Perusahaan Sawit dan Tambang Dituding Rusak Hutan
Dari data yang disampaikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM), potensi lahan kritis di daerah ini sudah mencapai satu juta hektar. Namun pemerintah sendiri hanya mampu merehabilitasi seluas 15 hektar pertahunnya. ”Ditahun 2013 luas hutan di Sulawesi Tengah mencapai 4,1 juta ha yang tersebar di 10 Kabupaten dan 1 kota. Dari luas tersebut, terdapat 288,5 ribu hektar lahan kritis,” ungkap Mahfud Masuara dari YTM, mengutip data yang ada pada dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan klasifikasinya fungsi hutan di Sulawesi Tengah terbagi menjadi hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi yang dapat di konversi. Hutan lindung dan hutan konservasi meliputi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan Taman Nasional Lore Lindu.
Hutan produksi mendapatkan proporsi lebih besar, yakni 35% dari total kawasan hutan, kemudian areal penggunaan lain dan hutan lindung dengan proporsi masing-masing 32% dan 22%. Kendati demikian, pemerintah justru mengeluarkan sejumlah izin pertambangan dan perkebunan. Dari total luas hutan, sekitar 7,231,890 ha hutan di kelola oleh perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan Produksi (HPH). “Selain pertambangan, perkebunan sawit memiliki lahan tidak sedikit, kurang lebih 60,710,87 ha luas lahan yang juga sebagian adalah kawasan hutan yang dirubah menjadi perkebunan sawit,” sebut Mahfud yang juga Direktur YTM didampingi Syahrudin dari Jatam Sulteng kepada sejumlah wartawan di Sekretariat Aji Palu belum lama ini.
Lanjut dia, dalam lima tahun terakhir, laju investasi di sektor sumber daya alam di provinsi ini, justru semakin massif. Industri-industri modern berbasis sumber daya alam bertujuan ekspor ini menyebar hampir di semua kabupaten/kota. Tetapi pada umumnya terkonsentrasi di tiga Kabupaten, yakni Kabupaten Morowali, Kabupaten Morowali Utara, dan Kabupaten Banggai.
Sementara itu, Syahruddin mengungkapkan, pada Februari 2014, telah terbit 402 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Batubara, terutama pertambangan bijih nikel. Di sektor minyak, Joint Operating Body Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi (JOBPMTS) telah melakukan kegiatan pengeboran hingga 3.600 ribu barel perhari.
Sementara di Kabupaten Banggai, proyek LNG Donggi Senoro diharapkan akan beroperasi pada akhir 2014 dan akan mengekspor jutaan ton gas alam cair setiap tahun ke Jepang dan Korea Selatan.
Demikian pula di sektor perkebunan. Diterbitkannya Izin perkebunan skala besar dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) turut berperan sebagai penyumbang utama terjadinya degradasi hutan dan lahan di Sulawesi Tengah. Di Kabupaten Banggai, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) mengantongi HGU dengan luas 6010 ha, dan hutan tanaman industry (HTI) 13.000 ha.
Meskipun PT KLS telah menguasai tanah yang terbilang sangat luas, namun fakta di lapangan menunjukkan perusahaan itu kata dia terus memperluas ekspansinya secara illegal, yakni dengan menanam kepala sawit di luar areal HGU.
Hingga kini, tercatat 24.000 ha perluasan yang illegal. Total luas perkebunan sawit PT KLS mencapai 36.000 ha. Selain PT KLS, juga terdapat PT Sawindo Cemerlang (Kencana Agri) yang beroperasi di tempat yang sama berdasarkan izin arahan lokasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Banggai seluas kurang lebih 20.000 ha. Selain itu, ekspansi perkebunan sawit juga massif merambah hutan dan lahan yang ada di Kabupaten Morowali Utara. Di wilayah ini, terdapat HGU PT Sinar mas seluas 16.000 ha.
Tidak saja itu, perkebunan sawit juga terdapat di Kabupaten Buol yang dimiliki oleh PT Cipta Cakra Mudaya seluas 13.000 ha yang terbagi atas 12.00 inti dan 1.400 ha Plasma. Dan yang tak kalah luasnya PT Astra Agro Lestari memiliki luas perkebunan mencapai 34.000 ha yang tersebar di tiga Kabupaten di Sulteng, yakni Kabupaten Poso, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Morowali Utara. (agg)
Sumber: Radar Sulteng. Edisi: Sabtu, 21 Juni 2014.