Launching Pemantauan REDD + Diharapkan Tidak Hanya Melindungi Hutan

SIARAN PERS

(Minggu, 01, September 2013)

YTM- Banyak pihak percaya bahwa praktek penghancuran hutan tropis memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam hal pelepasan emisi global, Hal ini terungkap pada saat seminar Launching Pemantauan Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD+) di Sulawesi Tengah bertempat di Hotel Santika Palu, Kemarin (31/08/13).

“Kerusakan hutan disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama perkebunan ekstraktif dan pertambangan, saat ini pemerintah hanya mampu merehabilitasi hutan seluas 15 ribu hektare per tahun padahal potensi lahan kritis di provinsi ini mencapai satu juta hektare. Sehingga untuk menurunkan laju kerusakan hutan perlu melibatkan semua kalangan untuk menjaga dan melestarikan hutan agar kerusakannya tidak parah.” Kata Susilowati Pejabat Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai narasumber.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa masyarakat kurang peduli dengan kerusakan hutan dan lingkungan meski itu ada di depan mata mereka, seperti yang terjadi di sejumlah lahan pertambangan atau perkebunan yang sebelumnya adalah hutan. Tegasnya.

Sementara Azmi Sirajuddin, seorang pemantau REDD+ juga mengatakan bahwa salah satu kendalah adalah kurangnya pemahaman masyarakat dalam melestarikan hutan, sehingga dia mengajak masyarakat untuk aktif mencatat kerusakan-kerusakan hutan dan melaporkannya kepada pihak berwenang agar segera diperbaiki.

Lain halnya dengan Adriansyah Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka, menyatakan bahwa REDD+ merupakan satu skema dalam mengatasi laju deforstasi dan degradasi hutan akibat ekspansi kapital yang begitu masif terjadi secara global, sehingga untuk mengatasi itu juga harus menghubungakannya dengan masalah kapitalisme.

Lanjut adriansyah sekma REDD+ ini hanya menguntungkan para pihak yang menangani projek itu, dan justru menciptakan komoditi baru dengan mengorbankan petani dalam mengakses hutannya, karena tentunya jika telah implementasi, arahnya pasti petani yang hidup dalam kawasan hutan dan di dalam hutan tidak lagi dengan bebas mengakses hutannya. Lihat saja belum implementasi, kehadiran hutan konservasi sudah banyak petani yang menjadi korban dipindahkan, akibat dari pola pertanian mereka yang dianggap meramba hutan secara ilegal. Ujarnya

Dia juga berharap agar NGO yang masuk dalam pantau REDD+, bekerja dengan serius, tidak saja melihat soal kerusakan lingkungan tetapi melihat problem internal dalam masyarakat, misalnya soal pola produksi yang cenderung akumulatif, ini juga perlu diperhatikan, sehingga tidak terjadi ketimpangan kempemilikan lahan. Sementara REDD+ hanya bertujuan memelihara hutan dan mengkomodifikasi hutan, kalau pemerintah ingin serius mestinya juga harus mempertimbangkan berbagai macam aturan yang membolehkan perusahaan ekstraktif mengeksplotasi hutan secara besar-besaran. Dan menata kembali kepemilikan lahan yang timpang, bukan malah memelihara sistem kapitalisme yang memberikan ruang bagi semua orang untuk memperoleh lahan selagi mampu memenuhi syarat legal dari negara. Selama ini pemerintah dan istansi terkait terkesan hanya melihat hutannya saja, tidak melihat bahwa sistemlah yang bermasalah sehingga jika ada petani yang ingin memperluas lahannya dengan membuka kembali lahan baru pasti dianggap berpotensi terhadap kerusakan hutan. Sementara, fraksi kapitalisme juga dengan bebas melakukan eksploitasi besar-besar terhadap Sumber Daya Alam (SDA) kita.

Untuk itu, perlu pehaman yang lebih progresif, bahwa ini adalah masalah kapitalisme, tidak saja melihat-lihat dipermukaan, sehingga selalu menarik kesimpulan dengan sangat sederhana, penyelesaiannya pun selalu berpatokan pada moratorium atau reformasi kebijakan. Yang harus dikerjakan adalah membantu petani memahami ancaman kapitalisme, dan membantu mereka memajukan produksinya dengan cara kolektif. Kita harus membangun organisasi petani dan memajukannya secara ekonomi politik dan mengintegrasikan dengan perjuangan kelas. Tegasnya.

Perlu diketahui Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan emisi dari deforestasi hutan tropis pada 1990-an sekitar 1,6 milyar ton karbon setiap tahunnya,hal ini setara dengan 20 persen dari total emisi karbon keseluruhan, yang mengakibatkan perubahan lapisan tanah, dan penyumbang terbesar kedua penyebab pemanasan global.