Bom Waktu Bencana di Lumbung Nikel Sulawesi
Dua lumbung nikel terbesar di Sulawesi, dan Indonesia, kembali diterjang bencana di waktu bersamaan. Empat pekerja tertimbun longsoran dan banjir di Morowali, Sulawesi Tengah. Banjir juga memutus akses Trans-Sulawesi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Sentra pertambangan nikel ini menuai dampak akibat eksploitasi lingkungan yang kian tidak terbendung. Bom waktu bencana pun terus mengintai.
Pertengahan Maret 2025, banjir bandang menerjang kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Morowali, Sulawesi Tengah. Dalam video yang beredar luas, tampakluapan air berwarna merah kecoklatan menerjang kawasan proyek, termasuk jejeran kendaraan alat berat. Pekerja panik dan bertahan sekuat tenaga.
Head of Media Relations Department PT IMIP Dedy Kurniawan membenarkan banjir bandang terjadi di kawasan IMIP. “Banjir akibat hujan deras dan menghanyutkan tanah bekas galian fondasi. Ini yang menyebabkan air berwarna merah. Lokasi banjir adalah kawasan pembangunan pabrik baru,” katanya.
Hanya sepekan, longsor kembali terjadi di kawasan PT. IMIP. Empat pekerja tertimbun. Seorang di antaranya berhasil diselamatkan, sementara satu orang ditemukan tewas. Hingga Selasa (25/3/2025), dua pekerja masih tertimbun dan belum ditemukan. Longsor ini juga disebut dipicu hujan deras selama beberapa hari. Namun, pihak Yayasan Tanah Merdeka punya pendapat lain. Lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu pengelolaan sumber daya alam ini menyebut longsor itu terkait pengelolaan tailing atau limbah ore nikel.
“Tailing dalam bentuk bubur tanah dengan kandungan air sekitar 30 persen yang disimpan di fasilitas penyimpanan tailing akan berubah menjadi lumpur ketika ditimpa hujan dengan intensitas lebat. Curah hujan tinggi juga menyebabkan area penyimpanan yang menampung belasan juta ton tailing rentan longsor,” kata Richard Labiro, Direktur Yayasan Tanah Merdeka. Richard mengingatkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Morowali (2019-2039) yang menyebut Kecamatan Bahodopi, lokasi PT IMIP beroperasi, adalah kawasan rawan bencana gempa bumi, tanah longsor, dan banjir.
Akibat banjir, jalur Trans-Sulawesi juga lumpuh. Berjarak sekitar 130 kilometer dari Morowali, Dayat (27), salah seorang warga, akhirnya bisa melintasi jalan Trans Sulawesi di Desa Sambandete, Konawe Utara, Senin (24/3) sore.
Banjir merendam daan memutus jalan sepanjang 300 meter sejak pekan lalu. Ia terpaksa menggunakan jasa rakit yang disiapkan warga. Untuk sekali melintas, ia mengeluarkan Rp 700.000.
Banjir terjadi berulang di wilayah Konawe Utara selama beberapa tahun terakhir. Hujan beberapa saat membuat sungai meluap yang merendam wilayah.
Banjir bandang juga pernah merendam Konawe Utara pada pertengahan 2019. Saat itu, sejumlah kecamatan di wilayah ini diterjang banjir bercampur lumpur.
Data menunjukkan, luas areal pertambangan di Konawe Utara lebih dari 200.000 hektar. Jumlah ini hampir mencapai setengah dari total luas lahan yang mencapai 500.00 hektar. Gunung dibabat, hutan dibuka, dan pesisir dikeruk. Sebanyak 30.000 hektar lainnya adalah kawasan perkebunan sawit.
Sentra Nikel
Wilayah Sulawesi Tenggara memang menjadi pusat nikel di Indonesia. Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 2024 menyebutkan, Indonesia memiliki sumber daya logam nikel 49,26 juta ton. Wilayah Sultra berada di posisi puncak dengan sumber daya nikel sebesar 61, 3 juta ton dan cadangan nikel mencapai 20,45 juta ton. Potensi itu disusul Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Guru Besar Universitas Halu Oleo Aslam, yang meneliti dampak pertambangan terhadap lingkungan, mengungkapkan, banjir berulang di Konawe Utara merupakan dampak langsung dari pembukaan lahan. Hutan primer dibuka dan gunung diratakan, dari hulu hingga pesisir. Akibatnya, siklus hidrologi rusak berdampak ke warga.
“Konawe Utara itu daerah dengan lingkungan yang telah rusak, sebagai dampak daerah yang sudah tergadai dan tersandera dengan proyek pertambangan nikel dan hilirisasi,” ucapnya.
Neni Muhiddin, pegiat literasi dan kebencanaan Sulawesi Tengah, menyebut logika pembangunan berbasis pertambangan seperti menyimpan bom waktu. Kerusakan lingkungan dan konflik sosial adalah ancaman nyata di tengah potensi bencana geologis dan hidrometeorologi di sejumlah wilayah di Sulteng.
Arianto Sangadji, Direktur Pelaksana Mineral, Energy, and Labour Transformation (MELT) Research Group, mengatakan, pada 2023, di Sulawesi Tengah terdapat 120 izin usaha pertambangan (IUP) nikel di atas areal 275,685 hektar. Penambangan nikel terbuka (open pit mining) mensyaratkan deforestasi yang berdampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat lokal.
Data Trend Asia menyebutkan, deforestasi akibat pertambangan nikel di Indonesia mencapai 86.000 hektar. Ironisnya, pembukaan lahan juga mencaplok daerah hutan lindung, hutan adat, dan kawasan yang seharusnya dijaga untuk kelestarian lingkungan.
Di sisi lain, berbagai aktivitas dan kerusakan lingkungan ini berdampak banyak terhadap ekonomi masyarakat. “Ini yang kami sebut ekstraktivisime, saat nilai diambil, disedot keluar, dan hanya menyisakan dampak bagi warga atau pekerja,” kata Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry.
Tulisan ini merupakan saduran dari media Kompas, yang ditulis oleh Saiful Rijai Yunus dan Reny Sri Ayu pada 26 Maret 2025.