Lagi Tanah Dirampas, Petani Dikriminalisasi

PerspektifNews, Banggai – Pabeangi Pamulalajo dan Ahmad Sapuan resmi dijadikan tersangka oleh Kepolisian Resort Banggai, pada tanggal 7 Januari 2013. Kedua warga desa Suka Maju I, kecamatan Batui Selatan tersebut dikenakan pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 406 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP karena tindak pidana pengeroyokan dan perusakan di perkebunan sawit PT Sawindo Cemerlang.

Budi Supriadi dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM) menganggap status tersangka yang dikenakan kepada kedua petani yang merupakan anggota Serikat Petani Merdeka tersebut merupakan bentuk kriminalisasi. “Pemeriksaan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Banggai dan penahanan kedua petani tersebut oleh Kejaksaan Negeri Luwuk adalah proses kriminalisasi terhadap petani yang selama ini kerap terjadi di seluruh Indonesia,” katanya.

Ia pun menambahkan dalam asas hukum pidana, jelas ada yang namanya Leg Spesialis, dalam hal ini Undang-Undang Perkebunan. Namun anehnya pihak kepolisian dan kejaksaan seakan memaksakan pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat kedua petani tersebut.

“Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan telah bertentangan dengan konstitusi, karena pasal 21 dan pasal 47 dalam Undang-Undang Perkebunan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Budi, yang juga anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP).

Pada tanggal 19 September 2011, Mahkamah Konstitusi  mengabulkan permohonan para penggugat yang terdiri dari empat petani, dengan membatalkan ketentuan pasal 21 dan pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Ketentuan pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan, yang dianggap dapat mengganggu jalannya usaha perkebunan. Sementara pasal 47 berisi sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku yang dianggap melanggar pasal 21.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menganggap ketentuan pasal 21 telah mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat, sebagai pemilik ulayat atas tanah yang banyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan. Karenanya MK menyatakan ketentuan pasal tersebut adalah inkonstitusional dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

MK juga menyatakan, kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat, dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara, berdasarkan ketentuan perundangan-undangan. Hal ini merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Kemudian ketidakpastian hukum ini diikuti adanya ancaman hukuman berlebihan yang diatur dalam pasal 47 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkebunan. (Budi)

Sumber : Portal PerspektifNews