Pemerintah Gagal Rekonsiliasikan Poso
Selama ini sebagian masyarakat melihat kekerasan Poso sebagai manifestasi konflik etno-religi. Kekerasan yang berlangsung hampir enam tahun telah menanamkan saling curiga antaranggota masyarakat dengan latar belakang etnik dan agama berbeda. Bagaimana pun, merujuk identitas korban, masyarakat lalu memercayainya sebagai konflik etno-religi.Kegagalan pemerintah
Berlarut-larutnya kekerasan di Poso bersumber dari kegagalan pemerintah. Pertama, kegagalan memberi perlindungan keamanan kepada warga, terutama ditandai membiarkan pertumbuhan kelompok-kelompok bersenjata non-negara (non-state armed groups) di Poso. Kelompok-kelompok ini terlatih dan tergorganisir menggunakan kekerasan bersenjata sebagai metode. Ironisnya, pemerintah sama sekali tidak memiliki kebijakan keamanan tentang kelompok ini sehingga menyuburkan pertumbuhannya.
Kegagalan pemerintahn juga terlihat dari luasnya penyebaran gelap senjata api dan amunisi di daerah ini. Sama sekali tidak ada usaha untuk memangkas sumber pasokan senjata api dan amunisi. Juga tidak mencegah penyalahgunaan senjata oleh aktor non-negara. Diketahui, berbagai jenis senjata serbu (assault rifles) seperti M-16, AK-47, SS-1, dan berbagai senjata laras pendek, serta amunisi buatan PT Pindad menyebar di daerah ini.
Padahal, enam tahun terakhir pengiriman pasukan keamanan ke Poso meningkat tajam. Ditandai berulang-ulangnya pengerahan pasukan non-organik TNI dan Polri, penempatan pasukan organik baru (TNI AD dan Brimob), hingga pemekaran dan rencana pemekaran komando teritorial (TNI AD) dan institusi setingkat untuk Polri (Kepolisian Resor) yang baru. Artinya, sama sekali tidak ada korelasi antara pengerahan pasukan dan peredaan kekerasan.
Kedua, ketidakjelasan konsep tentang rekonsiliasi. Kecenderungan ini sudah mulai terlihat sejak inisiatif Pertemuan Malino Desember 2001. Dalam pertemuan itu, komunitas Islam dan Kristen menjadi obyek rekonsiliasi, sementara posisi pemerintah adalah mediator atau fasilitator. Artinya, kedua komunitas adalah pembuat masalah, dan pemerintah adalah pihak di luarnya. Ini jelas mendistorsi fakta tentang kekerasan Poso. Banyak bukti menunjukkan, eskalasi kekerasan sebenarnya terkait langsung dengan institusi negara. Pembiaran kekerasan oleh aparat keamanan, penyebaran senjata api dan amunisi, serta keterlibatan langsung sejumlah aparat keamanan dalam kekerasan membuktikan, kekerasan di sana tidak (sepenuhnya) bersumber dari masyarakat.
Ketidakjelasan rekonsiliasi itu menyebabkan pendekatan penyelesaian Poso nyaris gagal. Pengiriman pasukan keamanan sama sekali tidak mampu mengakhiri kekerasan. Pembentukan kelompok kerja Deklarasi Malino (Pokja Deklama) yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat setempat hampir tidak efektif bekerja, karena tidak menyentuh kepentingan kelompok korban dan cenderung project driven. Proyek-proyek pemulihan dan rehabilitasi tidak mampu menarik pengungsi kembali ke kampung halaman seperti semula.
Berkaca pada hal itu, pemerintah harus menyatakan secara jujur dan terbuka, dirinya telah gagal mencegah kekerasan dan memulihkan keadaan di Poso, Kompensasinya, pemerintah wajib memulihkan hak-hak penduduk di Poso, merehabilitasi semua kerusakan (fisik dan mental), mengompensasi semua kerugian dan menjamin tidak akan terulangnya kekerasan di sana.
Komisi Kebenaran
Pemerintah SBY dan JK harus menyusun langkah baru untuk penanganan Poso. Langkah mendasar adalah membaca ulang kekerasan Poso dengan kacamata baru. Yakni, tidak menyederhanakan kekerasan di sana sebagai problem antarkomunitas, tetap memahaminya sebagai problem politik yang kompleks. Di mana kekerasan sebenarnya terkait kepentingan (politik dan ekonomi) aktor-aktor tertentu dalam tubuh negara. Selama ini, perbincangan resmi tentang kekerasan Poso tidak pernah menyentuh hal ini. Tentu, karena kendala politik dibanding alasan teknis.
Untuk itu, pemerintah perlu membentuk semacam komisi independen tentang kebenaran di Poso. Kewenangan komisi ini adalah mengumpulkan fakta tentang kekerasan dan melihat tali-temalinya dengan para aktor negara. Dengan dmeikian, komisi ini punya kewenangan menginvestigasi institusi-institusi pemerintah yang berhubungan dengan kekerasan di sana. Komisi ini akan membuat laporan dan rekomendasi yang mengikat pemerintah untuk menindaklanjutinya, baik yang berhubungan dengan penegakan hukum, maupun pengembangan rekonsiliasi.
Dari sisi korban, kehadiran komisi kebenaran amat penting, terutama memenuhi hak mereka untuk mengetahui duduk perkara konflik secara utuh. Mereka harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Poso. Mereka tidak hanya tahu apa yang mereka alami sebagai manifesasi konflik etno-religi, tetapi yang lebih penting adalah “politisasi” atau eksploitasi sentimen sehingga memicu konflik dan melestarikannya.
Mereka juga perlu tahu, mengapa negara gagal meredam kekerasan; mengapa aparat selalu kalah cepat dengan penembak misterius; siapa yang memasok senjata api dan dari mana peluru buatan PRT Pindad beredar begitu luas. Daftar pertanyaan lain dapat dibuat untuk mengungkap seribu misteri. Komisi Kebernaran yang harus menyingkap semua itu.
Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu