35 Izin Usaha Tambang Dicabut
BUNGKU, KOMPAS – Pemerintah Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, mencabut secara permanen 35 izin usaha pertambangan di daerah itu. Izin-izin tersebut bermasalah mulai dari tidak ada penambangan, tidak membayar sewa tanah atau royalti, tidak rutin melapor secara triwulan, hingga perizinan yang tumpang tindih.
”Itu hasil evaluasi tim yang kami bentuk,” kata Bupati Morowali Anwar Hafid seusai membuka dialog publik bertajuk ’Peran Penting Pemerintah Daerah, Perusahaan Tambang, dan Masyarakat dalam Mengelola SDA dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja’, di Bungku, Morowali, Sabtu (17/5).
Dalam acara yang terselenggara atas kerja sama Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulteng dengan Pemkab Morowali itu, Anwar mengakui, sebagian izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah dikeluarkan pada masa kepemimpinannya. Anwar memimpin Morowali sejak 2008.
Di Morowali, ada 144 IUP dengan mineral utama nikel. Sebanyak 80 IUP masih dalam tahap eksplorasi, sementara 64 IUP sudah beroperasi produksi. Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara berlaku, perusahaan beroperasi produksi tidak lagi beraktivitas karena harus membangun fasilitas pengolahan nikel. Penertiban sektor pertambangan merupakan salah satu agenda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kegiatan perdananya dilaksanakan di Sulteng akhir Februari. Namun, menurut Anwar, jauh sebelum agenda KPK tersebut, Pemkab Morowali telah membentuk tim penertiban pertambangan.
Anwar mengatakan, akhir Juli nanti sekitar 50 IUP lagi dicabut permanen dengan alasan yang sama. ”Ke depan, pemegang IUP adalah perusahaan yang benar-benar menjalankan aturan di sektor pertambangan,” kata dia.
Menurut Direktur YTM Mahfud Masuara, penertiban IUP harus disertai dengan kajian ulang dan revisi tata ruang. ”Kalau hanya penertiban, sementara tata ruang tidak direvisi, artinya tinggal tunggu waktu saja IUP itu diterbitkan lagi tanpa basis argumen apakah daerah itu layak tambang atau tidak,” ujar dia.
Dari 64 perusahaan yang beroperasi produksi di Morowali, baru PT Bintang Delapan Mineral yang menata lingkungan (reklamasi dan reboisasi) pasca-tambang. Padahal, luas lahan bukaan mencapai 840 hektar.
Terkait reklamasi, Anwar mengatakan, pihaknya memberi kelonggaran kepada perusahaan hingga Juli. Perusahaan berhenti beroperasi karena sedang mencari investor untuk membangun fasilitas pengolahan nikel.
”IUP yang ada masih hidup. Jadi, istilah pasca-tambang itu belum terlalu tepat. Kami menunggu perkembangan dari perusahaan. Jika tidak ada kabar, kami mewajibkan reklamasi,” ujar dia.
Pilihan terakhir Pemkab Morowali jika perusahaan ”lari” adalah menggunakan dana jaminan reklamasi yang nilainya mencapai Rp 15 miliar. Dana itu bisa dipakai untuk mereklamasi lahan bekas pertambangan. Menurut Mahfud, reklamasi merupakan kewajiban perusahaan. ”Kalau perusahaan tidak melakukannya, bisa dituntut secara pidana karena itu masuk ranah kejahatan lingkungan,” kata dia.
Tambang mangan
Di Nusa Tenggara Timur, ribuan warga dari 12 kecamatan di Kabupaten Belu bersama tokoh agama setempat pada pekan lalu berunjuk rasa mendesak Pemkab Belu mengeluarkan moratorium, penghentian pemberian IUP. Dengan 95 IUP yang dikeluarkan Pemkab Belu menjadikan sekitar 85 persen wilayah Belu masuk kawasan penguasaan pertambangan mangan. Pertambangan mangan diduga telah membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat.
”(Kabupaten) Belu dan Malaka saat ini sedang dalam kondisi ancaman bencana karena dampak dari pertambangan mangan,” kata Ketua Komite Komunitas Demokrasi Masyarakat Belu Hendrik Atapalla, di Atambua, Minggu.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Bupati Yohakis Lopes (2004-2014), 95 IUP diterbitkan dengan luasan lahan 201.046 hektar atau 78,74 persen dari wilayah Belu dan Malaka. IUP sebanyak 95 itu dikeluarkan pada 2011-2013. Namun, penambangan di Belu dan Malaka dilakukan sejak 2009 secara liar oleh masyarakat. Hasil penambangan dijual kepada pengusaha.
Yosephina Malibele, warga Desa Loo Nuna, Kecamatan Lamaknen Selatan, Belu, mengatakan, meski dirinya termasuk petambang mangan sejak 2010, kesejahteraan keluarganya tidak berubah. Justru, dirinya, suami, dan enam anaknya sakit gatal-gatal sejak delapan bulan terakhir. ”Ada enam desa di Kecamatan Lamaknen Selatan dan hampir semua warga di enam desa itu mengalami sakit gatal-gatal,” kata dia.
Pastor Paroki Nualain Kecamatan Lamaknen Rm Inosentius Nahak Pr mengatakan, banyak pengusaha yang hanya mengantongi IUP tanpa aktivitas langsung di lapangan. Mereka justru mempekerjakan masyarakat setempat yang melakukan penggalian mangan langsung tanpa alat pengaman, seperti masker dan sarung tangan.
Kesehatan masyarakat menjadi sangat rentan karena hampir semua petambang tidak mencuci tangan sebelum makan di lokasi pertambangan karena kesulitan air. Tidak sedikit pula orangtua yang membawa anak mereka ke pertambangan. (VDL/KOR)
Sumber: Kompas, 19 Mei 2014