Inpres Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah
Oleh : Arianto Sangaji
Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.7/2008 tentang ‘Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah’. Konteks kehadiran Inpres ini, karena Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah pasca konflik di Indonesia selain Aceh, Papua dan Maluku. Dengan demikian, Inpres ini dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan di daerah ini karena keterbelakangan akibat adanya konflik berlarut sejak 1998. Diinformasikan bahwa pemerintah pusat merencanakan mengalokasikan dana sekitar 2 triliun dalam dua tahun anggaran, yakni 2009 dan 2010. Disatu sisi, Inpres ini memberikan harapan karena tersedia peluang memacu pembangunan didaerah ini melalui cara-cara khusus dan luar biasa. Sebab dengan Inpres ini, pemerintah daerah memiliki akses khusus mendapatkan anggaran pembangunan tambahan. Dengan demikian, tugas pemerintah memaksimalkan pelayanan kepada public (public goods)- pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pelayanan-pelayanan social, pasar tenaga kerja dan retribusi sumber-sumber daya ekonomi dapat terwujud.Disisi lain, yang paling dikhawatirkan, daerah ini kehilangan kesempatan untuk memajukan pembangunan, karena pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan program yang tepat, dan sebaliknya memprogramkan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Penyebabnya karena penyakit klasik di birokrasi, yakni ketidakmampuan dalam merancang program-program inovaif yang bermanfaat secara luas dan berkesinambungan.Masalah lain yang tidak kalah serius, adalah karena gelontoran dana yang besar kemudian menjadi ajang tarik-menarik dan tawar-menawar diantara kekuatan pemerintah dan kekuatan politk didaerah ini, dalam menentukan alokasi anggaran. Hasilnya, program yang diajukan bukan mencerminkan kebutuhan-kebutuhan nyata di masyarakat, tapi merupakan manifestasi dari kepentingan ekonomi dan politik diantara elit birokrasi dan politik didaerah ini. Belum lagi kita berhadapan dengan distorsi program, karena merajalelanya praktik korupsi dan kriminalitas ekonomi lain yang sudah lazim berurat akar dalam pembangunan yang bersumber pembiayaan pemerintah.
Focus Program
Sejauh ini, belum tahu persis seperti apa pemerintah daerah menyiapkan program percepatan pembangunan ini. Apakah pemerintah daerah sudah memiliki skema strategi progam atau masih mencari-cari?. Lebih dalam lagi, apakah program yang disodorkan (kalau sudah ada) mencerminkan semangat “percepatan “ atau justru sebaliknya, tidak lebih dari daftar-daftar proyek yang disusun seadanya dengan semangat menghabiskan angaran saja?. Miskinnya percakapan public mengenai percepatan ini justru mengundang pertanyaan lain; jangan-jangan Pemda memang tidak menganggap penting program ini?.
Sambil menunggu jawabannya, sebaiknya kita berusaha mendesakkan peletakkan focus dari program percepatan ini sesuai semangat kelahirannya. Pertama, implementasi program Inpres ini harus memprioritaskan Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali, dan Kabupeten Tojo Unauna, tiga daerah yang pernah mengalami konflik serta dampak yang diakibatkannya. Ini dimaksudkan agar proses pemulihan wilayah itu bisa berlangsung lebih cepat.
Dalam 10 tahun ini, terutama di Kabupaten Poiso, meskipun kekerasan sudah mereda setahun yang lalu, masih adanya segresi penduduk atas dasar suku dan agama, menunjukkan masih rendahnya jaminan atas rasa aman di antara warga. Ini juga mempelihatkan, kapasitas otoritatif pemerintah dalam pelayanan keamanan kepada warganya masih sangat rendah. Kendati jumlah aparat keamanan yang ditempatkan di daerah itu sudah melimpah-ruah.
Kedua, target group program ini, semestinya ada kelompok masyarakat marginal, petani, nelayan, pekerja-pekerja sector formal, korban-korban kekerasan, dan bekas-bekas kombatan. Kepada kelompok-kelompok ini diberikan pelayan akses terhadap kegiatan ekonomi produktif modern, jaminan akses kepemilikan alat produksi (misalnya kepemilikan tanah), termasuk diantaranya tidak secara mudah kehilangan hak-hak kepemilikannya baik secara paksa maupun suka rela, karena meningkatnya nilai kapitalisasi kepemilikan.
Fakta bahwa baik di Poso maupun Morowali, diaman ekspansi dan rencana ekspansi modal berlangsung massive dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang diikuti dengan berbagai konflik kepemilikan, menunjukkan bahwa jamina keamanan (property security) lapisan masyarakat marginal sangant rendah. Juga terhadap kelompok-kelompok ini prioritas juga harus diarahkan pada peningkatan akses mereka terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, dan social lainnya secara lebih baik.
Patut diperhatikan, pemerintah daerah harus menghentikan kebiasaan buruk dengan membuat program yang rendah kemaslahatannya dengan target group yang tidak jelas. Program yang menunjukkan seremonial dangkal, seperti membangun tugu dan semacamnya sudah saatnya diakhiri. Program semacam ini, bagaimanapun selain tidak berarti banyak bagi warga, juga menunjukkan betapa miskinnya gagasan dan orientasi pemerintah dalam pembangunan yang bermanfaat dan bermartanbat.
Ketiga implementasi Inpres ini harus dilakukan secara khusus melalui pendekatan extraordinary mengingat kompleknya masalah. Oleh karena itu, sebuah kelembagaan khusu perlu dibentuk untuk melaksanakan program-program. Kelembagaan ini harus melibatkan pemerinhtah pusat dan pemerintah daerah yang bekerja melalui prinsip-prinsip akunbilitas, transparan, dan pelayanan untuk semua tanpa diskriminasi.***
Sumber : Media Alkhairaat