Perkebunan Sawit

Persoalan Agraria Merupakan Masalah Kronis

PALU, MERCUSUAR- Direktur Pelaksana YTM Marianto Sabintoe menyampaikan bahwa persoalan agraria adalah masalah yang kronis, bukan hanya di Sulawesi Tengah, tetapi hampir semua daerah di Indonesia.

Menurutnya, persoalan agraria bukan hanya masalah ketimpangan penguasaan tanah, tetapi lebih jauh adalah adanya dinamika kelas yang kompleks. Para petani sudah saling menghisap satu sama lainnya. “Seiring dengan itu, kehadiran perkebunan Sawit di Sulawesi Tengah membuat petani kehilangan tanah dan terpaksa bekerja di perusahaan sawit,” kata Marianto pada seminar perubahan Agraria di Sulawesi Tengah di salah satu hotel di Palu beberapa hari lalu.

Seminar yang dilaksanakan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) tersebut, juga dihadiri sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, Mahasiswa serta akademisi dari Universitas Tadulako.

Doni Moidady, panelis dari seminar ini, mengatakan perubahan agraria di Sulawesi Tengah saat ini sedang berlangsung dimana-mana. Para petani beralih dari pertanian yang sifatnya subsisten menjadi petani yang berbasis pada komoditas. Hal tersebut, menurutnya sudah berlangsung panjang bahkan sejak kolonialisme.

Penelitian yang ia lakukan di wilayah perkebunan kelapa sawit PT. Wira Mas Permai (Kencana Agri Group) di Kabupaten Banggai, memperlihatkan kecenderungan itu. Para petani beralih menjadi buruh di perusahaan sawit, baik karena perampasan tanah yang dilakukan secara paksa oleh perusahaan maupun karena kemiskinan petani, seperti kebutuhan mendapatkan uang tunai untuk kebutuhan menyekolahkan anak dan kebutuhan lainnya.

Dorongan ini katanya membuat para petani akhirnya memilih untuk bekerja di perusahaan sawit, ketimbang mengintensifkan kebunnya sendiri. Sebab, menurut Doni, para petani tidak memiliki modal untuk merawat kebunnya dan juga karena pengetahuan bertani yang belum maju.

menanggapi hasil penelitian YTM tersebut, Ruth Indiah Rahayu mengatakan, aspek penting yang juga harus diperhatikan dalam melihat masalah agraria adalah posisi perempuan dan anak-anak. Yuyut, panggilan akrapnya, menguraikan perempuan seringkali dipekerjakan dengan upah murah, waktu kerja yang panjang dan pengabaian terhadap kesehatan mereka. Hal tersebut menurutnya, seringkali terjadi di perusahaan sawit maupun tambang.

Sementara itu, Mardianto, S.S.T, Kepala Seksi Penetapan Hak Tanah Badan Hukum, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng, menyatakan bahwa perubahan agraria juga seringkali merubah kebijakan pemerintah, berkaitan dengan penguasaan tanah. Tugas BPN adalah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat melalui pemberian sertifikat. Menurutnya, sertifikat tanah penting dilakukan guna memberikan legitimasi hukum kepada masyarakat.

Lanjut Mardianto, pengurusan sertifikat tidak sulit dan tidak dipungut biaya kecuali dalam proses pengukurannya.

“Adanya sertifikat tersebut, dapat memberikan kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.*/DIN

Sumber: Harian Mercusuar, Edisi 21 April 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *