Eksploitasi Kolonial dalam Pembangunan Kilang di PT Donggi Senoro LNG
Oleh : Budi Siluet, Staf Lapangan Yayasan Tanah Merdeka dan Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja
Pada Minggu, 14 oktober 2012, saat adzan maghrib berkumandang, ratusan warga yang mengatasnamakan dirinya sebagai Lembaga Pengembangan Masyarakat Batui Maleo Center dan masyarakat Desa Uso berteriak-teriak “bubar,” “bubar,” di lokasi pembangunan Kilang PT DS-LNG. Mereka juga membongkar satu tenda yang dibangun sekelompok keluarga yang menduduki lokasi pembangunan kilang gas milik PT DS-LNG Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Sekelompok keluarga ini kemudian diketahui sebagai keluarga Habel Suluga, Haedan, Samakin dan Lonjung.Pendudukan yang dilakukan sejak tanggal 2 Oktober 2012 itupun bubar. Tangis pilu perempuan tua bercampur amarah pria telanjang dada yang kemudian diketahui bernama Samel Suluga, anak dari Habel Suluga, tak dapat membendung amukan ratusan warga. Tenda darurat berhasil di hancurkan oleh ratusan warga yang meneriakan yel-yel mendukung proyek pembangunan kilang. Tenda darurat milik kelompok keluarga yang menduduki lokasi itu berganti dengan kawat berduri dan baliho yang bertuliskan dukungan terhadap proyek pembangunan kilang tersebut. Alasan pembongkaran dan pembubaran paksa ini, menurut beberapa warga, dipicu oleh salah satu pemberitaan di media lokal yang memuat pernyataan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat bernama YASPORA, yang mengatakan, masyarakat kecamatan Batui tidak mendukung proyek pembangunan kilang PT. DS-LNG. Satu alasan yang konyol memang, karena dalam Undang-undang Pers jelas ada yang namanya hak jawab untuk klarifikasi atas suatu pemberitaan. Dari sini, tercium adanya konspirasi.Korban Perampasan Tanah: “Cerita Duka Keluarga Habel Suluga”
Tanah milik keluarga Habel Suluga dikuasai sejak tahun 1973.dan dimanfaatkan sebagai kebun kelapa dengan delapan puluh lima pohon dan tanaman buah-buahan, tanaman pangan serta tempat hidup beberapa ternak peliharaan. Kebun ini telah menjadi sandaran hidup keluarga selama bertahun-tahun. Sampai tahun 1998 tidak ada masalah dengan status tanah tersebut sampai datangnya perusahaan. Apa yang sebelumnya dimiliki kini lenyap tanpa bekas, berganti bangunan raksasa berupa kilang dan bangunan pendukung lainya milik PT Donggi Senoro LNG, sebuah konsorsium dari tiga perusahaan besar, yakni Pertamina,Medco dan Mitshubishi.[1]
Cerita duka ini dimulai tanggal 12 april 2011, saat sekelompok orang yang mengaku sebagai pasukan adat bersama aparat kepolisian yang dipimpin langsung Kapolsek Batui bernama Fadli dan seorang anggota TNI, mendatangi lokasi perkebunan keluarga Habel Saluga. Mereka memerintahkan untuk segera mengosongkan lokasi perkebunan tersebut dan menyatakan bahwa tanah tersebut akan segera dibayarkan. Dengan ketakutan keluarga Habel Suluga segera meninggalkan tanah yang selama puluhan tahun dikuasainya, seperti kisah tragis Trodonogso dalam Tetralogi Buruhnya Parmaudya Ananta Toer.
Pada tanggal 13 April 2011, Bapak Imam Westianto SH sebagai kuasa hukum PT DS-LNG saat itu mencoba melakukan negoisasi dengan keluarga Habel Saluga dan berjanji bersedia membayar. Namun, bukan pembayaran lahan yang didapatkan keluarga Habel Suluga, tapi penebangan dan pembakaran tanaman kebun, ternak serta rumah milik keluarga yang terjadi sampai tanggal tanggal 29 April 2011, semua lanyap menguap bersama asap.[2]
Segala daya dan upaya telah dilakukan oleh Keluarga Habel Suluga untuk mendapatkan kembali tanah yang sudah dikuasainya sejak lama. Harta benda yang tersisa ludes dijual untuk membiayai pengurusan perkara. Kasus ini dilaporkan ke aparat kepolisian berkali-kali, namun tetap tanpa penyelesaian, bahkan intimidasi semakin keras dilakukan, beberapa kali pondok keluarga Habel Suluga didatangi sekelompok orang bersenjatakan pentungan yang berteriak “Allahu Akbar” dengan maksud mengancam (Keluarga Habel Saluga beragama Kristen ). Bahkan pertemuan khusus pun dilakukan, yang dihadiri Danramil dan Kapolsek saat itu, tokoh adat, kades serta unsur tokoh masyarakat guna membujuk (mengancam) keluarga Habel Suluga untuk mendiamkan kasus tersebut.
Tetapi, semangat keluarga Habel Suluga tidak pernah surut dalam memperjuangkan haknya. Sejak Juni 2012 bersama empat belas keluarga lain yang tanahnya ‘dirampas’ PT.DS-LNG, keluarga Habel menemui Asisten I Bupati Banggai, Usman Manganco, untuk meminta kejelasan pembayaran atas tanah mereka. Dibentuklah tim verifikasi penyelesaian sengketa, namun sampai saat ini penyelesaiannya tidak kunjung usai.
PT DONGI SENORO LNG: Pembeli Tanpa Itikad Baik
Satu alasan absurd perusahaan untuk melakukan penebangan dan pembakaran kebun milik keluarga Habel Suluga adalah karena sudah mendapat izin dari saudara Sumadi Hongkiriwang yang mengaku tanah tersebut sebagai miliknya dan telah diganti rugi oleh perusahan. Padahal yang bersangkutan tidak pernah hadir di lokasi pada saat itu.
Sebelumnya.Bapak Habel Suluga pernah diadukan ke pihak kepolisian oleh Saudara Sumadi Hongkiriwang dengan pasal pidana pencurian dan disidangkan di Pengadilan Negeri Luwuk sejak tanggal 26 Maret sampai 30 Juni 2008. Namun, Pengadilan Negeri Luwuk membebaskan Bapak Habel Suluga dengan nomor putusan 100/Pid./2008/PN.Lwk.
Dalam salah satu konsideran putusan tersebut, Majelis Hakim yang menyidangkan perkara itu menjelaskan bahwa benar terdakwa (Habel Suluga) masih menguasai tanah tersebut. Dalam teori hukum tanah, pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun yuridis, juga beraspek privat dan publik.
Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Misalnya, pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis, yang walaupun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain. Dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dikuasai oleh si penyewa tanah.[3]
Dalam pengertian di atas, jelas bahwa tanah tersebut adalah milik yang menguasai dan mengambil manfaat atas tanah tersebut, yakni Bapak Habel Suluga, karena secara yuridis saudara Sumadi Hongkiriwang tidak dapat menunjukan bukti kepemilikannya di depan pengadilan. Konsekuensi hukumnya, kasus pidana pencurian yang diadukanya tersebut dapat diterima oleh majelis hakim, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Bapak Habel Suluga justru dibebaskan demi hukum, karena jelas tanah tersebut ada dalam penguasaan dan diambil manfaatnya oleh Bapak Habel.
Berdasarkan putusan pengadilan itulah, kelurga Habel Suluga menghadap serta berbicara kepada perusahaan dan instansi Negara. Namun, seperti yang diceritakan di atas semuanya tanpa penyelesaian. Seperti surat No. 745/CA/GOV/JKT/LTR/11 yang dilayangkan PT DS-LNG kepada Wakil Bupati Banggai, Ir. H. Herwin Yatim MM, di mana dijelaskan bahwa beberapa keluarga yang mensengketakan tanahnya, termasuk keluarga Habel Suluga, tidak memiliki dokumen kepemilikan tanah. Tetapi yang menjadi masalah adalah kenapa PT DS-LNG justru membayar kepada orang yang juga tanpa kejelasan dokumen pemilikan tanah? Di sini jelas ada yang janggal. Bahkan kepala pertanahan saat itu, yakni Saipudin Muid, mengatakan kepada keluarga Habel Suluga bahwa kalau tidak dibayarkan kepada saudara Sumadi Hongkiriwang maka pembebasan dan pembangunan infrastruktur PT DS-LNG akan gagal.
Dalam teori hukum, asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak jual-beli. Sedangkan itikad baik pada tahap pra-kontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang terkait dengan pokok yang dinegosiasikan atau diperjanjikan tersebut. Para pihak memiliki kewajiban itikad baik, yakni kewajiban untuk meneliti (onderzoekplicht) dan kewajiban untuk memberitahukan dan menjelaskan (medelelingsplicht). Dalam kasus ini, pembeli wajib meneliti hal-hal yang terkait dengan objek yang diperjanjikan. Di sisi lain, penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan semua informasi yang dia ketahui penting bagi pembeli. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik. Hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut kepada kedua belah pihak itu untuk bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian, terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan terhadap pihak lain sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.
Kalau pihak PT DS-LNG sebagai konsorsium yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan besar yakni Pertamina, Medco dan Mitsubishi, yang jelas mempunyai pengalaman dalam pembebasan lahan, punya itikad baik, sudah semestinya, setelah melihat dan membaca putusan pengadilan tersebut, dapat mengambil keputusan yang benar menurut hukum. Seharusnya mereka membayar kepada orang yang tepat atau paling tidak mempertimbangkan salah satu konsideran menimbang dalam putusan tersebut, yakni bahwa perkara tersebut masih prematur dan perlu dilihat apakah perkara ini masuk perkara pidana atau perdata, sehingga PT DS-LNG kiranya dapat menitipkan uang pembebasan lahan tersebut ke Pengadilan Negeri Luwuk. Namun, itu tidak dilakukakan sehingga dapat dikatakan bahwa PT DS-LNG memang bukan pembeli dengan itikad baik.
Bertahannya yang Kolonial
Cerita keluarga Habel Suluga di atas adalah fakta yang menjelaskan bahwa perampasaan tanah secara kolonial yang dimulai sejak zaman Hindia Belanda masih berlangsung di Indonesia sampai saat ini. Perampasan dalam kerangka akumulasi primitif yang terjadi setelah kapitalisme menjadi sistem yang dominan dalam beberapa literatur disebut sebagai akumulasi primitif ekspansif.[4]
Pengkaplingan, perampasan dan pengusiran petani dari lahan pertaniannya adalah cerita lama dalam perkembangan kapitalisme. Proses ini berlangsung secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari sistem kapitalisme yang selalu mencari wilayah baru untuk menanamkan kapitalnya. Pada awalnya, proses ini di Inggris disebut sebagai enclosure.[5]
Eksploitasi kolonial dalam kerangka akumulasi primitif ekspansif ditandai dan dimungkinkan dengan adanya perlindungan hukum serta jaminan keamanan dari Negara dan aparatusnya, mulai dari pusat sampai daerah, seperti yang terjadi pada keluarga Habel Suluga di atas.[6]
Ada dua hal yang sangat menguntungkan kapitalis dalam proses eksploitasi kolonial ini, yakni munculnya komoditi baru, yaitu tenaga kerja murah secara massal atau yang dikenal dengan sebutan relative surplus population dan massifnya pasar tanah sebagai sebuah komoditi yang sebelumnya nyaris tanpa harga, tetapi kemudian menjadi sebuah komoditi yang begitu mahal harganya. Arah dari proses ini adalah pemusatan sarana-sarana produksi di sekelompok orang atau kapitalis. Proses ini diharuskan oleh kapitalisme sebagai jalan keluar dari kapital yang terakumulasi dan memerlukan ladang investasi baru.
Penutup
Cerita yang dialami keluarga Habel Suluga di atas hanya merupakan salah satu dari sekian banyak cerita duka rakyat Indonesia yang terjadi terus menerus dalam kerangka akumulasi primitif kapitalisme. Kalau kita hanya memahami masalah ini sebagai persoalan hukum dan perampasan hak ekonomi sosial buadaya (Ekosob), maka kita tidak dapat memahami akar permasalahannya secara holistik.
Lagipula, kebanyakan petani tidak memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah yang dijamin dalam hukum keperdataan sebagai hak privat. Belum lagi, dalam kasus tanah surat-surat keterangan tanah begitu mudah dikeluarkan oleh aparatus desa dan kecamatan guna menekan dan membodohi para petani. Pendekatan ekonomi politik wajib digunakan dalam menganalisa situasi seperti ini, namun bukan berarti mengenyampingkan ilmu sosial lainya. Diharuskan adanya pemahaman multidispliner dalam ilmu pengetahuan secara luas, namun tetap beralasakan pada pemahaman ekonomi politik.
Kapitalisme dengan wajah neoliberalisme saat ini adalah sebuah sistem yang oleh David Harvey disebut sebagai akumulasi lewat penjarahan (accumulation by dispossesion)[7] atau eksploitasi kolonial. Dalam tingkatan global, akumulasi lewat penjarahan dilakukan dengan pemaksaan kebijakan-kebijakan neoliberal, seperti swastanisasi dan komodifikasi segala hal, finansialisasi ekonomi nasional dan manipulasi krisis ekonomi serta redistribusi tak sempurna yang menguntungkan para kapitalis global dan parasit atau komprador-kompradornya di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah langkah nyata dalam pembacaan ekspansi kapital, khususnya di bidang ekstraktif untuk dapat memetakan ruang-ruang kapital. Pembacaan ini mensyaratkan pemahaman geopolitik. Ruang adalah dinamika dari ekonomi politik dan militer. Adapun pembangunan, advokasi dan pengorganisasian rakyat tertindas mengharuskan pengorganisasian yang bersifat kewilayahan dalam hal ini geopolitik guna memperkaya dan memberi keutuhan pada pemahaman ekonomi politik.****
Catatan:
[1] Lihat Seputar Rakyat, edisi I tahun 2011.
[2] Wawancara dengan Nely Lapapa, Istri Habel Suluga, tanggal 16 oktober 2012.
[3] Lihat Undang Undang Pokok Agraria 1960
[4] Lihat Dede Mulyanto, Kapitalisme Perspektif Sosiohistoris, 2010.
[5] Lihat Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme, 2012
[6] Lihat Arianto Sangadji, ”Penembakan Tiaka dan Akumulasi Primitif” dapat diakses di IndoProgress.
[7] Lihat Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme, 2012.