Industri Pertambangan

Eksploitasi & Kekerasan Berbasis Gender Yang Sengaja Disembunyikan Pengusaha Industri Nikel Di Morowali[1]

Bisnis pengolahan nikel di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah telah berkembang sejak instrumen kerja makin bertambah. Alat produksi seperti Rotary Kiln Electric Furnace, Dryer, dan high pressure acid leaching merupakan mesin kerja di pabrik smelter. Serta eksavator, dump truck dan crane merupakan alat distribusi logistik bahan mentah dan setengah jadi. Semua itu berkembang berkat konsentrasi modal asing dan dalam negeri bersatu dalam jaringan bisnis atau biasa disebut Joint Venture (Usaha Patungan).

Karena meluapnya alat kerja ini, maka dibutuhkan tenaga-kerja tambahan (supplementary of labour ) yaitu perempuan. Lantas mengapa perempuan? Dalam budaya patriarki, perempuan telah lama dianggap bisa dikontrol tubuh dan tenaga-kerjanya untuk produksi dan reproduksi sosial. Makanya, tenaga-kerja tambahan yang bisa dikendalikan ialah perempuan untuk dipakai pada operasional kerja mesin-mesin tersebut.

PT Indonesia Morowali Industrial Park [IMIP] mempunyai karyawan laki-laki sebanyak 77.855 orang dan perempuan 6.481 orang. Ini bukan jumlah yang aneh atau timpang, tetapi memang rekrutan perempuan sebagai tenaga-kerja tambahan untuk melengkapi posisi kerja yang akan diisi pada divisi kerja yang kurang strategis. Seperti operator, stoker, admin, dan pengawas di ruang kontrol.

Jumlah tenaga-kerja yang melimpah ditambah alat-alat produksi yang banyak, menunjukan praktek eksploitasi kerja disertai kekerasan berbasis gender dalam relasi produksi yang kapitalistik yang disembunyikan atau difabrikasi.

Langgam kerja seperti operator hoist crane, pengawas di kontrol room, stoker di kantin, serta admin adalah pekerjaan yang diberikan kepada perempuan.

Konstruksi Sosial Budaya Patriarki

Dalam sebuah sesi diskusi, muncul sebuah tanya dari seorang buruh laki-laki: “mungkinkah perempuan ditempatkan di devisi furnace, yang notabene pekerjaan berat dan berbahaya bagi rahim perempuan?” Jawabannya Ya. Namun, tentu saja perlu penyesuaian, baik terhadap alat-alat produksi yang dipakai dan juga tentu budaya kerja yang diharuskan untuk ramah terhadap perempuan.

Pembatasan posisi kerja perempuan di PT. IMIP merupakan hasil dari konstruksi sosial. PT. IMIP menganggap cocok menaruh perempuan di posisi kerja terbatas seperti itu, karena watak dan pikiran mereka telah dibentuk oleh budaya patriarki. Dalam budaya patriarki, beberapa konstruksi sosial telah mendukung perekrutan perempuan ke dalam pasar tenaga kerja. Seperti, persepsi dalam peran gender yang menganggap perempuan lebih cocok untuk pekerjaan perawatan terutama di sektor jasa maupun produksi. Di ranah domestik, kita sering menemui perempuan dipekerjakan di keluarganya untuk memasak, membersihkan bahkan merawat apapun.

Konstruksi sosial berikut, yaitu pekerjaan sebagai tambahan. Ada pandangan sejak lama, bahwa perempuan [istri] bukan pencari nafkah utama keluarga. Hal ini membuat perusahaan seperti PT. IMIP cenderung merekrut perempuan dengan kondisi kerja yang tidak stabil. Dalam slip upah buruh perempuan ada status yang mempengaruhi naik atau tidaknya gaji mereka, status itu adalah pernikahan. Apabila buruh perempuan yang bekerja telah menikah, maka gajinya akan bertambah. Entah buruh tersebut orang tua tunggal atau tidak, status ini lahir dari pandangan patriarki. Yaitu perempuan sebagai pencari nafkah sekunder.

Dan konstruksi sosial terakhir yaitu stereotype atau pelabelan. Perempuan dilabeli makhluk yang patuh dan tidak banyak menuntut banyak hal, sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah tangga maupun di ruang publik. Mereka dianggap lebih gampang untuk dieksploitasi, diintimidasi dalam konteks relasi produksi. Label macam ini, memberikan insentif kepada kapitalis untuk merekrut perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan demi akumulasi keuntungan.

Intensifikasi Kerja

Dalam Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelumnya, disebutkan tentang waktu kerja. Dituliskan, jam kerja selama 8 jam kerja dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu dan untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Ini waktu kerja yang berlaku secara kemasyarakatan, belum termaksud waktu kerja lembur.

Untuk memperoleh keuntungan, PT IMIP menerapkan strategi yang efektif dalam memanfaatkan waktu kerja dalam sehari bahkan seminggu. Strateginya yaitu intensitas kerja.

Dalam kerja yang intensif, produktivitas meningkat, buruh dapat menghasilkan produk akhir nikel dalam tekanan perusahaan untuk memenuhi targetnya. Didukung penggunaan teknologi pada alat-alat produksi. Perusahaan berusaha memaksimalkan penggunaan mesin dan meningkatkan produktivitas dengan membagi waktu kerja menjadi tiga shift. Setiap regu bekerja dalam waktu yang lebih pendek namun dengan intensitas yang tinggi, dimana pekerja diharapkan untuk menghasilkan output yang lebih besar dalam durasi yang sama.

PT. IMIP berusaha memaksimalkan produktivitas dengan menerapkan sistem tiga shift, di mana setiap regu bekerja dalam waktu yang lebih singkat namun dengan intensitas yang tinggi. Strategi ini, meski tampaknya efisien, menciptakan tekanan yang signifikan bagi pekerja untuk memenuhi target produksi yang terus meningkat. Konsep intensifikasi kerja di sini jelas terlihat; pekerja dituntut untuk beradaptasi dengan cepat, meningkatkan output dalam waktu yang terbatas. Namun, di balik angka-angka produksi yang menjanjikan, tersembunyi resiko kesehatan mental dan fisik yang semakin mengancam, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Sistem kerja yang rigid ini sering kali mengabaikan kebutuhan mendasar pekerja akan waktu istirahat dan pemulihan. Tanpa pengaturan yang bijak, pekerja dapat terjebak dalam siklus kelelahan yang berkepanjangan, yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas kerja dan keselamatan. Dalam jangka panjang, dampak dari kelelahan ini tidak hanya mengakibatkan meningkatnya absensi dan kecelakaan kerja, tetapi juga berpotensi merugikan produktivitas secara keseluruhan. Di sini muncul pertanyaan kritis: apakah keuntungan jangka pendek bagi perusahaan sebanding dengan pengorbanan yang harus dibayar oleh pekerja?

Tantangan ini semakin diperparah bagi buruh perempuan, yang sering kali harus menanggung beban ganda, baik di tempat kerja maupun di rumah. Mereka tidak hanya diharuskan untuk memenuhi tuntutan kerja yang tinggi, tetapi juga sering kali terjebak dalam tanggung jawab domestik yang tak berujung. Intensifikasi kerja yang semakin meningkat memperburuk kondisi ini, menyebabkan stres dan kelelahan yang lebih dalam.

Kesimpulan

Industri nikel di Morowali, khususnya di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), menunjukkan bagaimana perempuan pekerja menjadi korban dari sistem kerja yang kapitalistik dan patriarkal. Dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki, mereka ditempatkan dalam posisi yang rentan, seperti operator atau pengawas, yang sering kali disertai eksploitasi dan diskriminasi. Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk patuh membuat mereka mudah dikendalikan oleh perusahaan untuk keuntungan besar. Ditambah lagi, kondisi kerja yang tidak stabil dan status pernikahan yang mempengaruhi upah, semakin memperlihatkan bagaimana perempuan dihadapkan pada situasi kerja yang tidak adil.

Lebih lanjut, intensifikasi kerja yang diterapkan di PT IMIP memperburuk kondisi para buruh, terutama perempuan, yang tidak hanya menghadapi tuntutan kerja yang tinggi tetapi juga beban ganda di rumah. Strategi kerja tiga shift dengan intensitas tinggi ini, meskipun meningkatkan produksi, membawa risiko kelelahan mental dan fisik yang serius bagi pekerja. Situasi ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana perempuan terus-menerus terjebak dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ini menjadi peringatan bahwa keuntungan jangka pendek perusahaan tidak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung oleh pekerja, terutama perempuan yang terus mengalami eksploitasi dalam relasi produksi yang tidak adil.


[1] Tulisan ini untuk merespon kampanye PT IMIP atau fabrikasi mitos yang mereka bentuk supaya menunjukan citra mereka telah emansipatif terhadap buruh perempuannya. Semua argumentasi di tulisan ini terinspirasi dari Karya kolosal Karl Marx berjudul Capital: Volume One.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *