Janitor for the North: Posisi Pemerintah Indonesia Sesungguhnya di COP30 Brazil

“Pemerintah Indonesia tidak membawa agenda bersih dan hijau! Lebih mempromosikan diri sebagai pembersih dan menyangkali kerusakan akut lingkungan dan eksploitasi yang disebabkan negara bagian utara.”

Pemerintah Indonesia menghadiri Conference of the Parties ke-30 (COP30) UNFCCC di Belem, Brasil. Di negara sepak bola itulah, elit global bicara tentang iklim dan mitigasinya. Perwakilan pemerintah Republik berusaha meyakinkan diri kepada pendana/pengusaha serta pemerintah negara lain melalui “aksi nyata” dan “keadilan global” atau Global South. Dari pernyataan terakhir itu, Indonesia ingin sekali memimpin negara bagian selatan untuk menguasai agenda—khususnya—karbon dunia.

Di Brazil, pemerintah Indonesia menawarkan agenda penting, diantaranya:

  1. Climate Finance, yang menyoroti skema pembiayaan dan modalitas perdagangan karbon.
  2. Nature, yang menampilkan peran alam dalam mitigasi emisi melalui climate resilience.
  3. Technology, yang memperkenalkan inovasi teknologi rendah karbon.
  4. Implementation, yang menunjukkan praktik aksi nyata di lapangan.

Dari ke empat agenda itu Indonesia akan menghadirkan forum Seller Meet Buyer atau pembeli bertemu penjual dalam isu dagang karbon. Dari situlah pemerintah Indonesia menjadi panitia pelaksana dalam soal jual-beli karbon di bumi pertiwi.

Berdasarkan hal ini, kami menyoroti beberapa hal.

Dari forum Seller Meets Buyer sebetulnya Indonesia bukan memperdulikan hutan dan lingkungan hidup, tetapi memperdulikan Uang. Pemerintah Indonesia berambisi menjadi nomor satu, memimpin perdagangan karbon di bagian selatan dunia. Dengan meyakinkan para pengusaha, negara-negara utara [kapitalis] dan masyarakat dunia, bahwa pemerintah Indonesia mampu memfasilitasi perputaran uang ditengah deforestasi tinggi akibat pengrusakan hutan oleh bisnis ekstraktif. Terlebih lagi, agenda di forum itu jauh sekali dari kebutuhan perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini disebabkan, Pendanaan iklim global, terutama dari negara maju, semakin bergantung pada modal swasta dan investasi alih-alih bantuan publik. Proyek adaptasi terhadap efek iklim pada pulau-pulai kecil dan pesisir, seringkali menyebabkan relokasi PAKSA penduduk pesisir akibat pembangunan tembok laut.

Demikian juga proteksi terhadap hutan. Sebenarnya, pemerintah Indonesia lebih menyombongkan diri untuk mau bertanggung jawab terhadap risiko deforestasi melalui . Maksudnya, Indonesia sengaja memindahkan tanggung jawab dari negara-negara yang seharusnya mengurangi emisi (Global North) ke negara-negara yang berpotensi menyerap karbon (Global South). Efeknya adalah enclosure.

Pada akhirnya pemerintah Indonesia, telah membawa Indonesia sebagai Janitor dan for the North.

Forum pertemuan untuk Seller Meets Buyers menyiratkan Indonesia secara struktural bertugas sebagai janitor yang artinya petugas untuk “membersihkan” dan “menyerap” emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas padat industri dan konsumsi berlebihan di negara utara. fungsi janitor oleh Indonesia ini kontras dengan fakta di lapangan. Justru, bisnis dari negara utara [negara kapitalis maju] yang merusak hutan dan mencemari lingkungan melalui bisnis ekstraksi mereka baik langsung maupun tidak langsung [melalui pembiayaan modal oleh BANK Asing].  

Singkatnya, penerima manfaat dari Seller Meets Buyers untuk dagang karbon bukan Indonesia, melainkan negara kapitalis maju! Mereka yang mengotori, Indonesia yang membersihkan.

Lantas, apa efek dari situ? Ialah enclosure.

Enclosure artinya pemagaran. Namun yang dimaksud dari sini bukanlah pemagaran dalam arti sesungguhnya. Melainkan, “pematokan”. Dan politik pematokan seringkali ditemukan pada kasus pengusiran paksa masyarakat adat di dalam kawasan hutan.

Dari konsep janitor tadi, maka pemerintah akan memprioritaskan perlindungan nyata pada kawasan hutan melalui status perlindungan tinggi seperti Taman Nasional dan Hutan Konservasi lainnya. Ketika tapal-tapal batas [enclosure] melalui plank baja dipasang maka pemindahan pemukim di hutan sejak dahulu kala akan dianggap penganggu dan berpotensi di “usir” paksa, keluar dari tanah moyang mereka. selain proyek strategis nasional, patok-patok tapal batas itu masih menjadi momok bagi masyarakat tradisional di kawasan hutan. Terlebih lagi, pemerintah Indonesia tidak segan-segan melibatkan TNI dalam penertiban kawasan hutan bersama Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Maka yang menjadi sasaran adalah masyarakt adat, peladang dan atau pekebun yang selalu dilabeli sebagai perambah hutan, sebuah label negatif terhadap mereka.

Pada akhirnya, pemerintah Indonesia mengambil peran sebagai “Janitor for the North” di tengah ambisi perdagangan karbon COP30, alih-alih membawa isu perlindungan terhadap lingkungan yang nyata, fokus pada skema jual karbon justru memindahkan tanggung-jawab emisi dan kerusakan dari negara-negara maju ke Indonesia. Konsekuensinya, enclosure yang memicu konflik agrarian berkepanjangan. Dan ini membuktikan, misi pemerintah Indonesia di COP30 Brazil lebih condong ke uang ketimbang perlindungan masyarakat dan lingkungan secara progresif.

Oleh: Richard Labiro, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka.


Diterbitkan

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *