Aditjondro: Jurnalis Cenderung Bias Saat Meliput Konflik

Semarang – Tidak mudah bagi para jurnalis meliput di wilayah konflik. Bukan hanya karena kekerasan fisik yang setiap saat bisa menerjang, tapi juga karena kesadaran psikologis bisa membuat hasil liputan menjadi bias. Demikian dinyatakan Konsultan Penelitian dan Penerbitan Yayasan Tanah

Merdeka Palu George Junus Aditjondro dalam diskusi “Dampak Pemberitaan Media atas Konflik Regional di Indonesia” yang digelar Lespi (Lembaga Studi dan Informasi) Semarang di Gedung DRD, Jl. Imam Bonjol, Sabtu (28/08/2004).Dikatakan Aditjondro, bias dalam peliputan di wilayah konflik, misalnya adanya semangat NKRI yang terlalu berlebihan. Para jurnalis jarang yang berusaha menggali akar permasalahan mengapa sebagian warga Aceh mendukung GAM.

“Banyak jurnalis yang tidak terbebas dari ikatan primordialisme mereka. Sehingga mereka biasanya menulis berdasarkan sentimen suku atau agama,” katanya.

Lebih lanjut, pria yang pernah menjadi dosen tamu pada Universitas Melbourn Australia ini menyatakan dalam peliputan konflik para jurnalis lebih mengandalkan sumber dari komandan aparat bersenjata. Mereka tak pernah memperdalam kemampuan analitisnya dengan investigasi langsung ke lapangan.

“Sering juga, mereka (para jurnalis) tidak paham tentang konflik-konflik di lingkungan TNI dan Polri. Akibatnya, mereka tidak bisa menjelaskan fungsi dan peran dua institusi itu secara proporsional,” terangnya.

Aditjondro mencontohkan, satuan kepolisian yang dikerahkan dalam wilayah konflik adalah Brigade Mobil. Satuan ini tidak mempunyai senjata yang mematikan, hanya berrupa penthung, gas air mata, dan meriam air.

“Kenyataannya sebagian dari mereka menggunakan senjata yang mengakibatkan korban meninggal. Artinya, mereka menggunakan senjata yang bukan porsinya. Ini jarang ditulis oleh para jurnalis,” tandasnya.

Terakhir Aditjondro menyatakan banyak jurnalis tidak dilengkapi dengan pisau analisa sosial-politik dalam meliput wilayah konflik. Setiap kali ada infiltrasi asing, pemodal, atau kekuasaan lain, mereka tidak bisa menjaga jarak.

“Pada akhirnya mereka hanya jadi permainan kekuasaan yang ada. Kalau tidak keluar dari situ, berita mereka bisa menyesatkan masyarakat pembaca,” katanya.
Pendapat Aditjondro diatas merupakan hasil penelitiannya di tiga daerah yakni Ambon, Poso, dan Aceh. Ia meneliti beberapa karya jurnalistik di wilayah tersebut dan mengkajinya secara jurnalistik pula.(gtp)