya. Jadi kalau begitu, salahnya di mana? Jadi bukan hanya sekedar perang antara kelompok masyarakat, dengan kelompok masyarakat yang lain. Tapi juga menginvestigasi konteks politik, konteks ekonomi dari kekerasan itu sendiri.

Dan yang kedua, yang menurut saya juga penting adalah sudah saatnya pemerintah harus menyatakan satu deklarasi bahwa konflik yang berlarut-larut seperti yang terjadi di Poso ini, ini adalah bukti kegagalan pemerintah. Ini penting agar di kemudian hari, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memulihkan hak-hak penduduk di Poso.
Demikian Anto Sangadji kepada Radio Nederland.

Sumber : Radio Nederland
Wawancara Fediya Andina