Kisah Eva Bande Menantang Gurita

PALU,RAKYATSULTENG – Puluhan anggota Kodim 1308 Luwuk Banggai memasuki areal hutan tanaman industri (HTI) di Desa Piondo, Banggai, Sulawesi Tengah, untuk latihan perang. Di saat bersamaan buldoser milik PT Kurnia Luwuk Sejahtera (KLS) juga memasuki kawasan itu. Latihan perang itu ternyata akal-akalan saja. Dengan senjata lengkap anggota Kodim Luwuk Banggai mengawal aksi buldoser PT KLS merusak akses jalan warga ke kebun mereka di sekitar kawasan HTI.

11 Mei 2010. Malam belum lagi beranjak tinggi. Sekitar 200 warga Desa Piondo dipimpin Sekretaris BPD Kholil berkumpul. Mereka memprotes aksi buldoser PT KLS yang telah merusak mata pencaharian dan kehidupan mereka.

Warga Desa Piondo adalah transmigran yang tiba tahun 1983 dan 1984, ketika desa itu masih dikenal dengan nama Unit 25. Sebanyak 200an Kepala Keluarga (KK) di Desa Piondo berasal dari beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB), lalu Pekalongan, Kudus, Pemalang dan Sragen di Jawa Tengah, juga Blitar di Jawa Timur. Sebagai warga transmigran, negara memberikan lahan seluas 2 Ha kepada setiap KK, yang terdiri atas Pekarangan (LP) seluas 1/4 Ha, LahanUsaha (LU) Satu seluas 1 Ha, dan LU Dua seluas 3/4 Ha.

Lahan usaha mereka yang diberikan negara inilah yang dirampas oleh buldoser PT KLS itu.

Sayangnya, aparat negara yang diharapkan membela kepentingan warga malah bertindak sebaliknya. Komandan Kodim Luwuk Banggai dan Wakapolsek Toili Barat yang ada di lapangan ketika warga desa memprotes aksi PT KLS memilih untuk melindungi kepentingan pengusaha. Warga desa diminta membubarkan diri dengan segera. Wakapolsek Toili Barat bahkan sempat melepaskan tembakan ke udara sebagai tanda peringatan.

Malam itu warga pulang dengan tangan kosong dan hati hampa. Sejak malam itu pula Desa Piondo jadi begitu mencekam.

Menurut sejumlah laporan, hingga 25 Mei 2010 jumlah anggota TNI yang mengawal operasi KLS mengalihfungsikan lahan HTI menjadi perkebunan sawit terus bertambah hingga sekitar 300 orang. Sementara upaya negosiasi terus dilakukan warga desa Piondo. Badarudin dan Suparmin diutus warga desa untuk meminta penjelasan dari pihak TNI. Akan tetapi, TNI bersikeras.

Keesokan harinya, sekitar pukul 08.00 WITA, masyarakat kembali menggelar aksi. Eva Susanti Bande, seorang aktivis perempuan, hadir di tengah aksi itu. Eva bukan orang baru bagi masyarakat Piondo. Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng itu sudah sejak 2009 ikut mengadvokasi rakyat yang dirugikan oleh proyek raksasa perusahaan-perusahan besar yang mengkonversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit.

Eva Bande adalah putri asli Banggai. Ayahnya, Hanafi Bande, adalah seorang pensiunan polisi dari Batui. Sementara almarhumah ibunya, Zahra Basalama, berasal dari Banggai Kepulauan. Advokasi adalah kata kunci dalam hidupnya. Salah seorang anggota Badan Pimpinan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) itu juga pernah menjadi Koordinator Forum Kawasan Timur Indonesia (FKTI) Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah dari 2007 hingga 2009, dan Koordinator Koalisi untuk Pembebasan Perempuan (KUPP) Sulteng dari 2008 hingga 2010.

Hari itu, Eva didaulat menjadi jurubicara warga dari berbagai desa di kawasan itu. Tuntutan kepada PT KLS hanya satu: bebaskan jalan untuk menuju kebun mereka.

Tidak seperti pada aksi-aksi sebelumnya, kali ini anggota TNI dan polisi di lapangan tidak menghalang-halangi. Mereka seakan memberikan lampu hijau dan mempersilakan warga menumpahkan kemarahan kepada KLS. Adapun Eva tak sanggup menahan kemarahan warga yang sudah memuncak.

Lalu, sebuah buldoser, eksavator dan perumahan karyawan PT KLS dibakar warga.

Setelah melampiaskan kemarahan, warga membubarkan diri dan pulang ke desa mereka masing-masing.

Begitu pula dengan Eva. Ia pulang ke sekretariat FRAS Sulteng. Ketika masih berada di dalam kamar mandi, puluhan polisi tiba dan membawa paksa Eva ke Mapolres Banggai. Malam itu juga Eva ditahan. Ia dikenakan pasal penghasutan yang mengakibatkan kerusakan fasilitas PT KLS. Selain Eva, sebanyak 23 petani yang ikut dalam aksi hari itu juga ditahan dan dikenakan pasal pengrusakan.

Proses hukum terhadap Eva dan ke-23 petani berlangsung super cepat. Hanya dalam waktu lima bulan, hakim menjatuhkan vonis untuk Eva dan kawan-kawan petaninya.

Yang tak kalah mengagetkan adalah vonis empat tahun penjara yang dijatuhkan hakim. Vonis ini begitu tinggi dibandingkan tuntutan jaksa yang hanya 3,5 bulan penjara.

Tiga tahun lalu Eva ke Jakarta. Selama lima hari ia berusaha menemukan keadilan. Ia telah melaporkan kasusnya ke Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasa (Kontras), Komnas HAM, Komnas Perempuan, juga Komisi Yudisial (KY).

Meski belum terlihat hasilnya, Eva tak patah arang. Sepulang dari Jakarta, ia kembali bergabung kembali dengan kawan-kawan petaninya di Sulawesi Tengah.

“Makin ganas praktik PT KLS terhadap sumber-sumber penghidupan petani,” kata Eva.

Eva sadar bahwa ia sedang menghadapi gurita kekuasaan. Murad Husein, sang pemilik PT KLS, bukanlah pengusaha kelas teri. Sejumlah catatan menyebutkan, Murad mulai terjun di dunia usaha lewat bisnis kopra di 1990an. Ketika itu Kabupaten Banggai masih meliputi Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepualauan kini. Sukses di bisnis kopra, barulah ia memasuki bisnis sawit. Saat ini diperkirakan perkebunan sawit yang dikelolanya mencapai 12 ribu Ha.

Kehidupan Murad Husein juga tidak jauh dari urusan politik. Ia pernah menjadi bendahara Golkar di Sulawesi Tengah dan di era Orde Baru ia pernah menjadi anggota MPR RI utusan daerah. (RMOL)

Sumber: http://rakyatsulteng.com/