Buku

Kebangkitan Masyarakat Adat

Oleh: SURAYA A. AFIFF

Tidak banyak buku yang bercerita tentang perjuangan masyarakat yang berfokus pada perspektifmasyarakat itu sendiri. Tulisan Claudia D’Andrea adalah salah satu dari sedikit buku yang mencoba memahami bagaimana masyarakat menyikapi gerakannya.

Dalam buku ini, Claudia membantu pembaca untuk memahami kompleksitas gerakan masyarakat dalam mempertahankan tanahnya. Dia bercerita tentang perjuangan sekitar enam puluhan keluarga di Katu, kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, yang akibat dari kebijakan nasional terancam diusir dari tanahnya. Dengan sangat baik diuraikan gabungan berbagai faktor yang membuahkan keberhasilan gerakan klaim tanah masyarakat Katu.

Dengan menggunakan pendekatan ekologi politik, Claudia memperlihatkan bagaimana perubahan politik di tahun 1998, aliansi dengan aktivis lokal dan nasional, dan dukungan seorang kepala taman nasional membingkai klaim masyarakat Katu dalam konteks wacana global tentang ”indigenous peoples” yang menekankan pada isu hak asasi manusia dan kearifan lingkungan yang dimiliki masyarakat. Inilah yang menurut Claudia disebut sebagai sejumlah faktor di balik keberhasilan gerakan masyarakat Katu untuk mendapatkan pengakuan atas klaim tanah tempatnya bermukim, bertani, dan mengumpulkan hasil hutan.

Kisah perjuangan masyarakat Katu dipaparkan secara runut mulai dari kebijakan politik kolonial Belanda yang memaksa mereka untuk pindah dari permukimannya. Konflik bersenjata yang terjadi di awal kemerdekaan Indonesia juga mewarnai sejarah perjuangan orang Katu. Dengan tekad kuat mereka bersikeras tidak pindah dari hulu sungai Katu.

Rencana pemerintah untuk merelokasi orang Katu muncul ketika kawasan permukiman dan pertanian mereka ditetapkan masuk dalam wilayah Taman Nasional Lore Lindu pada tahun 1980-an. Rencana relokasi semakin kencang dikampanyekan pemerintah setelah ADB (Asian Development Bank) setuju mengucurkan dana untuk membiayai sebagian dari perencanaan taman nasional pada 1996.

Peran Aktivis

Berbagai upaya pemerintah memersuasi orang Katu untuk bersedia pindah gagal. Di sisi lain, semangat orang Katu untuk mempertahankan lahannya justru semakin kuat ketika aktivis organisasi nonpemerintah menawarkan bantuan. Para aktivis mendukung klaim orang Katu atas tanah dan mendukung tuntutan orang Katu agar mereka tetap tinggal di wilayah adat mereka.

Aktivis membantu masyarakat belajar berbagai strategi dan taktik bernegosiasi dengan pemerintah dan perwakilan ADB. Untuk melakukan perjuangan itu, masyarakat disadarkan untuk mencapai kesuksesan perlu mendapat dukungan pers baik nasional maupun internasional. Para aktivis juga memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya peta teritorial sebagai pendukung klaim (Bab 6).

Claudia menekankan, meski aktivis mengajarkan berbagai keterampilan baru menghadapi orang luar, tetapi dalam bukunya dia menunjukkan, aktivis tidak mengontrol protes orang Katu dan perjuangan mereka untuk memperoleh pengakuan atas tanah mereka. Termasuk keputusan untuk membuat aturan adat baru dan agenda pengembangan ekonomi yang diinginkan orang Katu sendiri setelah mereka memperoleh pengakuan, ditegaskan tanpa intervensi para aktivis.

Di saat reformasi bergulir, aktivis berhasil menghubungkan orang Katu dengan pimpinan Taman Nasional. Tahun 1999, Banjar Yulianto Laban, Kepala Badan Taman Nasional Lore Lindu, mengeluarkan keputusan untuk mengakui hak adat orang Katu dan klaim mereka atas lahan seluas 1.178 hektar. Pengakuan ini, menurut Claudia, bagi orang Katu juga berarti pengakuan atas sejarah mereka, praktik tanah, dan identitas pada tempat itu (hal 106).

Claudia yang tinggal di Katu antara tahun 2000 hingga 2002 merekam beberapa hal yang menarik pasca pengakuan hak adat orang Katu. Dia menemukan bahwa petani Katu mempunyai tata cara, praktik, dan interpretasi tersendiri terhadap apa itu yang disebut masyarakat adat (hal xxvi).

Adat dan Komoditas

Orang Katu juga seperti kebanyakan petani, tidak anti globalisasi dan pasar bebas selama itu menguntungkan mereka secara finansial. Salah satu contoh komoditas global yang sudah lama jadi andalan orang Katu adalah Kopi. Persoalannya, untuk mengusahakan komoditas seperti ini butuh modal.

Perbedaan cara pandang aktivis dan masyarakat Katu tentang ekonomi dan komoditas menurut Claudia sangat jelas di isu rotan.

Pasca pengakuan, kegiatan sebagian orang Katu untuk memanen rotan meningkat pesat. Bagi aktivis dan para pendukungnya, rotan adalah komoditas yang cocok dikembangkan orang Katu. Mereka lalu membuat program terkait pengelolaan rotan: memperkenalkan rotan jenis baru, melatih teknik budidaya rotan, memperkenalkan ide koperasi untuk memangkas praktik tengkulak.

Proyek pengembangan ekonomi berbasis rotan rancangan orang luar ini ternyata gagal. Salah satunya, menurut Claudia, karena tidak dipahaminya bagaimana orang Katu memandang kegiatan pengumpulan rotan dan relasi-relasi sosial yang kompleks di dalamnya.

Claudia menemukan, banyak orang Katu justru mendambakan memiliki kebun kakao (cokelat). Buat sebagian orang, memanen rotan adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang sebagai modal untuk membeli tanaman cokelat yang dianggap sebagai komoditas yang lebih menjanjikan secara ekonomi.

Masyarakat Katu juga menginginkan pemerintah membangun jalan masuk ke kampung mereka agar mudah membawa hasil bumi ke pasar dan berharap pembangunan berbagai infrastruktur seperti irigasi agar dapat meningkatkan produksi padi mereka. Dari perspektif masyarakat Katu, keinginan untuk menerima modernisasi dan pembangunan tidak bertentangan dengan identitas mereka sebagai masyarakat adat.

Di sini Claudia berargumen, petani Katu bukan korban dan bukan sekadar akibat saja dari kebijakan nasional dan global. Orang Katu mempunyai kekuatan untuk membangun perjuangan mereka sendiri (hal. 40). Mereka bukan kelompok pasif seperti yang terkadang digambarkan orang.

Kompleksitas ini, menurut Claudia, hanya dapat dipahami kalau kita sadar adanya dua wajah masyarakat. Di satu sisi, kampanye aktivis pada orang luar mencitrakan orang Katu sebagai kelompok yang homogen, yang memiliki satu identitas kelompok secara kolektif. Namun, sesungguhnya, seperti yang digambarkan di bab 4 dan 5 buku ini, di dalam masyarakat ada banyak relasi sosial yang kompleks, tarik menarik kepentingan, serta pertentangan interes, sehingga jauh dari gambaran harmoni dan homogen.

Buku karya Claudia, yang pernah bekerja di WALHI tahun 1988-1992 sebagai Volunteer in Asia (VIA), organisasi sosial yang berbasis di Standford University Amerika Serikat ini merupakan contoh proses advokasi yang kuat. Buku ini juga dapat menjadi referensi bagi para aktivis dan siapa pun yang peduli dengan persoalan masyarakat khususnya reformasi agraria.

Penulis adalah Ketua Pusat Kajian Antoropologi FISIP UI

Sumber: Kompas tanggal 20 April 2014, hlm: 22.