Warga Bahumatefe Tolak PT Inco
Palu – Sedikitnya 500 kepala keluarga (KK) warga warga transmigran di Desa Bahumatefe dan Desa One Pute Jaya, Kabupaten Mororwali Sulawesi Tengah (Sulteng), menolak kehadiran PT International Nikel Indonesia (INCO) yang akan menggusur mereka. Kepala Desa One Pute Jaya, Eddy Katili, di Palu kemarin menyatakan warga menolak mengikuti relokasi ke areal baru di wilayah Saembawalati. karena daerah tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk menjadi areal pertanian.
“Masyarakat secara tegas menolak kehadiran perusahaan dan menolak untuk direlokasi karena daerah tersebut sudah menjadi areal yang dapat memberikan kehidupan selama ini,” kata Eddy dalam dialog “Kebijakan Ekspansi Pertambangan INCO di Sulteng.”Menurut dia alasan penempatan warga transmigran di lokasi yang diklaim sebagai areal konsesi INCO adalah sudah melalui prosedur resmi, karena lahan itu sejak tahun 1968 tidak pernah diolah oleh INCO atau dilaporkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN)sebagai areal konsesi.
“Pemprov Sulteng sudah berjanji menyerahkan sertifikat lahan kepada warga transmigrasi setelah menjadi desa definitif. Namun, INCO mengklaim areal Bahudopi sebagai areal konsesinya sehingga sertifikat tidak diserahkan kepada warga,” katanya.
Menurut dia pihaknya tidak bisa menghalangi niat 500 warga transmigrasi itu untuk menggunakan upaya hukum dengan jalan menggugat Dinas Transmigrasi, Badan Pertanahan dan INCO.
Pejabat Kepala BPN SUlteng, Gunawan, mengungkapkan bahwa 500 sertifikat lahan warga transmigran di Desa Bahumatefe dan One Pute Jaya sudah diterbitkan oleh BPN. Namun belum diizinkan oleh Gubernur untuk diserahkan ke warga karena lahan itu masih bersengketa dengan INCO.
“Kalau ada petunjuk Gubernur agar sertifikat tersebut segera diserahkan, maka kami akan menyerahkannya kepada masyarakat. Soal INCO, kami tidak tahu menahu karena selama ini INCO tidak pernah menyerahkan peta areal konsesinya kepada BPN,” kata Gunawan dalam dialog tersebut.
Kepala Biro Hukum Pemda Sulteng, Syahril Alatas, relokasi warga transmigran dari lokasi INCO sebenarnya sudah dilakukan, dimana Inco telah sepakat dengan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mendanai proyek ini sebesar Rp. 7 miliar.
Relokasi yang pertama di Desa Saembawalati untuk 200 KK dengan dana awal Rp 3 miliar. Namun, relokasi ini gagal karena warga menolak pindah karena lahan tersebut adalah rawa yang direklamasi, tidak memberikan jaminan ekonomi, serta diklaim oleh penduduk setempat sebagai tanah adat.
Pemda, lanjut dia, hanya menjadi fasilitator dalam relokasi tersebut – bukan menjadi juru damai antara warga transmigrasi dan INCO. “Bahkan untuk mengatasi persoalan tersebut Pemda sudah membentuk tim yang beranggotakan 10 orang.”
Arianto Sangadji, Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM), mengatakan sangat prihatin dengan penyelesaian kasus ini karena Pemda tidak serius menyelesaikan tuntutan warga yang minta sertifikat segera diserahkan. YTM adalah LSM yang menjadi pendamping warga menuntut sertifikat lahan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Chalid Muhammad, mengatakan pemerintah terlalu teburu-buru dalam mentepkan perpanjangan kontrak karya (KK) INCO pada tahun 1996 karena terbukti KK tersebut merugikan daerah.
KK Inco, lanjut dia, sejak awal tahun 1968 hingga 1996 tidak melibatkan penduduk lokal sebagai prinsipal pihak dalam kontrak. karena itu masyarakat banyak yang menolak dengan ketentuan KK yang telah dibuat oleh pemerintah dengan PT INCO. darlis muhammad