Masyarakat Katu Tolak Pemancangan Tapal Batas TNLL
POSO, MERCUSUAR – Masyarakat Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, menolak pemancangan tapal batas sementara Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di wilayah Katu. Hal itu disampaikan langsung oleh masyarakat Katu, saat pertemuan bersama dengan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu, Hariani Samal dan Kepala Balai Besar TNLL, Ir Sudayatna, di ruang balai pertemuan Desa Katu, Rabu (3/5/2017).
“Kami tidak ingin BPKH Wilayah XVI Palu meneruskan pemancangan tata batas sementara di desa kami. Sebab, kalau mereka berhasil memancang tata batas seluas 697,73 hektare, maka secara hukum, kami sah memberikan wilayah kami kepada TNLL,” kata Kepala Desa Katu, Ferdinan Lumeno.
Menurut Ferdinan, meskipun pemancangan tata batas sementara merupakan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti disampaikan oleh Kepala BPKH wilayah XVI Palu, saat pertemuan bersama masyarakat di Desa Katu, namun, masyarakat tetap menolak, karena dalam penunjukan dan penetapan kawasan hutan khususnya Desa Katu, masyarakat tak pernah dilibatkan.
“Saya mohon kepada petugas BPKH di lapangan untuk tidak melanjutkan pemasangan tata batas TNLL, sebelum tuntutan kami dipenuhi. Masyarakat Katu, tidak akan pernah mau menerima pemancangan tata batas TNLL yang tidak sesuai dengan usulan kami,” tegas Ferdinan
Ia menyatakan, jika BPKH wilayah XVI Palu dan Balai Besar TNLL punya niat baik bekerja sama dengan masyarakat, maka wilayah administrasi Katu seluas 5.461,3 hektare dikeluarkan dari kawasan TNLL. Sebab kata Ferdinan, temuan masyarakat Katu di lapangan, areal yang diputihkan seluas 697,73 hektare tersebut, hanya berada di lahan-lahan perkebunan masyarakat.
Selain Ferdinan, Ketua Lembaga Adat Katu, Ali Pantoli juga menyatakan, pemancangan tata batas TNLL, hanya berada di pinggir-pinggir perkampungan masyarakat Katu, sehingga, banyak lahan pertanian warga tidak masuk dalam areal yang telah diputihkan oleh KLHK.
“Saya sendiri menjadi korban pemancangan tata batas TNLL. Petugas BPKH mematok sebagian besar kebun cokelat saya. Bisa dibayangkan patok mereka hanya berjarak 50 meter dari pinggir jalan ke Desa Rompo. Apalagi di bagian utara dan selatan Katu, semuanya hanya berada di pinggir-pinggir perkampungan,” kata Pantoli.
Menanggapi penolakan masyarakat Katu, Kepala BPKH wilayah VXI Palu, Hariani Samal menyatakan, BPKH hanya melaksanakan tugas dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. BPKH tidak serta-merta mengeluarkan areal sesuai permintaan masyarakat Katu dari kawasan TNLL, sebab itu adalah kewenangan KLHK.
“Kami hanya melaksanakan tugas sesuai dengan keputusan KLHK. Kami sama sekali tidak punya kewenangan memenuhi permintaan masyarakat Katu. Jika masyarakat Katu ingin mengusulkan pelepasan kawasan seluas 5.461,3 hektare, maka itu harus melalui usulan Bupati Poso dan Gubernur Sulawesi Tengah, lalu kemudian diusulkan kepada KLHK,” tandas Samal
Ia, juga menyampaikan, pihaknya akan membuat laporan kepada Panitia Tata Batas Kawasan Hutan, terkait dengan tuntutan masyarakat Katu.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Balai Besar TNLL, Ir Sudayatna. Menurutnya, pihak Balai Besar TNLL tidak memiliki kewenangan dalam mengeluarkan areal sesuai keinginan masyarakat. Sebab, Balai Besar TNLL hanya memiliki fungsi perlindungan, pengamanan, pembinaan dan pengelolaan kekayaan keragaman hayati flora dan fauna di dalam kawasan TNLL. Sepenuhnya, kawasan hutan adalah kewenangan KLHK.
Sementara itu, Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Adriansa Manu menyatakan, persoalan ini sesungguhnya berawal dari pembuatan trayek batas oleh panitia tata batas kawasan hutan.
“Mereka tiba-tiba mematok seluruh kawasan hutan, tanpa ada sosialisasi kepada masyarakat terlebih dulu. Tentu saja ini akan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan institusi kehutanan,” kata Adriansa
Ia menyebut, BPKH Wilayah XVI Palu sebagai institusi yang bertugas memetakan wilayah kawasan hutan di Sulawesi Tengah, seharusnya bertanggung jawab. Sebab BPKH Wilayah XVI Palu, bertugas untuk mengusulkan batas-batas kawasan hutan kepada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, kemudian diputuskan oleh KLHK.
Menurut Adriansa, di Sulawesi Tengah terdapat puluhan desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan, baik TNLL, Hutan Produksi Terbatas (HPT), maupun Hutan Lindung (HL). Semua desa ini dipagari dengan batasan-batasan yang sempit. Bahkan, dalam pelaksanaan pemancangan tata batas sementara kawasan hutan, tidak sedikit lahan-lahan petani yang masuk dalam kawasan hutan.
Parahnya lagi, pihak BPKH Wilayah XVI Palu tetap memaksakan pemancangan tata batas meskipun mengambil lahan-lahan petani. JEF
Sumber: mercusuarnews.com