Kondisi Petani Kakao di Lembantongoa
Krisis Kakao perlahan-lahan mendorong para petani mengubah tanaman perkebunan ke komoditi Kopi, Fanili dan Merica. Di saat menunggu masa panen komoditi baru ini, sebagian petani bergantung hidup pada kerja harian dan menanam tanaman hortikultura.
Lemban, begitulah desa ini dikenal oleh orang-orang yang mendiami segenting kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL) di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Secara administrasi desa ini bernama Lembantongoa. Untuk pergi ke desa ini tak butuh waktu lama, jaraknya hanya sekitar 70 kilo meter dari Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Tetapi, akses menuju kampung Lemban tidaklah mudah, karena belum diaspal, menaiki bukit, berkerikil, rawan longsor dan berkelok-kelokan.
Mayoritas penduduk Lemban merupakan korban resettlement pemerintah orde baru pada 1982. Para petani ini dituduh sebagai perambah hutan, berkaitan dengan aktivitas mereka sebagai petani nomaden di dalam kawasan hutan konservasi. Atas tuduhan itu, para petani ini terpaksa meninggalkan kampung pertama mereka dan berpindah ke desa Lembantongoa. Awalnya mereka berjumlah 250 kepala keluarga (KK), dari empat desa, Kecamatan Kulawi, Kubupaten Donggala (sekarang Kabupaten Sigi). Pada 2011, pemerintah kembali menempatkan 300 KK penduduk dari pulau Jawa dan sebagian transmigran lokal. Tahun 2015, tercatat penduduk yang diapit oleh HPT dan HL ini telah mencapai 487 KK dengan 1.989 jiwa.
Sejak tinggal di Lembantongoa, para petani mulai menanami lahan pembagian transmigrasi dengan tanaman kakao. Pilihan menanam kakao dipengaruhi oleh harganya yang meroket kala itu. Sehingga hampir semua rumah tangga petani memiliki kebun kakao, selain menanam padi dan palawija. Sejak itu tanaman kakao menjadi tanaman andalan para petani di Lembantongoa.
Namun, sejak tiga tahun terakhir, tanaman kakao mengalami kerusakan pada batang dan buah karena serangan hama. Kondisi ini membuat para petani kesulitan memperoleh uang tunai, terutama bagi petani yang terdesak menyekolahkan anak dan kredit kendaraan. Menurut Arifin ketua kelompok tani di lemban, krisis produksi kakao bahkan melanda semua petani di Kecamatan Palolo.
Ia menyatakan penyebab gagalnya produksi kakao terutama diakibatkan oleh tingginya serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Parasit ini merusak pertumbuhan buah. Sehingga, buah yang terserang hama, berubah menjadi kehitaman dan biji-biji kakao menjadi saling lengket. Jika terserang hama warna kulit buah menjadi kuning hijau, jingga dan terdapat lubang gerekan. Selain serangan hama, musim yang tidak menentu juga membuat buah kakao menjadi kempes tak berisi atau biji tidak berkembang.
Masalah lainnya, para petani juga tidak memiliki modal untuk merawat kakao. Sebab, usia tanaman kakao mereka telah melewati masa produktif. Perlu ada upaya peremajaan dan perawatan yang intensif. Misalnya seperti pemupukan secara rutin dan penyemprotan hama.
Papa Sukma adalah seorang petani yang mengalami langsung gagal panen. Ia memiliki tanaman Kakao sekitar 300-an pohon. Dulunya, saat panen raya dia mampu menghasilkan 100 kilo gram sekali panen. Saat ini, untuk memperoleh 20 kilo gram biji kakao kering saja sangat sulit.
Sejak kakao tak lagi berproduksi baik, papa Sukma mulai mengganti komoditinya menjadi tanaman kopi dan merica. Dia juga menjadi buruh tani dan pengangkut kayu ramuan rumah. Sehari bekerja, ia mendapat upah sebesar 50 ribu hingga 75 ribu rupiah.
Menurutnya, krisis kakao membuat banyak petani Lembantongoa terpaksa masuk hutan mencari rotan dan kayu ramuan untuk rumah. Terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan sawah. Sementara, sebagian petani memilih menanam jagung, padi ladang dan sayuran.
Selain Papa Sukma, krisis juga dirasakan Papa Indi. Dia merupakan salah satu warga desa yang memiliki usaha jasa transportasi umum (taxi) jurusan Palu-Lembantongoa. Sejak pertengahan 2015, jasa transportasi miliknya terbilang sepi. Sebab, penumbang yang mayoritas petani Lemba tak banyak yang beraktivitas ke kota Palu. Padahal, tahun-tahun sebelum krisis banyak petani yang datang berbelanja ke kota. Paling tidak, masa itu sedikitnya tiga orang penumpang dan hasil-hasil pertanian ia muat setiap hari.
***
Persoalan yang dialami petani Lembantonga menjadi gambaran hidup betapa kompleknya persoalan petani di pedesaan. Krisis yang tiba-tiba melanda merusak tatanan produksi yang sejak puluhan tahun menjadi sumber penghasilan. Para petani harus memulai dari awal, menanam komoditi baru, dengan beban modal baru. Tentu kondisi ini, sangat menyulitkan para petani. Jika berangsur lama, memicu petani melakukan pilihan-pilihan spontan seperti; mencari hasil hutan dengan resiko tinggi atau menjadi pekerja upahan kepada petani kaya. Kondisi ini juga membuat petani miskin rentan menjual tanahnya kepada petani mampu. (Lala)