Andai Mau Belajar pada Pengalaman

SEPERTINYA tidak ada yang salah dengan proyek jalan Ladia Galaska, yang menghubungkan pesisir barat dengan pesisir timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Proyek yang dicanangkan Gubernur Abdullah Puteh, 2001 itu, bertujuan membuka isolasi masyarakat pantai Laut Hindia terhadap kegiatan ekonomi di pantai Selat Malaka. Namun, bila dikaji lebih jauh muncul berbagai gugatan. Di antaranya berkaitan dengan dampak Ladia Galaska terhadap kelangsungan peri kehidupan di wilayah Aceh. Yang paling nyata adalah rusaknya kawasan hutan, karena jalan sepanjang 504,69 kilometer itu, beberapa ruasnya menyeruak kawasan ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Itu belum termasuk proyek Ladia Galaska Pengembangan (713 km) dan Ladia Galaska Pendukung (342,50 km). Bagi pemerhati lingkungan, ini awal malapetaka. Para penjahat lingkungan akan mendapat akses untuk membalak hutan surgawi bagi 300.000-an spesies flora dan fauna itu. Maka keanekaan hayati yang baru sebagian kecil diteliti akan hilang, sementara daerah tangkapan air (water catchment area) dan daerah aliran sungai (DAS) akan rusak.Rusaknya daerah tangkapan air, mengakibatkan gangguan ketersediaan air. Pada musim kemarau, permukiman dan industri di utara Aceh terancam kekurangan air. Sebaliknya, pada musim hujan, tanah longsor dan banjir bandang akan menyasar permukiman penduduk. Yang terjadi justru penurunan potensi ekonomi. Beberapa wilayah di Jawa telah merasakan dampak kerusakan daerah tangkapan air ini.

Masih ada sederetan dampak yang dirasakan langsung manusia tanpa harus melibatkan satwa dan puspa yang sudah lebih dahulu sengsara. Di antaranya dampak ekonomi, karena dengan terbukanya akses ke Sumatera Utara dari pesisir barat, kawasan Banda Aceh dan Kepulauan Sabang sebagai jantung perekonomian Aceh justru akan terisolir. Seterusnya secara sosial ekonomi, wilayah Aceh terbelah akibat polarisasi orientasi: ke Banda Aceh dan ke Medan.

TAMAN Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah, agaknya bisa menjadi pelajaran untuk melihat ke masa depan kawasan ekosistem Leuser.

Pembangunan jalur jalan yang membelah TN Lore Lindu 1997, membawa berbagai perubahan. Ruas jalan penghubung Palu dengan Poso melalui Lembah Napu membuka akses bagi kegiatan illegal logging di ekosistem Lore Lindu.

Juga bagi pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan, yang membuka lahan dan kemudian bermukim di pinggiran TN Lore Lindu. Survei mengungkapkan, terjadi peningkatan jumlah penduduk hampir 60 persen pada 1980-1990. Migrasi dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah semakin meningkat saat krisis ekonomi dan menaikkan harga kakao.

Pembangunan jalan beraspal menghubungkan Palolo dan Napu, memberi peluang para eks peserta Proyek Permukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) Departemen Sosial, memasuki Dongidongi. “Mereka adalah korban involuntary resettlement (pemindahan paksa),” ujar Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Arianto Sangaji.

Sebelum akses jalan dibangun, sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) selama 25 tahun, sejak 1980-an telah membalak hutan di kawasan Dongidongi. Kawasan tersebut merupakan daerah tangkapan air bagi wilayah Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Kerusakan hutan mengakibatkan kerusakan DAS yang bermuara di Donggala maupun Palu. Saat musim hujan sering terbentuk sungai baru yang menghantam permukiman penduduk.

DI samping mengklaim sebagai tanah adat, jalan beraspal mulus akan memudahkan mereka memasarkan hasil kebunnya. Tahun 2001, ada 1.030 keluarga memutuskan menduduki Dongidongi dan menetap sampai kini.

Keberadaan sedikitnya 60 desa di sekitar TN Lore Lindu, dianggap sebagai ancaman bagi kawasan konservasi itu oleh pihak pengelola. Sementara perbauran dengan pendatang juga menjadi potensi konflik yang mengintai warga.

Leuser pun bakal mengalami hal serupa. Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, bahkan mengkhawatirkan dampak sosial akibat persaingan etnis. “Masyarakat rural yang baru terbuka, tiba-tiba berhadapan dengan orang urban dari Medan yang agresif. Hal ini rentan terhadap benturan etnis seperti yang pernah terjadi antara orang Dayak dan Madura di Kalimantan,” ungkap Makarim.
Masihkah kita tak mau belajar pada pengalaman? (Nasru Alam Aziz)