Bom Palu dan Pengungkapan Kasus

Serangan barbaris terhadap kemanusiaan kembali terjadi di Sulawesi Tengah. Sebuah bom meledak di pasar khusus penjual daging babi (31/12/2005) di Palu. Akibatnya, tidak kurang dari delapan orang meninggal dan melukai 56 lainnya. Peristiwa ini mengukuhkan Sulawesi Tengah sebagai salah satu hot spots kekerasan di Indonesia. Arianto SangajiAda tiga aspek penting berkenaan dengan peristiwa Bom Palu. Pertama, bobroknya institusi intelijen Indonesia. Di bulan Desember 2005, entah dramatisasi atau pengalihan perhatian, Badan Intelijen Nasional melaporkan adanya rencana para teroris menculik sejumlah pejabat Indonesia. Perhatian aparat keamanan jadi terserap ke sana, ditandai dengan mencoloknya penjagaan terhadap presiden dan wakil presiden. Institusi intelijen sama sekali gagal mendeteksi ancaman serangan Bom Palu. Apalagi, khususnya di Sulawesi Tengah, serangan semacam ini merupakan peristiwa yang berulang.

Kedua, penting melihat peristiwa ini sebagai provokasi perluasan wilayah kekerasan di Sulawesi Tengah, dengan Poso sebagai ”episentrum”. Sebelumnya, serangkaian kekerasan­peledakan bom dan penembakan misterius­melanda Palu. Namun, provokasi-provokasi itu selalu gagal menyeret warga Palu melakukan kekerasan antarkomunitas. Dengan korban begitu besar, Bom Palu adalah kelanjutan dari strategi provokasi itu.

Ketiga, modus Bom Palu adalah pengulangan dari kekerasan sejenis. Sebelumnya, serangan Bom Pasar Sentral Poso (13/11/ 2004) menewaskan enam orang. Terakhir, Bom Pasar Tentena (28/5/2005) menewaskan 23 orang dan mencederai lebih dari 100 orang. Pasar sebagai sasaran serangan sebenarnya dimaksudkan agar efek ”dramatiknya” lebih luas karena korban yang ditimbulkan dapat berlipat ganda.

”Death squads”

Kekerasan yang berulang di Poso dan Palu, seperti peledakan bom, penembakan, dan pemutilasian, harus diakui tidak dilakukan oleh orang sembarangan. Ketepatan menembak pada sasaran yang mematikan, pembunuhan dan peledakan bom yang provokatif, serta kemampuan menghilangkan jejak jelas merupakan keterampilan terlatih dan terorganisasi.

Kelompok terlatih dan terorganisasi ini boleh jadi adalah death squads, yakni organisasi klandestin dan selalu tidak teratur, kerap merupakan paramiliter dalam sifat, melakukan eksekusi ekstrayudisial dan tindakan-tindakan kekerasan lain (penyiksaan, pemerkosaan, pembakaran, peledakan bom, dan sebagainya) terhadap individu atau kelompok yang ditetapkan secara jelas (Campbell, 2000, Death Squads: Definition, Problems, and Historical Context).

Indonesia kaya pengalaman dengan operasi death squads. Peristiwa petrus (penembakan misterius) 1983-1985 dan kasus ninja (1998-1999) di Jawa Timur adalah contohnya (Cribb, 2000, From Petrus to Ninja: Death Squads in Indonesia). Khusus kasus petrus yang memakan korban 5.000- 10.000 itu, di kemudian hari, Soeharto mengakuinya merupakan tindakan shock therapy untuk memerangi kriminalitas. Petrus jelas menunjukkan bagaimana negara mensponsori kekerasan di luar payung hukum.

Pengungkapan kasus

Kekhawatiran publik dengan kasus Bom Palu adalah kegagalan aparat keamanan mengungkap motif dan pelakunya. Dari berbagai kekerasan sebelumnya, aparat selalu kedodoran. Kegagalan atau salah penangkapan kerap mengundang sinisme publik. Mulai dari sekadar menganggap aparat tidak profesional hingga menganggap sebagai bagian dari problem kekerasan.

Pemerintah tampak mulai serius mengungkap kasus-kasus kekerasan di Sulawesi Tengah. Bersandar pada Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso, aparat keamanan mulai mengurai kasus-kasus itu. Fokusnya seperti biasa, kekerasan sebagai turunan dari sisa-sisa konflik masa lalu.

Langkah tersebut tidak sepenuhnya salah. Perlakuan tidak adil dalam penegakan hukum dan tidak adanya penyelesaian menyeluruh proses rekonsiliasi merupakan soal yang kerap menjadi ”kayu bakar” yang mudah dieks- ploitasi untuk kekerasan baru.

Akan tetapi, menempatkan masyarakat sebagai sumber kekerasan bisa menyesatkan. Karena, persepsi masyarakat sendiri yang didukung sejumlah fakta menunjukkan bahwa kekerasan yang berlarut bukan merupakan problemnya. Mereka sadar kekerasan di sana juga adalah problem state actors karena kombinasi antara rivalitas, pembiaran, provokasi, pengalihan isu, dan interes finansial dan kekuasaan jangka pendek.

Oleh karena itu, pengungkapan kasus harus menyentuh negara. Negara adalah bagian dari problem kekerasan, di mana kegagalan membebaskan masyarakat Poso dan Palu dari teror dan ke- takutan merupakan soal yang perlu disoroti. Lainnya, pengungkapan aktor-aktor kekerasan negara, yang bergerak otonom dan di luar kontrol, yang menjadikan Poso dan Palu ladang operasi.

Kuatnya tuntutan tokoh lintas agama di Poso dan Palu serta kelompok masyarakat sipil ihwal pembentukan tim pencari fakta (TPF) independen mestinya menjadi cermin bahwa pemerintah tidak bisa lagi menggunakan kacamata kuda dalam melihat kekerasan. Di sini kekerasan melibatkan aktor-aktor non-negara dan negara. Karena itu, pengungkapan kasus secara obyektif dan tuntas hanya bisa dilakukan oleh sebuah TPF, dengan mandat yang luas dan kuat dari pemerintah dalam investigasi dan rekomendasi yang memaksa.

Arianto Sangaji Direktur Yayasan Tanah Merdeka dan Anggota Presidium Poso Center, Palu.