Jejak Teror Petualang Lokal

Masyarakat Palu kembali dicekam rasa takut. Bom meledak di sebuah pasar yang sarat pengunjung. Pemerintah pusat membentukkomando operasi keamanan. Jejak “pemain” lama mulai terendus. Palu Selatan, Sulawesi Tengah, meriah pada Sabtu, penghujung akhir tahun lalu. Warga berjubel, berbelanja, untuk persiapan akhir tahun. Para pedagang, termasuk Aweng, 51 tahun, bersama anak dan keponakannya, bersukacita melayani pembeli. Aweng berharap, setumpuk daging babi yang jadi barang dagangannya bakal ludes di pagi ceria itu.

Namun kegembiraan Aweng hanya sesaat. Berbarengan dengan matahari yang merangkak naik, sebuah ledakan bom membuyarkan kerumunan pengunjung. Aweng sendiri terlempar dari tempatnya berdiri. Serpihan bom yang tergolong berdaya ledak rendah mampir di kaki kanannya. “Tapi saya bersyukur, anak dan keponakan saya tidak ada yang tewas,” ujar Aweng, yang sudah berjualan sejak 12 tahun silam di pasar yang berseberangan dengan Gereja Bethel Indonesia itu.

Beruntung, Aweng hanya mengalam luka ringan. Tapi tidak dengan Yopi Mononege dan istrinya, Meyse. Pasangan pedagang ini menjadi korban dengan luka paling mengerikan. Mereka pun harus meregang nyawa. Maklum, bom yang meledak tersebut diduga ditaruh di bawah meja tempat mereka berdagang. Sebuah lubang berkedalaman 10 sentimeter dengan diameter lingkaran 50 sentimeter tampak menghiasi tempat dagang Yopi dan Mesye.

Yopi dan Mesye bersama lima orang lainnya, termasuk seorang anggota intelijen Korem Tadulako SerkaTasma Lahasa dan istrinya, Postalica manis, menambah daftar panjang korban aksi terror di Sulawesi Tengah. Hingga saat ini, ratusan orang telah menjadi korban aksi teror. Sebelum kasus bom di Pasar Maesa, 28 mei 2005 bom juga sempat melanda kota Tentena. Bom yang meledak di tengah pasar tersebut menewaskan tak kurang dari 21 orang dan mencederai 70 orang.

Aksi yang cukup memprihatinkan yaitu tindakan sadis yang menimpa tiga siswi SMA Kristen Poso. Para pelajar belasan tahun in tewas dengan leher tergorok ketika pulang sekolah, akhir Oktober 2005. Bahkan saat dibantai, ketiga siswi tersebut masih mengenakan seragam Pramuka. Kebengisan terulang sepekan kemudian. Siti Nuraini, 17 tahun, dan temannya Ivon, pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Poso ditembak orang tidak dikenal di depan rumah kos oleh dua orang tak dikenal yang mengendarai sepeda motor.

Meski sejumlah orang telah ditangkap, pihak kepolisian hingga saat ini masih belm dapat menemukan aktor di balik berbagai aksi menggenaskan tersebut. Mereka yang ditangkap, diantaranya Andi Ipong, Poniras, hanya dituding sebagai pelaku. Brigjen Polisi Oegroseno, Kapolda Sulawesi Tengah, mengaku bahwa polisi masih mencari bukti untuk menjerat pelaku utama teror. “Kami masih menyelidiki mereka,” ujar Oegroseno kepada GATRA.

Namun Oegroseno tak mau menyebutkan siapa saja “mereka” yang dimaksud. Menurut jenderal bintang satu ini, para pelaku diduga masih terkait dengan pelaku peledakan bom Tentena, beberapa waktu lalu. Tujuannya? “Mereka ingin mengacaukan situasi Sulawesi Tengah yang mulai kondusif,” kata Oegroseno.

Kapolda yang baru menikmati kenaikan pangkat ini menolak berspekulasi soal latar belakang aksi teror tersebut. Berbagai alasan memang sempat mengemuka sebagai latar belakang aksi teror di ranah yang sempat dibelit aksi kerusuhan berbau SARA sejak 7 tahun lalu ini. Maklum, hingga kini polisi masih belum menangkap aktor utama pelaku teror di daerah dengan wilayah seluas 68.000 kilometer persegi ini.

Meski dibelokkan menjadi isu SARA oleh orang-orang yang diduga sebagai pelaku teror, berbagai pihak menuding aksi pelaku teror sebenarnya punya tujuan lebih besar. Aksi teror ini diduga dilakukan para petualang lokal untuk menutupi ativitas illegal mereka. Koalisi organisasi kemasyarakatan yang diorganisasi Wahana Lingkungan (Walhi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Sulawesi Tengah menuding kasus korupsi yang menjadi latar belajang aksi teror di Palu.

Dalam pernyataan pers bersama Yayasan Tanah Merdeka (YTM) palu, Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso dan Yayasan panorama Alam Lestari, Mei 2005, koalisi LSM ini menuding para pelaku korupsi melakukan teror untuk mengalihkan perhatian pemerintah dari upaya memberantas korupsi. Koalisi LSM membeberkan dugaan korupsi dana bantuan untuk pengungsi yang nilainya mencapai Rp 162 milyar.

Tindakan korupsi dilakukan dengan berbagai modus. Diantaranya lewat penggelembungan jumlah pengungsi (mark up), pemotongan hak pengungsi, dan pembayaran palsu kepada pengungsi. Jumlah yang dikorupsi, menurut perhitungan koalisi LSM, mencapai Rp 40 milyar.

Menurut sumber GATRA, aksi teror bom dan kekerasan yang terjadi selama ini setidaknya telah mengalihkan perhatian masyarakat dari penyidikan kasus korupsi dana bantuan untuk pengungsi dan dana rekonsiliasi pasca-kerusuhan Poso yang menyeret Andi Asikin Sayuti sebagai tersangka. Meski telah ditahan kepolisian, posisi Andi sebagai Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah, misalnya, belum juga dicopot.

Setiap hendak mengalami kasus korupsi yang melibatkan “anak emas” gubernur Sulawesi Tengah, Aminuddin Ponulele ini, aksi teror langsung terjadi. Bahkan teror bom sempat diterima sejumlah LSM yang membongkar kasus korupsi mantan pelaksana tugas Bupati Poso ini. Kantor LPMS pernah dibom orang tak dikenal pada 28 April 2005.

Tak mengherankan jika isu politik lokal yang menguat sebagai latar belakang aksi pengeboman. Apalagi, rencananya pada 16 Januari 2006, masyarakat Sulawesi Tengah bakal menggelar pemilihan kepala daerah untuk menentukan gubernur dan wakil gubernur periode mendatang.

Brigjen Polisi Oegroseno sendiri mengaku masih belum menarik kesimpulan sejauh itu. Polisi masih menyelidiki kasus tersebut berdasarkan bukti dan keterangan saksi yang telah diperiksa. Polisi juga memeriksa kembali para terdakwa kasus kerusuhan seperti Febianus Tibo cs, yang telah divonis mati Pengadilan Negeri Palu (baca : Bersaksi Menanti Eksekusi).

Dugaan koalisi LSM yang mengaitkan kerusuhan dengan tindak pidana korupsi senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Departemen Agama. Dari hasil penelitian tentang konflik di Poso, Departemen Agama. Dari hasil penelitian tentang konflik di Poso, departeneb Agama menyimpulkan bahwa aksi teror yang terjadi bukan dilatarbelakangi sentiment agama, melainkan karena gesekan ekonomi dan politik.

Bagaimana dengan peran organisasi teroris, semisal kelompok Jamaah Islamiyah? Oegroseno menolak berkomentar panjang. Menurut Kapolda Sulawesi Tengah ini, polisi belum menangkap satupun anggota Jamaah Islamiyah yang ditangkap di Sulawesi Tengah. “Hingga kini tidak ada anggota Jamaah Islamiyah yang ditangkap di Sulawesi Tengah,” ujar Oegroseno.

Rumitnya persoalan di Sulawesi Tengah membuat pemerintah pusat terpaksa turun tangan. Lewat Kementrian Politik dan Keamanan, pemerintah membentuk Komando Operasi Keamanan (Koopskam) Sulawesi Tengah. Menurut Deputi IV Menko Polkam yang juga Kepala Desk Poso, Demak Lubis, pembentukan Koopskam ini dimaksudkan untuk membantu kepolisian dan pihak keamanan lainnya mengungkap dan menangkap pelaku teror di Sulawesi Tengah.

Selain melibatkan unsure intelijen seperti dari Badan Intelijen Negara, TNI, dan kepolisian, Koopskam yang dipimpin Irjen Polisi Paulus Purwoko – Kadivhumas Mabes Polri – bakal diperkuat lebih dari 1.000 anggota polisi serta membawahkan satuan tugas Palu dan Poso yang sudah terbentuk sebelumnya. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sendiri menyatakan kesiapannya untuk menambah pasukan jika diminta.

Selain kepolisian, saat ini di Sulawesi Tengah juga terdapat dua batalyon pasukan non-organik TNI. Dengan kekuatan cukup besar, pemerintah tampaknya berharap, penyelesaian kasus konflik di Sulawesi Tengah bisa segera selesai. “Kami memberi tenggat enam bulan untuk mengungkap semuanya,” ujar Demak Lubis. Setidaknya, sebelum menutup tahun 2006 nanti, pedagang semacam Aweng dapat kembali berjualan dengan aman.

Jejak Kerusuhan

25 Desember 199
Kerusuhan berbau SARA merebak di Kabupaten Poso. Pemicunya, kasus pembacokan oleh seorang pemuda mabuk beragama Kristen terhadap pemuda beragama Islam di depan sebuah masjid. Sebanyak 100 orang luka-luka, puluhan rumah dan kendaraan bermotor rusak berat.

15 April 2000
Kerusuhan kembali merebak setelah dua desa saling serang di Poso. Kerusuhan meluas hingga daerah pinggiran kota. Ratusan orang tewas dan luka-luka.

Desember 2001
Deklarasi Malino diteken. Aksi saling serang kedua kelompok yang bertikai sempat mereda.

5 juni 2002
Bom kembali meledak. Kali ini terjadi di dalam bus Antariksa, 4 orang tewas dan 16 orang luka-luka.

30 Maret 2004
Terjadi aksi penembakan misterius yang mengakibatkan Dekan Fakultas hukum Universitas Sintuwu Maroso Poso, Rosio Pilongo, tewas.

28 Mei 2005
Bom meledak di Pasar Tentena. Korban tewas 21 orang dan lebih dari 70 orang cedera.

29 Oktober 2005
Tiga siswi sekolah menengah Kristen tewas digorok orang tak dikenal di Poso.

8 November 2005
Dua siswi SMK ditembak orng tak dikenal di depan rumahnya.

30 Desember 2005
Bom meledak di Pasar Maesa, Palu Selatan. Korban tewas 7 orang dan 50 orang luka-luka.

Hendri Firzani dan Anthony (Palu).

 

Sumber : Gatra Pasar Maesa,