Bukan Teroris Biasa
Dedy bertambah bingung dengan kondisi kedua orang tuanya. Mereka berada di peti jenazah dan diangkat keluar rumah. Isak tangisnya kembali menggema. “Kita ke rumah Oma, Dedy jangan menangis, “bujuk wanita yang memangku Dedy itu.
Bujukan itu tak ada pengaruhnya. Tangisan Dedy bertambah syahdu. “Mama, mama…, mama, mama…, “teriak Dedy saat jenazah kedua orang tuanya dimasukkan kedalam mobil ambulans. Disana terlihat pula kakak kandung Dedy, Jerry yang berusia 8 tahun. Ia pun ikut menoreh airmatanya.
Jenazah itu akan diberangkatkan ke Sangir, Sulawesi Utara, tempat asal ayah mereka. Selanjutnya Dedy dan kakaknya akan tinggal bersama nenek mereka. “Sulit dibayangkan bagaimana Dedy dan Jerry hidup tanpa kedua orangtua mereka. Kedua bocah itu, apalagi Dedy, sangat dekat dengan mamanya, “Kata Rina (37) seorang ibu dari Persit Kartika Chandra Kirana Korem 132/Tadulako, sekaligus sahabat kedua orang tua Dedy dan Jerry.
Pengakuan Rina ini, dikarenakan Dedy hampir tidak pernah ditinggal ibunya. “Yang mengantar dan menjemput Dedy dan Jerry selalu ibunya. Kalau pergi kemana-mana, keluarganya itu selalu berempat. Namun, waktu almarhum Tasman dan dina mau membeli daging, Dedy masih tidur. Dina menyuruh Jerry menjaga Dedy, “kata Rina.
Pasangan suami istri, Sersan Kepala Tasman Lahansang dan Poste Dina Manis yang menikah tanggal 9 Agustus 1995 telah tertidur untuk selama-lamanya. Sebuah bom yang meledak di pasar Maesa, Jalan Pulau Sulawesi, Palu, Sabtu dua pekan lalu mengakibatkan Tasman dan Dina tewas bersamaan. Selain itu, ada enam orang tewas dan 54 orang luka-luka. Bom berkekuatan rendah itu meledak sekitar pukul 07.00 WITA. Bom lainnya juga ditemukan di lokasi yang sama tapi tidak sempat meledak. “Polisi belum dapat memastikan jenis bom yang digunakan. Sejumlah barang bukti, termasuk serpihan bom, tengah diteliti di Laboratorium Forensik Polda Sulteng, “ungkap Kepala Polda Sulteng Brigjen (Pol) Oegroseno.
Hingga kini, belum bisa dipastikan motif dari peledakkan itu. Dari rangkaian peristiwa bom yang sudah meledak di Palu, pihak aparat nampaknya tak pernah mengungkap secara konkrit siapa pelaku yang sebenarnya. Padahal, kata Arianto Sangadji, Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu, kasus peledakan bom di Bali langsung dengan cepat diketahui aparat pelakunya. “Ini ada apa?” tanyanya kepada FORUM.
Ironisnya, lanjut Arianto, meledaknya bom pada saat ketatnya pengamanan oleh kepolisian berkaitan dengan Perayaan Natal dan Tahun Baru di Palu. Tepat di depan pasar daging tersebut juga terdapat sebuah gereja yang dijaga oleh aparat kepolisian. Namun kali ini, pengamanan ketat itu tidak dapat memperkecil aksi-aksi teror pemboman di sana.
Temuan Polda setempat cukup menarik. Yakni ditemukan serpihan bom di lokasi kejadian mirip dengan yang ditemukan dalam beberapa kasus bom sebelumnya di Poso, termasuk yang meledak di Tentena, yang menewaskan 23 orang. Tapi, lagi-lagi sang dalang raib entah kemana.
Alasan berlarut-larut mengungkap siapa di balik peledakan bom di Palu, nampaknya menjadi catatan banyak pihak. Artinya, kasus ini tidak bisa sembarang disebutkan motif yang sesungguhnya. Rektor Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra di Jakarta, menilai, ledakan bom di Palu menandakan teroris masih berkeliaran di Indonesia. Meski demikian, Ia berharap agar insiden itu jangan dibawa ke arah ketegangan antar-agama. “Kalau ada pelaku tertentu, jangan dikaitkan dengan agama tertentu, “katanya.
Sebenarnya dari banyak tragedi di Palu, pemerintah sudah mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 2005, tentang langkah-langkah komprehensif penanganan masalah Poso. Sejak itu, masyarakat berharap masalah poso akan berakhir dengan keluarnya Inpres itu. Nyatanya, tak ada perubahan.
Meski begitu, aparat keamanan tak mau menyerah. Melalui Deputi IV menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) yang juga kepala Desk Poso, Demak Lubis, berjanji akan membentuk Komando Operasi Keamanan (Koopskam) Sulteng sekaligus menambah jumlah pasukan yang akan diterjunkan ke daerah itu. Koopskam Sulteng nantinya membawahi Satgas pengamanan Poso yang sudah terbentuk sesuai Inpres dan akan bekerja paling lambat enam bulan untuk bisa menangkap pelaku, termasuk di pasar daging.
Lembaga baru ini juga nantinya bertugas mengungkap berbagai peristiwa teror yang selama ini terjadi di Sulteng. Di dalamnya terdiri dari berbagai unsur, seperti Polri, TNI dan aparat pemerintah daerah serta akan berkedudukan di kota Palu. Pemegang kendali ini, Inspektur Jenderal Paulus Purwoko (Kepala Divisi Humas Mabes Polri) dan Brigjen Ay Nasution (kepala Staf divisi II Kostrad, Cilodong) masing-masing akan ditunjuk sebagai komandan dan wakil Komandan Koopskam Sulteng. Brigjen (pol) Wahono ditunjuk sebagai Komandan Satuan Tugas (satgas) Palu.
Sayangnya, pembentukan Koopskam ini, menurut Usman Hamid dari Kontras (Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan), merupakan bukti pemerintah tidak punya visi jelas dan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan di Poso dan Palu. Bahkan pemerintah dianggap tidak berani mengoreksi kinerja aparat keamanan dan intelijen, serta penegak hukum. Misalnya, pemerintah tidak berani mengoreksi Badan Intelijen Negara (BIN) yang telah gagal melakukan deteksi dini atas peristiwa teror di Indonesia. “Sudah tujuh tahun persoalan Poso tidak pernah ada yang terungkap. Sebenarnya persoalannya adalah di tubuh aparat keamanan dan penegak hukum sendiri dan tidak adanya keberanian untuk penegakkan hukum terhadap orang yang memiliki kekuatan secara politik, “ujar Usman.
Terakhir, Arianto Sangaji menjelaskan, kekerasan yang terjadi di Poso berjalan seiring dengan kasus korupsi dana kemanusiaan. Koruptor dan pelaku kekerasan di sana saling memanfaatkan dalam menebarkan tindak kekerasan. Bagi koruptor, kekerasan diperlukan sebagai teror terhadap semua fihak yang mencoba untuk mengungkap korupsi dana kemanusiaan Poso. Sementara pelaku kekerasan menebarkan teror semacam ini karena motif-motif ekonomi semata. Inilah yang terjadi dalam kasus pembunuhan kepala desa Pinedapa, Cornelius Ndale (48), pada 5 November 2004 lalu. Begitu juga dalam kasus pengeboman dua kantor LSM di Poso, 28 April 2005, karena kedua LSM ini aktif mengungkap kasus korupsi dana kemanusiaan Poso.
Sekedar mengingatkan, lanjut Arianto, dalam kurun tahun 2000-2004 tidak kurang dari Rp 160 Milyar dana mengalir ke Poso. Dana ini diperuntukkan buat bantuan tanggap darurat 2000-2001, bantuan jadup/bedup (jaminan hidup/bekal hidup), 2002-2004, BBR (Bahan Bangunan rumah), 2002-2004 dan pemulangan pengungsi, 2002-2003. Dana dekonsentrasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Dinkesos (Dinas Kesejahteraan Sosial) Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam praktiknya, dana-dana itu dikorup dengan berbagai modus operandi. Di antaranya mark-up angka pengungsi, pemotongan, pembayaran fiktif, dan tindakan manipulatif lainnya.
Arianto melalui investigasi Yayasan Tanah Merdeka menduga, hasil korupsi dana itu, digunakan untuk membiayai beberapa operandi kekerasan di Poso. Pembunuhan Kepala Desa Pinedapa dan peledakan bom di dua kantor LSM Poso, sebenarnya merupakan fenomena gunung es dari bentuk kerja sama antar koruptor dan pelaku kekerasan Poso. Selama ini koruptor dana kemanusiaan Poso juga lihai mengamankan dirinya dari jeratan hukum. Kiat yang sering dipraktekkan adalah menyogok oknum-oknum aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan serta aparat lainnya.
Masih ada cerita lain, kasus mengalirnya sekitar Rp 200 juta dana jadup dan bedup kepada bekas Kapolres Poso dan bekas Wakapolres Poso, Bekas Kajati Poso, dan bekas Koordinator BIN wilayah Sulawesi Tengah, merupakan contoh bahwa aparat peneg+ak hukum dan otoritas keamanan setempat telah menarik keuntungan dari dana yang mengalir di tengah-tengah kekerasan yang terjadi di Poso. Jika ini benar, maka akan lebih banyak lagi anak-anak yang bernasib sama seperti Dedy. Sayang sekali.
Robby Soegara
Sumber : Forum Keadilan