Gerakan Petani Lemban Tongoa
SELEBARAN
Masalah agraria dimulai dari ketimpangan struktur penguasaan tanah yang sangat menonjol. Struktur penguasaan dalam hal ini adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal), maupun penguasaan efektif (garapan/operasional) atas sumber-sumber agraria; juga sebaran alokasi atau peruntukannya. Ketimpangan peruntukan dan penggunaan tanah meliputi masalah perubahan fungsi tanah yang berkembang dengan sangat cepat, sebagai akibat dari pembangunan yang bersifat sektoral. Masalah alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian berlangsung dengan kecepatan yang sangat tinggi. Modernisasi yang hampir selalu ditandai dengan pembangunan infrastruktur-infrastuktur pendukungnya, menyebabkan semakin tergusurnya area-area persawahan di Indonesi. Dalam hal ini, petani adalah pihak yang paling menanggung akibat dari “modernisasi” tersebut. Tanah sudah menjadi barang komoditas yang menguntungkan para pemilik modal. Indonesia yang sejak masa pemerintahan Hindia Belanda dikenal dengan wilayah agraris, memaksa para aparatur negara dari periode ke periode untuk menetapkan kebijakan tentang masalah-masalah agraria. Seiring dengan periode pergantian rezim pemerintahan, terjadi pula tumpang tindih hukum dan kebijakan agraria di Indonesia.
Sementara, sektor perekonomian dipedesaan, dan khususnya sektor pertanian, justru mengalami ‘situasi krisis’ yang ditandai dengan merebaknya angka kemiskinan dan pengangguran. Terjadinya krisis dipedesaan ini pada gilirannya menyebabkan meledaknya urbanisasi karena petani gurem dan buruh tani tuna kisma tersingkir dari desanya, dan tertarik oleh sektor non-pertanian di kota yang akan memberikan pendapatan lebih tinggi. Hal ini adalah sebuah fenomena yang sangat ironis karena sektor agraria yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat di Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan bagi para petani sebagai pengolah tanah. Globalisasi menciptakan pasar bebas menambah kesenjangan antara pemilik modal yang didukung oleh pemerintah sementara petani tidak memiliki kekuatan apapun dalah struktur lembaga pemerintahan menjadi tersingkir dari tanahnya.
Hal demikian juga, telah menyebabkan perampasan tanah para petani di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi ditandai dengan keluarnya pemberian izin eksplorasi Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi Nomor : 671.5/0661/DPUPE/X/2010 kepada Perusahan Daerah Kota Palu tanpa adanya sosialisasi awal dengan masyarakat Lemban Tongoa.
Berangkat dari persoalan ini kami yang tergabung dalam “Gerakan Petani Lemban Tongoa” menuntut :
1. Bebaskan tanah kami dari Hutan Produksi Terbatas (HPT)
2. Serahkan sertifikat tanah kami
3. Cabut Izin eksplorasi tambang batu bara
Palu, 03 Desember 2012
Koordinator Lapangan
Lala Tirto