Derita Tiada Akhir di Poso
CATATAN 2003
Oleh Wartawan “Pembaruan” Jeis Montesori S
Bunyi rentetan senjata yang sangat panjang diikuti suara letusan bom yang cukup kuat membuat penduduk kaget dan terbangun dari tidur lelapnya. Tetapi belum sempat warga berbuat sesuatu, tiba-tiba nyala api sudah berkobar di sekelilingnya dan menjalar dari satu rumah ke rumah yang lain.
Tak berapa lama mulai terdengar suara orang mengerang kesakitan diikuti jerit tangis para wanita dan anak-anak kecil yang menggigil ketakutan dan panik mencari perlindungan agar terhindar dari serangan tembakan yang terus datang secara bertubi-tubi.Suasana malam yang gelap-gulita semakin mencekam. Puluhan rumah dalam sekejap ludes terbakar. Darah pun mengucur di mana-mana yang kemudian diketahui berasal dari tubuh beberapa warga yang terluka tembak dan akhirnya tewas akibat diterjang timah-timah panas para perusuh yang tak berperikemanusiaan itu.
Menurut para saksi mata, kejadiannya berlangsung begitu cepat. Hanya sekitar 45 menit, setelah itu warga mendengar seorang lelaki memberi komando “waktu kita sudah habis, ayo segera kembali, ingat waktu kita sudah habis,” suara itu terdengar dari tengah-tengah kobaran api yang membelah kegelapan malam.
Dan begitu suara itu lenyap, bunyi tembakan pun berangsur reda. Suara letusan bom tak terdengar lagi kecuali nyala api yang masih terus membumbung tinggi menghanguskan sisa-sisa rumah yang belum terbakar.
Setelah yakin para penyerang telah pergi, barulah perlahan-lahan warga keluar dari tempatnya berlindung dan mulai mencari satu persatu anggota keluarganya yang sempat lari terpencar-pencar akibat serangan memilukan itu.
Aparat kepolisian di Beteleme baru datang setelah para perusuh sudah kabur dan menghilang dibalik kegelapan malam. Sejumlah 3 orang tewas dan belasan warga terluka akibat serangan yang dilancarkan para perusuh yang samasekali tak terduga itu.
Belum lagi lenyap selimut duka bahkan warga yang tewas di Beteleme belum sempat dikuburkan, tiba-tiba serangan dengan pola yang sama, kembali dilancarkan ke Desa Saatu, Pinedapa dan Pantangolemba, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso. Ketiga desa yang warganya telah hidup membaur akrab antara Muslim dan Kristen setelah diporak-porandakan para perusuh tahun 2001, kembali diserang secara serentak dari beberapa arah oleh sekelompok orang terlatih bersenjata organik, Minggu dinihari tanggal 12 Oktober 2003.
Dalam tragedi memilukan itu, delapan warga tewas dan puluhan lainnya terdiri atas anak kecil, wanita dan pria mengalami luka tembak yang cukup parah sehingga harus dirawat di RSU Poso, Tentena, maupun Palu.
Selang dua hari kemudian atau Selasa (14/10), satu mayat yang diketahui bernama Susanto, kembali ditemukan terapung di Sungai Poso. Korban yang sehari-hari bekerja sebagai penjual ikan keliling Poso-Tentena itu, hilang sejak Minggu siang (12/10) dan diduga diculik kelompok perusuh (beberapa jam setelah penyerangan di Poso Pesisir) kemudian dibunuh dan mayatnya dihanyutkan di Sungai Poso.
Rentetan kejadian itu, hampir-hampir saja membuat Poso dan Morowali kembali berubah menjadi ladang kerusuhan. Berbagai isu mulai menerpa dimana-mana sehingga perasaan cemas, takut dan gelisah kembali menghantui masyarakat. Gelombang pengungsian bahkan sempat terjadi di desa-desa tertentu di Kecamatan Poso Pesisir, Lage maupun Poso Kota.
Untungnya kali ini warga Poso maupun Beteleme (terutama mereka yang menjadi korban) berupaya keras tidak mau terpancing apalagi melakukan pembalasan, kendatipun korban sudah berjatuhan dimana-mana. Di Beteleme, warga malah bersatu memberikan informasi ke aparat tentang tempat-tempat yang diduga menjadi tempat persembunyian para perusuh.
Aparat keamanan sendiri mencoba bertindak lebih cepat mengamankan situasi masyarakat yang cenderung memanas. Tidak seperti kejadian-kejadian sebelumnya, aparat lamban dalam bertindak sehingga kerusuhan cepat melebar kemana-mana. Tapi kali ini perhatian pemerintah pusat lebih besar.
Seperti yang ditunjukkan Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Dai Bachtiar misalnya, mereka langsung mengirim bantuan keamanan ke Poso dan Morowali sehingga situasi bisa segera dikendalikan. Termasuk sebuah Helikopter milik Mabes Polri dari Jakarta, sampai hari ini masih disiagakan di Palu dan Poso untuk digunakan sewaktu-waktu secara cepat jika terjadi lagi kasus-kasus yang tidak diinginkan di Poso. Yudhoyono sendiri, tiga hari setelah tragedi 12 Oktober di Poso Pesisir, langsung datang ke Poso dan bertemu/berdialog langsung dengan masyarakat korban.
Dari hasil kerja aparat keamanan yang cukup serius, langsung pula membuahkan hasil dengan menangkap 26 tersangka pelaku penyerangan/penembakan warga di Beteleme maupun Poso Pesisir.
Dari ke-25 oknum tersangka pelaku itu, tujuh diantaranya tewas ditembak aparat. Masing-masing 6 tersangka ditembak dalam pengejaran di Beteleme yakni Ari alias Taufik, Salman alias Sahdan, Ali Lasawedy, Rahmat Jeba alias Romo, Aswan alias Ato dan Muhamadong alias Madong. Dan seorang tersangka di Poso Pesisir juga tewas di tembak aparat yakni Hamid Alias Ami.
Sejumlah 18 tersangka lainnya masing-masing Hasyim, Hamdan, Syafri alias Aco GM, Arman, Abbas, Abdil Haer, Asnan Hadi, Andang, Hendra Yani, Suhardi, Rahmat, Tepang, Ishak, Hardianto dan Abid alias Arif (tersangka Beteleme) dan Iwan, Sukri serta Irwan Bin Rais (Poso Pesisir), kini sedang menjalani pemeriksaan intensif di Mapolda Sulteng dan Mapolres Poso. Aparat masih tengah mengejar 5 pelaku lainnya di Poso Pesisir yakni Musa 24, Musap 25, Ilham 25, (warga asal Jawa) dan Ramlah 24, serta Basri 25, (warga Poso) dan sekarang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dukungan Masyarakat
Keberhasilan aparat membekuk para perusuh terutama di Beteleme, juga tidak terlepas dari adanya dukungan masyarakat yang memberikan informasi secara akurat tentang lokasi persembunyian para pengacau tersebut.
Hasil kerja keras dan sungguh-sungguh dari aparat tersebut juga akhirnya cukup melegakan masyarakat. Karena setidaknya, masyarakat mulai bisa memperoleh gambaran tentang siapa sesungguhnya dalang dibalik kasus-kasus penembakan misterius yang telah meminta banyak korban jiwa itu.
Di samping itu, masyarakat juga sangat mengharapkan para pelaku yang telah tertangkap, dikenakan sanksi hukuman yang tegas, setimpal dengan perbuatannya. Apalagi penyerangan di Beteleme dan Poso Pesisir, diduga dilakukan oleh pelaku yang sama.
Dalam pengakuan kepada aparat penyidik di Mapolda Sulteng, para tersangka perusuh Beteleme mengaku awalnya mereka direkrut oleh Muhammadong alias Madong dan dijanjikan suatu pekerjaan di Poso. Tapi sesampainya di Poso, para tersangka justru dilatih di suatu tempat di tengah hutan dan diajar bagaimana mengoperasikan senjata M16, SS1, AK47 dan jenis-jenis senjata organik lainnya serta dilatih tentang takti-taktik menyerang musuh.
Tapi siapa yang membiayai, menyuruh Madong menyerang, membunuh para penduduk tak bersalah di Beteleme dan siapa yang menyuplai senjata-senjata organik kepadanya, sampai kini belum bisa diungkap. Hal tersebut dikarenakan Madong yang ternyata merupakan pemimpin para perusuh dan bisa menjadi saksi kunci dalam kasus ini, tewas ditembak aparat dalam pengejaran terakhir di wilayah hutan Beteleme akhir Oktober lalu.”Karena Madong telah tewas, aparat sulit mengungkap lebih jauh akan kasus ini,” kata Kapolda Sulteng Brigjen Pol Taufik Ridha.
Tewasnya Madong yang diyakini mengetahui banyak informasi tentang adanya keterlibatan jaringan-jaringan teroris di Poso, pada akhirnya semakin memperpanjang spekulasi masyarakat tentang aksi-aksi penembakan/pembunuhan misterius di Poso.
Seperti dikatakan Arianto Sangadji, pengamat dan analisis masalah Poso kepada Pembaruan, spekulasi yang berkembang di masyarakat yakni aparat TNI dan Polri diduga berada dibalik kasus-kasus penyerangan warga di Poso maupun Morowali.
Dugaan tersebut kata Arianto antara lain karena melihat bukti-bukti senjata organik seperti senjata M16, AK47, SS1, Pistol FN beserta ribuan amunisi organik yang selama ini hanya bisa dimiliki aparat TNI/Polri, tetapi kok bisa beredar bebas di tangan masyarakat dan dipakai menyerang penduduk Poso.
Indikasi lain, kelompok penyerang bercirikan orang-orang terlatih dan mudah bergerak cepat di malam hari yang mana ciri-ciri seperti hanya dimiliki umunya aparat TNI/Polri.
Letupan-letupan di Poso lanjut Arianto, khususnya pasca penandatanganan Deklarasi Malino Untuk Perdamaian Poso, juga selalu terjadi persis pada saat aparat keamanan hendak ditarik dari Poso atau saat proyek pengamana berakhir. Sehingga selalu banyak yang mengaitkan antara proyek pengamanan aparat dan keinginan memelihara konflik di Poso.
“Dengan kata lain, konflik Poso sengaja dipelihara agar proyek keamanan tetap jalan, dan kalau kita lihat memang aparatlah yang paling banyak diuntungkan dalam hal ini,” kata mantan Dosen Fisipol Universitas Tadulako (Untad) Palu itu.
Menko Polkom Yudhoyono sendiri membantah keras tentang tudingan aparat keamanan terlibat dalam aksi-aksi penyerangan warga di Poso maupun Beteleme.
Tidak Terlibat
Senada dengan itu, Kapolda Sulteng Taufik Ridha usai penangkapan ke-26 tersangka yang ternyata semuanya warga sipil, juga langsung menegaskan kepada pers, bahwa tidak ada aparat TNI ataupun Polri terlibat dalam kasus di Poso.
Tetapi darimana asal usul senjata, siapa yang membiayai para kelompok perusuh itu, sampai saat ini belum pernah terungkap. Dan menurut Arianto, selama pertanyaan penting itu belum terjawab, maka tudingan keterlibatan aparat TNI/Polri di Poso masih saja akan berkembang dan menjadi wacana dalam masyarakat.
Tentang dugaan keterlibatan jaringan-jaringan teroris dunia lainnya seperti Jemaah Islamiyah dan lainnya, pihak Polda Sulteng samasekali tidak mau berkomentar. Kendati sejumlah pelaku penyerangan di Poso dan Beteleme sudah berhasil dilumpuhkan, akan tetapi pratik pembunuhan berdarah dingin masih terus membayangi warga.
Terakhir misalnya kita mendengar tewasnya Bendahara Majelis Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pusat Tentena, Oranje Tadjojdja dan keponakannya Yohanes Tadjodja. Keduanya dibunuh secara sadis dalam perjalanan tugas pelayanan gereja dari Tentena ke Desa Dewua, Poso Pesisir dan mayatnya baru ditemukan Minggu (16/11) di dekat Sungai Puna (sekitar 8 km dari Kota Poso) dalam kondisi sangat mengenaskan. Uang sejumlah Rp 4 juta yang dibawa kedua korban juga lenyap dan para pembunuhnya masih misterius sampai kini.
Dua hari setelah penemuan mayat Oranje dan Yohanes, seorang warga asal Palu, Husen Garusu hilang di Desa Kuku, Kecamatan Lage, Poso dalam perjalanan menuju kampung halamannya di Bungku. Hilangnya Husen Garusu, menurut Kapolres Poso AKBP Abdi Dharma sebagai ekses dari pembunuhan terhadap Oranje dan Yohanes. Nasib Husen belum diketahui dan masih sedang dalam pencarian aparat keamanan.
Kejadian pembunuhan dan penghilangan (penculikan) orang-orang secara misterius yang terjadi di Tanah Poso dan sekitarnya hingga menjelang akhir tahun 2003, kembali mencabik-cabik benang perdamaian yang telah dirajut dengan susah payah oleh dua komunitas yang pernah bertikai di wilayah itu.
Awan kelabu nampaknya masih akan terus bergayut di atas Tanah Poso, jika saja kondisi semacam ini masih terus dipertahankan. Walau sebenarnya masyarakat lokal baik Muslim maupun Kristen, sama sekali tak ingin lagi bermusuhan apalagi saling melukai satu sama lain. Tapi ada gerombolan pengacau keamanan (GPK) yang masih bergerilya di Poso dan rupanya tidak pernah menginginkan daerah ini kembali damai seperti dulu.
Yahya Mangun, Deklarator Malino Untuk Perdamaian Poso menegaskan, warga Poso sudah bosan berkelahi, dan ingin hidup damai seperti dulu lagi. Masa depan Poso saat ini memang sangat terletak pada kesungguh-sungguhan aparat keamanan TNI maupun Polri untuk mengungkap sampai ke akar-akarnya seluruh dalang pengacau di daerah itu, kalau tidak mau akan dituding sebagai terlibat di dalamnya.
Sebab sebenarnya masyarakat sangat merasakan kelompok pengacau tersebut, berada dan hidup di sekitar tempat tinggal mereka. “Kami mengenal suara-suaranya ketika datang menyerang desa kami. Dari dialeknya, kami tahu beberapa dari penyerang itu merupakan orang-orang di sekitar kami,” kata Ny. Anice Malontah (isteri Kades Pantangolembah) kepada Pembaruan.
Namun kendati masyarakat sudah demikian merasakan para teroris itu sudah berkeliaran di depan mata mereka setiap hari, tapi warga benar-benar tak berdaya. “Berani buka mulut maka nyawa akan melayang,” kata warga lainnya di Desa Saatu.
Di Poso Pesisir, kata seorang warga, kalau ada penduduk yang ketahuan selalu memberi informasi ke petugas tentang keberadaan para pengacau tersebut, maka tidak memakan waktu lama, warga tersebut akan dilenyapkan.
Teknik melenyapkan itu, kata warga yang tidak mau disebutkan namanya, antara lain dengan cara menembak warga bersangkutan pada saat hendak ke kebun hingga tewas. Usai menembak, pelakunya menghilang dan kasus-kasus penembakan misterius seperti ini jarang sekali bisa diungkap pelakunya.
Jika sudah begitu, wargapun kembali takut ke kebun dan jika kondisi ini terus dibiarkan, warga akhirnya bisa mati kelaparan di rumahnya karena tak bisa lagi berusaha/menggarap ladang coklat, padi sawah yang menggiurkan di Tanah Poso.*