Melirik Teritorialisasi di Lembantongoa
Oleh Adriansyah
Proyek hutan produksi terbatas (HPT), Izin Usaha Pertambangan (IUP), taman nasional, proyek transmigrasi dan pemindahan-pemindahan penduduk seperti yang dialami petani Lembantongoa adalah contoh kongkrit bagaimana pemerintah melancarkan sejumlah proyek untuk kepentingan “teritorialisasi” modern dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang hidup disana.
Menurut Dr. Peter Vandergeest dan Dr. Nancy Peluso (1995) teritorialisasi berkaitan dengan proses untuk mengeluarkan atau memasukkan penduduk ke dalam batas-batas geografi tertentu dan barkaitan dengan mengontrol apa yang mereka boleh dan tidak boleh dikerjakan dan akses mereka terhadap sumber daya alam di dalam batas-batas teritori itu.
Semenjak zaman kolonial Belanda, pratik teritorialisasi dilakukan melalui berbagai macam cara, di antaranya melalui program-program pemukiman kembali penduduk, pengaturan hak atas tanah, hutan, pertambangan, dan sebagainya. Pemerintah yang menentukan suatu tempat boleh ditinggali dan dimanfaatkan atau tidak. Kegiatan-kegiatan macam apa yang boleh dilakukan di tempat-tempat itu.
Dalam kasus yang dihadapi petani Lembantongoa, proses teritorialisasi itu bertolak dari anggapan bahwa para petani melakukan perambahan hutan. Olehnya, kegiatan semacam ini tidak dibenarkan karena merusak lingkuangan. Kendati, mereka memanfaatkan hasil hutan (kayu, rotan, damar, dll) untuk ramuan rumah dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga, tetapi itu dianggap mengancam kelestarian alam.
Untuk itu, akses mereka terhadap sumber daya hutan harus diakhiri. Caranya, petani Lembantongoa harus dipindahkan dari Kulawi, kampung asal mereka, sekitar 30 tahun lalu.
Setelah puluhan tahun tinggal di Desa Lembantongoa ragam masalah muncul dan tak kunjung selesai. Mereka kembali dipermasalahkan dengan kepemilikan tanah. Kebun yang telah bertahun-tahun digarap, kembali mendapat perlakuan buruk. Sebagian pemukiman dan kebun telah ditancapi tapal batas Hutan Produksi Terbatas (HPT). Ini mengulang tulisan yang sering kali ditemukan ketika Negara mengklaim penguasaan atas tanah: “Tanah ini milik Negara”. Isyaratnya terang benderang, tanah petani Lembantongoa tidak boleh diolah tanpa izin pemerinatah.
Di luar kebun-kebun dan pemukiman mereka adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang sama sekali tidak memperbolehkan warga tinggal di dalamnya dan memanfaatkan hasil hutan apalagi membuka kebun. Kawasan konservasi harus dilindungi dan dijauhkan dari kehidupan sosial masyarakat. Perlakuan semacam ini sudah kerap terjadi di indonesia, lebih khusus di Sulawesi Tengah. Misalnya, Orang Katu pernah terancam dipindahkan sejak wilayah mereka diklaim merupakan bagian dari TNLL.
Cerita baru teritorialisasi. Di tahun 2010, Bupati Sigi mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi kepada Perusahaan Daerah Kota Palu untuk melakukan eksplorasi batu bara di desa Lembantongoa. Izin ini sama sekali tidak melihat bahwa di dalam kawasan itu ada kepemilikan petani yang hidup bergantung dari alam. Pemerintah tidak mau tahu bahwa sebagian wilayah yang menjadi konsesi perusahaan adalah hak milik petani.
Rencana paling baru bagaimana teritorialisasi bakal terjadi datang dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Rencananya, kementrian ini akan menempatkan transmigran lokal dan luar daerah (jawa), 50 KK, Jawa Tengah 25 KK dan Jawa Timur 25 KK, untuk SP 2 di Lembantongoa. Masing-masing kepala keluarga (KK) akan diberikan dua hektar lokasi terdiri dari lahan pekarangan dengan luas 0,125 hektar, lahan satu 0,875 hektar dan lahan dua seluas satu hektar (Mercusuar, 23 November 2012). Lagi, investor asal Surabaya akan mengembangkan padi organik di Lembantongoa, Bupati Sigi Aswadin Randalembang menyambut baik tawaran itu menurutnya, dapat menambah ilmu pengetahuan tentang padi. Mengingat Sigi merupakan daerah dengan area ladang yang luas ditanami padi organik (Mercusuar, 05 Desember 2012).
Penolakan petani di Lembantongoa melalui dialog, surat protes dan aksi-aksi massa terhadap aneka masalah yang dihadapi adalah contoh betapa “teritorialisasi” mengancam kelangsungan hidup mereka. Aksi penolakan petani Lembantongoa adalah sah dan harus terus dilanjudkan.
Tulisan ini sebelumnya, telah diterbitkan oleh Yayasan Tanah Merdeka, Seputar Rakyat Edisi IV Tahun 2012