Konflik Lahan Mulai Diselesaikan: Kasus di 17 Taman Nasional Jadi Prioritas
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian konflik penguasaan lahan atau tenurial di 17 taman nasional sedang dikerjakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Langkah ini untuk memberi keadilan akses dan aset bagi masyarakat lokal serta menegakkan hukum bagi pemain lahan ilegal.
Beberapa taman nasional yang menjadi garapan adalah Taman Nasional Tesso Nilo (Riau), Ujung Kulon (Banten), Kerinci Seblat (Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan Sumbar), dan Gunung Leuser (Aceh dan Sumut).
“Itu saya cermati dan menjadi prioritas saya,” kata Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (4/7), di Jakarta. Ia dilantik menjadi dirjen pada 16 Juni 2017 dari jabatan sebelumnya Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial.
Strategi yang dipilih dalam penyelesaian konflik tenurial ini, kata dia, di antaranya melihat sisi historis pengelolaan dan penguasaan lahan di kawasan hutan. Sisi historis ini penting mengingat penetapan sebagian kawasan hutan dilakukan dengan penunjukan. Kebijakan masa lampau ini memunculkan permasalahan yang berujung konflik ketika terdapat masyarakat yang tinggal di dalam taman nasional.
Selain melihat sisi historis, pemerintah juga menggunakan pendekatan administratif, antara lain dengan melakukan sensus masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.
Pada beberapa taman nasional ditemukan penguasaan perkebunan puluhan sampai ratusan hektar oleh cukong yang berasal dari luar daerah, termasuk dari Jakarta. Sensus domisili ini untuk menentukan langkah penyelesaian tenurial. Selain itu, saat pendataan pun memunculkan temuan-temuan beking dan pemodal oknum aparat, termasuk orang Jakarta.
Jika komunitas yang bertempat tinggal dan mengupayakan lahan di dalam kawasan merupakan warga setempat, bisa dicarikan solusi melalui hutan adat dan perhutanan sosial. Adapun pendekatan hukum menanti bagi cukong-cukong pemodal yang menguasai lahan di kawasan hutan.
Ia mengatakan, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan persyaratan agar hutan terjaga. “Pelibatan masyarakat itu lagu wajib, jadi kepala-kepala balai harus bergaul dengan masyarakat dan pengampu kepentingan di daerah,” ujarnya. Ia menambahkan, kolaborasi dengan masyarakat harus diutamakan karena penyelesaian masalah tenurial yang kompleks tak mungkin dilakukan hanya oleh KLHK/pemerintah.
Selama ini KLHK menjalankan kebijakan memberikan ruang kelola bagi masyarakat di dalam dan sekitar taman nasional melalui desa penyangga konservasi. Data KLHK menyebutkan, saat ini terdapat 6.195 desa penyangga kawasan konservasi. Total sekitar 1,5 juta hektar kawasan konservasi diperuntukkan bagi zona tradisional dari 27,5 juta hektar hutan konservasi.
Revisi UU Konservasi
Menurut Wiratno, konsep alam, budaya, dan komunitas masyarakat merupakan satu kesatuan ikatan. Karena itu, ia mendukung revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang memasukkan masyarakat sebagai pengelola hutan konservasi. “Harus kolektif bersama masyarakat. Tidak bisa kami bekerja sendiri mengurus hutan,” ujarnya.
Working Group Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) Indonesia (WGII)- kumpulan 10 lembaga yang peduli pada masalah konservasi dan hak masyarakat adat-mendesak agar paradigma pemerintah dan DPR terkait tata kelola konservasi berubah. “Masyarakat adat/lokal menjadi subyek yang punya peran penting dalam mengelola kawasan konservasi,” kata Kasmita Widodo, Koordinator WGII, Selasa (4/7).
Ia mengatakan, dalam konsep RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem, versi DPR dan konsep Pemerintah, masih sama dengan UU No 5/1990, yaitu hanya mengakui pengelolaan masyarakat di luar kawasan konservasi. Ia meminta agar areal konservasi kelola masyarakat (AKKM) diakui dan dilindungi, baik yang berlokasi di dalam kawasan konservasi maupun di luar kawasan. “Masyarakat adat dan masyarakat lokal merupakan aktor pengelola konservasi di Indonesia dengan sistem kearifan lokal secara praktik dan nilai,” ujarnya. (INK/ICH)
Sumber: Harian kompas, 05 Juli 2017