Bayangan Bencana dan Konflik di Morowali

Morowali adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yang mempunyai potensi besar di sektor pertambangan. Nikel, bijih besi, dan minyak hanyalah sebagian kandungan tambang yang tersimpan di tanah yang membentang dari perbatasan Kabupaten Poso hingga Banggai dan Provinsi Sulawesi Selatan hingga Sulawesi Tenggara itu.

Tak heran, investor dari dalam dan luar negeri berlomba menanamkan investasi di wilayah ini. Minat investor disambut pemerintah dengan mengumbar izin. Dalam waktu lima tahun terbitlah 144 izin usaha pertambangan (IUP), yang meliputi area seluas sekitar 440.000 hektar. Dengan maraknya investor itu, tentu pemerintah berharap kesejahteraan rakyat Morowali, yang 20 persen dari sekitar 200.000 warganya masih miskin, pun terangkat. Harapannya, warga Morowali kian sejahtera.Namun, yang terjadi kini justru warga Morowali hidup di bawah bayang-bayang konflik dan bencana akibat tumpang tindih lahan IUP serta aktivitas pertambangan yang mengancam lingkungan. Warga tak mungkin lupa pada banjir bandang tahun 2007 yang menewaskan sekitar 100 orang. Pada Oktober 2010, longsor di Kecamatan Petasia menewaskan 13 warga. Longsor terjadi saat pengambilan tambang galian C.

Warga Kolo Bawah, Kecamatan Mamosalato, dipaksa pasrah menerima nasib bahwa Pulau Tiaka yang secara turun-temurun menjadi tempat mereka mencari ikan kini menjadi anjungan pengeboran minyak yang dikelola PT Pertamina-Medco. Nelayan tak boleh mendekat lagi dan tak mendapatkan kompensasi. Warga Kolo Bawah kian meradang karena warga dari desa lain justru diberi kompensasi. Hal ini bisa memicu konflik antarwarga. Perlawanan warga pada Agustus 2011 menyebabkan dua warga tewas tertembak. Kemiskinan kini kian akrab pada warga Kolo Bawah.

Sejahtera atau petaka

Bupati Morowali Anwar Hafid, pekan lalu, mengakui, setiap bulan, satu perusahaan pemegang IUP membawa satu kapal berkapasitas 50.000 ton berisi material dari daerah itu. Dari 144 perusahaan pemegang IUP di Morowali, 25 perusahaan sudah aktif. Setiap tahun setidaknya 18 juta ton tanah yang mengandung bahan tambang dibawa keluar dari Morowali. Pelan tetapi pasti, lingkungan Morowali akan habis dan rusak. Dari aktivitas pertambangan itu, Pemerintah Kabupaten Morowali hanya menerima pendapatan Rp 10 miliar tahun 2011.

Tak hanya bencana, konflik antarwarga dan warga dengan perusahaan juga membayangi Morowali. Amiruddin Kasim, aktivis lingkungan di Petasia, mengatakan, kerap kebijakan yang dibuat perusahaan justru mempertentangkan warga. Perusahaan merekrut sebagian warga sebagai pekerja, tetapi lalu mereka seolah dibenturkan dengan warga lain yang menentang perusahaan itu. ”Ini adalah benih konflik,” ucapnya.

Ketua Panitia Khusus Tambang dan Pengelolaan Lingkungan DPRD Morowali Jabar Lahadji mengatakan, terlalu mahal dampak yang akan diterima Morowali dan semua warganya dibandingkan yang sudah atau akan diperoleh dari pertambangan. ”Kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan parah dan mengkhawatirkan. Ancaman ini tak sebanding dengan yang diperoleh dari tambang,” katanya. (Reny Sri Ayu)

Sumber : KOMPAS/CETAK