BANGUN PERSATUAN PROGRESIF PETANI & KELAS PEKERJA BANGUN UNIT PRODUKSI KOLEKTIF MODEREN DI PEDESAAN SEBAGAI ALTERNATIF SISTEM KAPITALISME !!!
Siaran Pers
Yayasan Tanah Merdeka pada Peringatan Hari Tani 24 September 2013
Sebagai rakyat biasa, apa yang saat ini kita rasakan dan lihat dalam keseharian kita adalah keluhan massal. Keluhan massal tentang tingginya biaya untuk membeli guna memenuhi kebutuhan pangan, energi, air, pendidikan, kesehatan, transportasi/otomotif, telekomunikasi, dan lain-lain. Hal tersebut masih ditambah oleh biaya untuk perumahan, baik sewa maupun kredit pemilikan. Jadi, apabila rakyat mengeluh, bukanlah karena kulturnya yang seringkali dianggap “malas bekerja, rendah kualitas, dan gemar mengeluh”. Namun, keluhan itu merupakan gambaran realitas atas krisis Indonesia saat ini!
Sejak tahun-tahun sebelumnya kami telah menyatakan dengan tegas, bahwa krisis Indonesia dewasa ini adalah akibat penggadaian Indonesia ke “Pegadaian Neoliberal” oleh oligarki pimpinan negara ini. Namun oligarki pimpinan negara kita berkilah dengan amat tangkasnya sembari mengeluarkan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sedangkan angka kemiskinan berhasil ditekan. Demikianlah retorika pemerintah yang senantiasa menjadi pemberitaan media yang informasinya kita konsumsi setiap harinya. Begitu terlihat kontras dengan keluhan massal yang terjadi di seluruh Indonesia mengenai kondisi realitas kehidupan rakyat.
Sungguh luar biasa, perbedaan antara angka dan kenyataan! Mana yang benar: keluhan rakyat atau angka statistik yang diumumkan pimpinan negara?. Tahukah kita, dari mana angka pertumbuhan ekonomi itu diperoleh? Sungguh ironis, angka pertumbuhan ekonomi nasional itu diperoleh dari konsumsi domestik kita yang teramat tinggi, yakni meliputi seluruh biaya pengeluaran rakyat untuk konsumsi pangan dan non-pangan. Pengeluaran untuk pangan terakumulasi pada kenaikan harga pokok biji-bijian, termasuk beras. Biang keladi kenaikan pangan dinyatakan berasal dari krisis nilai tukar mata uang, krisis energi, dan bencana alam. Pengeluaran untuk non-pangan terakumulasi pada pengeluaran energi, otomotif, telekomunikasi, kesehatan, dan pendidikan. Oleh sebab itu, industri telekomunikasi dan investasi otomotif mengalami kenaikan signifikan di Indonesia sebagai penyumbang ekonomi nasional terbesar di bawah konsumsi domestik rakyat.
Di sini kami ingin menegaskan, bahwa sumbangan untuk pertumbuhan ekonomi nasional itu diperoleh dari tenaga dan upah buruh yang minim, dari panen pertanian yang makin menurun, dari tangkapan ikan yang makin kecil-kecil jenisnya, dari keuntungan seperak-dua perak pedagang eceran! Dari penghasilan yang serba minim itu, rakyat kemudian dipaksa belanja dengan biaya tinggi. Seiring dengan kemiskinan rakyatnya, ekonomi Indonesia terselamatkan karena kesehatan ekonomi nasional secara keseluruhan disumbang oleh belanja konsumsi rumah tangga tadi.
Tetapi, sampai kapankah rakyat di Indonesia sanggup bertahan sebagai konsumen pangan dan non-pangan biaya tinggi? Sedangkan malapetaka pangan sudah berada di depan pintu, siap mengancam keadaan keluarga kita!
Lalu, apa hubungan antara malapetaka pangan dengan belanja rumah tangga rakyat dan pertumbuhan ekonomi nasional? Bagaimana menghubungkan semua masalah itu dengan tuntutan upah buruh (UMP/UMK), tuntutan kedaulatan basis produksi agraris (pertanian dan kemaritiman), dan tuntutan pedagang eceran terhadap ruang kota untuk berjualan?
Mari kita pelajari tentang pembangunan kapitalis-neoliberal yang menggunakan akar kolonialisme abad ke-19 sampai 20 guna pengerukan bahan baku di Nusantara.
Pertama, kolonialisme di Indonesia mengambil tanah rakyat untuk dijual ke pengusaha Eropa, sekaligus pemerintah kolonial membuka perkebunan tanaman komoditas untuk pemenuhan konsumen Eropa seperti tebu, kopi, coklat, nila, karet, rempah, yang merupakan bahan baku untuk fashion, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Ketika Tanam Paksa diberlakukan, pemerintah kolonial telah menghancurkan tanaman rakyat untuk keperluan konsumsi domestik. Selain itu eksploitasi pertambangan dan energi juga diperuntukkan bagi pemenuhan konsumsi energi dan bahan baku industri di Eropa.
Kedua, krisis ekonomi dunia yang berkali-kali terjadi jauh sebelum memasuki era 2000-an, akibat krisis minyak dan krisis finansial, telah melahirkan neoliberalisme untuk kembali menjajah teritorial Selatan-Selatan (mayoritas negara mantan jajahan dan negara miskin) melalui perundang-undangan. Terjadinya penyusutan fosil sumber energi minyak di satu pihak dan, di lain pihak, adanya kenaikan konsumsi energi oleh industri manufaktur, otomotif, serta rumah tangga, mendorong agresivitas ekspansi teritorial untuk mencari sumber energi alternatif. Itulah sebabnya, eksplorasi baru di bidang industri ekstraktif semakin signifikan untuk mencari energi baru yang dapat diperoleh dari tanaman pangan. Pertanian pangan di Indonesia yang telah cukup lama mengalami proses involutif (bantat), sejak 2000-an telah diubah peruntukannya untuk perkebunan tanaman yang menghasilkan sumber energi terbarukan seperti tebu dan kelapa sawit. Pengalihan tanaman pangan untuk energi ini lantas menghancurkan dan mengalihkan tanaman pangan biji-bijian sebagai konsumsi kalori rakyat. Petani dengan tanah sempit merupakan sisa-sisa penanam biji-bijian yang sebenarnya sudah tergusur.
Itulah sebabnya mengapa kemudian harga beras, gandum, dan biji-bijian penghasil kalori untuk mengenyangkan perut kita harganya semakin mahal karena tanaman pangan kita makin sedikit, sedangkan pemerintah kita mengatasinya dengan belanja ke pasar dunia berupa impor beras, gula, cabe, bahkan garam. Semua bahan baku untuk pupuk, peternakan, pengolahan ikan juga diperoleh dari impor. Sama halya ketika persediaan minyak Indonesia sudah menipis, pemerintah kita pun mengimpor dari pasar dunia. Bahan baku untuk energi listrik seperti batubara yang dihasilkan oleh bumi Indonesia sendiri, nyatanya harus dibeli pemerintah dari pasar dunia. Maka tak heran jika semua kebutuhan untuk keberlangsungan hidup rakyat mahal harganya. Nyatalah kita akan mengalami malapetaka kelaparan karena tanaman pangan telah digusur untuk komoditas bahan baku industri dan konsumsi global Utara-Utara.
Tetapi, sayang seribu sayang, oligarki pimpinan kita selalu memanipulasi kenyataan itu dengan mengalihkan biang keladi masalah krisis pangan kepada perubahan iklim. Petani gagal panen beras dan garam dinyatakan karena batasan hujan dan kemarau tidak menentu. Nelayan gagal panen ikan karena gelombang laut tak menentu. Sedangkan hampir setiap hari kita mendengar dan mengetahui terjadinya pembukaan lahan baru atau pengalihan lahan tanaman pangan menjadi perkebunan tanaman untuk sumber energi. Kita juga kerap mendengar pengambil-alihan tanah untuk eksplorasi pertambangan dan energi. Kini hampir seluruh tanah di bumi pertiwi ini dialihkan bagi peruntukkan ekspansi, eksplorasi, dan eksploitasi energi dan bahan baku tambang. Bagaimana tidak terjadi krisis pangan di Indonesia?
Maka teranglah bahwa krisis pangan bukanlah sekedar bukti tidak adanya persediaan pangan! Apalagi pemerintah selalu menimpakan kesalahannya pada perubahan iklim. Krisis pangan juga bukan sekedar karena kebijakan pemerintah yang tidak becus mengatur sirkulasi pangan. Apalagi oligarki politik pimpinan negara selalu menimpakan kesalahan kepada pesaingnya. Namun, lebih jauh dan susbtansial, krisis pangan dipicu oleh pembangunan kapitalis-neoliberal yang berakar dari kolonialisme. Sedangkan oligarki pimpinan negara di Indonesia memilih hidup bergandengan tangan dan berangkulan mesra bersama kapitalis-neoliberal, ketimbang menyelamatkan rakyat dari malapetaka pangan!
Kita mungkin akan tetap bisa mengkonsumsi pangan, sekali pun ketersediaannya makin langka. Namun, karena bahan pangan yang langka, kita harus membayar dengan rupiah cukup besar. Masalahnya adalah mampukah membelinya? Sungguh mengerikan! Apa yang bakal terjadi ketika rupiah dan bahan pangan sama-sama langkanya? Itulah ancaman kita hari ini. Suatu ancaman di masa penjajahan neoliberal dan oligarki pimpinan kita lebih suka menjadi kaki-tangannya dengan menggadaikan bumi dan tenaga rakyatnya.
Lalu dari mana rakyat memperoleh uang untuk memenuhi konsumsi biaya tinggi sehingga menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional? Itu berasal dari “jaring-jaring berbagi hutang”. Upah buruh yang minim sudah habis pada pertengahan bulan, serupa dengan nelayan, petani, dan pedagang eceran. Untuk tetap dapat belanja pangan mereka hutang pada warung sembako. Karena barang-barangnya banyak dihutang, lalu warung sembako pun hutang pada agen di atas mereka. Mereka juga hutang kepada sesama kawan, tetangga, kerabat, pengijon, dan rentenir. Di pedesaan penghasil pisang, ibu-ibu rumah tangga berhutang uang tunai ke pengijon dengan meng-ijonkan pohon pisang yang baru akan ditanam. Di kalangan urban, ibu-ibu pekerja pabrik yang lokasi pabriknya berjarak jauh dengan rumahnya, mengambil kredit sepeda motor dan untuk pembayarannya mereka berhutang kepada rentenir. Mereka meng-ijonkan upah tunainya kepada rentenir sebagai jaminan perlunasan hutang. Berkat “jaring berbagi hutang” ini barang-barang pangan dan non-pangan tetap dapat terjual, sehingga sirkulasi uang tidak terganggu peredarannya. Di samping itu buruh, tani, nelayan acapkali menjadi agensi perdagangan ritel untuk menambah penghasilan. Tetapi mereka tetap berada di dalam “jaring berbagi hutang”.
Ada pendapat bahwa “rakyat sekarang ini memilih diam sekali pun hidup dalam tekanan”. Memang mayoritas kesadaran rakyat masih belum progressif. Semua tahu arti progressif adalah bergerak maju ke depan. Tetapi kini telah bermunculan perlawanan dari rakyat di semua sektor, baik yang disebut pekerja blue colar dan white colar, maupun petani yang tanah dan teritorialnya diambil-alih bagi peruntukan industrialisasi ekstraktif.
Sejauh mana rakyat saat ini telah membangun gerakan yang progresif?
Pertama, munculnya aksi menuntut kenaikan upah dan hak normatif oleh buruh yang telah berserikat di bidang pertambangan, transportasi, telekomunikasi, merupakan reaksi atas penjajahan neoliberal di bidang ekstraktif. Pemogokan buruh Freeport yang mencapai hitungan tiga bulanan beberapa tahun yang lalu untuk menuntut kenaikan upah. Kita sambut aksi-aksi semacam itu di kalangan buruh white colar BUMN di bidang transportasi seperti Garuda dan Kereta Api, yang menuntut kenaikan upah, perbaikan kesejahteraan dan menolak sistem kerja kontrak/outsourcing. Kita dukung aksi penolakan sistem kerja kontrak/outsourcing di tengah privatisasi pendidikan tinggi muncul dari serikat pekerja Universitas Indonesia. Aksi-aksi juga dilakukan oleh kalangan serikat buruh Telkomsel, media massa, galangan kapal, dan manufaktur.
Kedua, kita dukung aksi-aksi perlawanan dari rakyat yang wilayah kelolanya telah digadaikan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat ke TNC/MNC maupun perusahaan oligarki pimpinan negara. Aksi ini terjadi di Kabupaten Banggai (DS-LNG, KLS), Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala (emas), perlawanan yang dilakukan petani di Desa Podi Kabupaten Tojo Una-una, pendudukan dan reklaiming yang dilakukan petani di TNLL (Taman Nasional Lore Lindu, Petani di Kabupaten Buol (perkebunan sawit), petani di Petasia Kabupaten Morowali, perjuangan petani Desa One Pute Jaya Kecamatan Bahodopi untuk merebut kembali tanahnya dari penguasaan PT. Vale Indonesia TBK dan daerah-daerah lainnya. Seturut dengan aksi ini ialah aksi petani melawan teritorialnya yang mengandung sumber air dan perkebunan, yang hal ini terjadi hampir di seluruh Indonesia.
Ini merupakan bagian dari rangkaian panjang perjuangan kaum tani di dalam merebut kembali hak-haknya atas tanah yang selama puluhan tahun telah dirampas oleh korporasi modal lokal, nasional dan transnasional yang mendominasi penguasaan tanah di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Tengah. Situasi inilah yang kemudian memaksa kaum tani untuk menjalankan aksi pendudukan lahan.
Ketiga, kita dukung aksi dari serikat buruh PLN yang saat ini tengah gigihnya menolak privatisasi PLN. Mereka sudah meningkat dari aksi kenaikan upah, melainkan telah memikirkan harga yang harus dibayar oleh rakyat di seluruh Indonesia ketika PLN telah dijual ke TNC/MNC. Implikasi penjualan perusahaan negara energi ini untuk rumah tangga dan perusahaan ialah semua harga pemenuhan hidup akan turut naik pula.
Meski aksi-aksi menuntut kenaikan upah, mempertahankan wilayah, dan menolak privatisasi perusahaan negara untuk hajat hidup orang banyak, selama ini masih sektoral dan lokal. Namun, itulah gerak politik-sosial-ekonomi rakyat yang akan mencapai kondisi progressif menuju kesadaran sejatinya. Meski pemberangusan serikat pekerja dari kaki-tangan neoliberal juga mengancam di mana-mana, tetapi siapa yang akan mampu menghentikan perlawanan rakyat yang tertindas dan terancam lapar?
Kami berharap peringatan hari tani tahun ini dapat mempersatukan gerak perlawanan rakyat multi-sektor yang mempertahankan sumber penghidupannya dalam satu perlawanan untuk melawan oligarki politik yang menggadaikan Indonesia dan mengusir penjajahan neoliberal.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kami Yayasan Tanah Merdeka menyatakan sikap :
1. Mendukung sepenuhnya aksi-aksi pendudukan, reklaiming yang dilakukan oleh petani untuk merebut dan menguasai dan mengelola kembali tanahnya yang sekian lama dikuasai oleh pemodal/kapitalis-neoliberal
2. Menyerukan kepada rakyat pekerja multi-sektor untuk memberikan dukungan atas pendudukan, reklaiming yang dilakukan oleh petani demi mempersatukan buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, perempuan, mahasiswa, dll.
3. Bangun persatuan progressif petani dan kelas pekerja/kaum buruh serta rakyat pekerja secara luas dalam rangka membangun unit produksi kolektif yang moderen di pedesaan sebagai alternatif sistem kapitalisme.
Palu, 24 September 2013
KHAERUDDIN
Staf Divisi Kampanye
Yayasan Tanah Merdeka
Catatan :
Email : ytm@ytm.or.id
Nomor Kontak : 082188171065, 087844675712