Konsentrasi Kapital dan Kelangkaan Minyak

Oleh: Adriansyah, Manager Kampanye dan Jaringan YTM

Pada hari senin, tanggal 6 Mei 2013, saya membuka salah situs yang dikirim lewat jejaring sosial facebook yang berjudul “95 Persen Migas Indonesia Dikuasai Korporasi Asing”. Semangat argumentasi dalam berita ini adalah kedaulatan nasional yang pernah didengungkan Bung Karno.

Dalam berita ini banyak menguraikan fakta empirik mengenai peguasaan sektor produksi migas oleh fraksi-fraksi kapital utamanya PT Chevron asal Amerika Serikat yang menguasai 44 persan migas di Indonesia, lalu diikuti oleh E&P 10 persen, Conoco Philips 8 persen, Medco Energy 6 persen, China National Offshore Oil Corporation 5 persen, China National Petroleum Corporations 2 persen, British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kedeco Energy masing-masing satu persen. Sementara perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen. (http://monitorindonesia.com/)

Data ini diolah dari http://energitoday.com/

Data ini diolah dari http://energitoday.com/

Argumentasi ini benar, misalnya, kritikan Hendri Saparini  pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group kepada pemerintah, menurutnya energi indonesia telah dijadikan komoditas, artinya semua orang dapat menguasainya. Jika saja porsi energi diberikan kepada perusahaan BUMN, sebetulnya migas dapat menjadi pilar utama di sektor ekonomi Indonesia. Ia mencontohkan pengelolaan migas di Blok Cepu yang dikelola ExxonMobil (perusahaan asal AS). Artinya, perekonomian Indonesia telah dikuasai asing, minyak mentah ditentukan oleh New York bukan kita.

Namun Hendri tidak (mau) menyebut kapitalisme, yakni sistem yang mewadahi aktivitas-aktivitas itu, sebagai akar masalah. Padahal, sangat mudah memahami ekonomi-politik global ini dari proses produksi dan sirkulasi komoditas yang terkonsentrasi pada fraksi kapital transnational.

Ekonom liberal seperti Adam Smith sangat berperan terhadap sistem produksi semacam ini, gagasan Smith bahwa negara harus melakukan liberalisasi ekonomi-politik sehingga yang perlu dilakukan adalah deregulasi terhadap sistem produksi kapital oleh Negara. Artinya biarkan pasar yang menentukan proses sirkulasi kapital.

Dewasa ini, kapitalisme telah mengintegrasikan semua lini kehidupan manusia ke dalam sistem kapitalisme hingga ke kampung-kampung. Kapitalisme juga bergantung kepada masyarakat pra-kapitalisme. Menurut Rosa Luxemburg, sistem produksi kapitalis bisa bernafas panjang jika tersedia pasar non-kapitalis. Lihat Draft Bacaan untuk Pendidikan Ekonomi Politik, Yayasan Tanah Merdeka, 2 Maret 2013. Contoh yang bisa kita ambil dari apa yang Loxemburg maksudkan dalam kasus migas adalah para petani di kampung-kampung yang non-kapitalis, atau para nelayan, atau usaha-usaha kecil di kota-kota (informal) yang belum sama sekali melakukan hubungan-hubungan produksi yang kapitalistik, dimana oleh Marx menyebutnya sebagai hubungan produksi yang masih “hybrid” atau transisi menuju kapitalisme dari moda produksi pra-kapitalis”.

Para petani di kampung-kampung dalam mengelola pertaniannya, misalnya lahan sawah modern bergantung pada masyarakat yang telah melakukan hubungan kerja yang kapitalistik, dimana subordinasi kerja telah berlangsung di sana secara ketat. Penggunaan mesin traktor, sangat bergantung kepada sistem produksi kapitalistik, dari mulai bahan baku, hingga membentuk menjadi mesin siap dipakai. Sementara, minyak yang digunakan adalah juga produksi yang dihasilkan para pekerja dengan tingkat sejarah perkembangan kapitalisme tertentu.

Disini perlu kita letakan apa yang Marx sebut sebagai “hybrid” sungguh berbeda dengan corak produksi yang kapitalistik ataupun masih feodal. Sebab, apa yang Marx sebut sebagai kapitalisme tentunya berangkat dari hubungan-hubungan produksi yang kompleks, perampasan ‘nilai-lebih’ dari kegiatan produksi tertentu.

Perhatian Luxemburg sangat menyumbang untuk mengerti bagaimana kapitalisme bekerja secara global, tetapi ini hanya satu segi dari sistem yang kapitalistik.

Sebagaimana Vladimir Lenin menyebutkan bahwa kapitalisme paling maju adalah kapitalisme yang monopolistik. Lenin menyebut Imperialisme. Jika kita turunkan ke dalam fakta empirik maka semakin jelas kita curgai PT Chevron asal AS yang menguasai 44 persen migas di Indonesia, merupakan fraksi kapitalis yang monopolistik. Ini hanya satu dari beberapa perusahaan terbesar di dunia yang secara global mengontrol sebagian besar aset (modal, tenaga kerja dan infratruktur). Selain itu, Lenin juga menyebutkan bahwa karakter paling utama dari kapitalisme modern yang monopolistik adalah ekspor kapital. Tentu saja bertujuan untuk memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi dengan mengekspor kapital ke negeri-negeri di mana ‘modal yang langka, harga tanah yang murah, upah buruh yang murah, dan bahan baku yang murah’.

Situasi Indonesia

Saat ini, perdebatan kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) baik oleh pemerintah, ekonom-liberal dan kalangan aktivis yang menolak rencana pemerintah untuk menaikan harga subsidi BBM, muncul diberbagai media. Penolakan juga terlihat hampir setiap hari dilakukan para aktivis buruh, petani dan mahasiswa yang mendatangi instansi-instansi pemerintah di hampir semua daerah, yang menolak bahwa kenaikan BBM sangat merugikan atau berdampak terhadap terjadinya inflasi (kenaikan barang dan semua lini transportasi). Sementara penolakan juga hadir dari kalangan intelektual liberal yang menyatakan bahwa kelangkaan produksi minyak diakibatkan oleh konsumsi yang terlalu berlebihan (Malthusian), utamanya kelas menengah, sehingga perlu dilakukan regulasi untuk mengatur pendistribusian minyak secara merata. Sementara itu, harga subsidi BBM di Indonesia sangat murah sehingga memudahkan terjadinya penimbunan dan penyeludupan, untuk itu perlu dibuat sebuah regulasi yang mengatur penerima minyak dan pengawasan lebih diperketat agar semua pihak dapat minikmati dan kuota tetap terjaga.

Untuk mengantisipasi itu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan aturan bagi penerima subsidi BBM, yakni Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012. Dalam aturan tersebut diatur secara rinci golongan masyarakat yang berhak menerima subsidi BBM. Artinya bahwa pemerintah sangat serius untuk menaikan harga BBM di tingkat Nasional.

Walaupun aturan ini telah diterbitkan, namun rencana naiknya harga BBM masih juga tarik ulur. Apa yang menyebabkan pemerintah ragu-ragu? Banyak kalangan menilai baik pengusaha, legislatif dan para ekonom-liberal. Pemerintah tidak memiliki ketegasan menentukan harga BBM. Seperti disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, pemerintah jangan ragu menaikan harga BBM, bahkan ia dengan tegas menyampaikan kepada pemerintah naikkan harga BBM menjadi Rp 8.000/liter. Dilansir oleh Detik.com

Argumentasi-argumentasi di atas benar, bahwa populasi konsumsi di Indonesia cenderung tinggi ditandai dengan penyebaran kendaraan beroda dua (motor), beroda empat (mobil) dan mesin-mesin lainnya. Lihat saja di kota-kota berbagai mecam kendaraan berjejer mengantri di jalanan. Tetapi, argumentasi ini kurang lebih melihat permukaan saja, bukan melihat faktor paling esensi dari kelangkaan minyak. Diawal tulisan ini telah memperlihatkan perusahaan yang memproduksi minyak di Indonesia, Chevron perusahaan yang berasal dari Amerika menjadi urutan teratas penyedot terbesar dan beberapa lagi perusahaan Trans National Coorporation (TNC) yang beroprasi di indonesia.

Pertamina yang menjadi perusahaan Nasional hanya menduduki 16% pengerukan minyak, tidak termasuk penyulingan menjadi minyak siap konsumsi. Minyak kita juga sebagian besar dikirim ke Chinan dan Amerika untuk proses penyulingan.

Bagi saya problem kita adalah sistem produksi kapitalistik yang telah mengakar hingga ke ubun-ubun, mengharuskan kita harus bergantung secara ekonomi-politik yang eksploitatif, bukanlah kelangkaan minyak ataupun seperti yang ditawarkan Thomas Robert Malthus yang melihat bahwa pertumbuhan populasi telah melampaui batas persediaan kebutuhan energi sebagai mana kecenderungan penduduk bertumbuh secara tak terbatas. Namun kecenderungan kelas kapitalis yang selalu melakukan ekspansi spasial secara progresif. Korporasi-korporasi transnasional bergerak leluasa melintasi tembok-tembok negara untuk mengonversi permukaan bumi demi industri ekstraktif.

Minyak secara global, dikontrol atau diatur sedemikian rupa, oleh fraksi-fraksi kapital agar sirkulasinya tetap berjalan dengan baik, tentunya agar dapat memperoleh profit yang lebih besar, bukan sebagai kebutuhan yang diperuntukan untuk kebutuhan masyarakat secara sosial tanpa eksplotasi.

Sumber : http://www.perspektifnews.com/