Menebar Ancaman Lewat Ledakan
Selasa pekan lalu, warga Nganjuk, Jawa Timur, digegerkan oleh ledakan yang kemudian membakar Suzuki Carry bernomor polisi AB 7244 VA. Dua penumpang mobil berwarna merah hati itu, Rifzikka Helta dan Hadi Sucipto, tewas terpanggang. Bahkan, pohon Mahoni dan beberapa tanaman hias yang berada di samping lokasi kejadian di Jalan Gatot Subroto itu ikut terbakar. Anehnya, setelah api dipadamkan, bau amunisi segera menyengat. Lalu, aparat kepolisian mengais-ngais puing-puing itu. Hasilnya, mereka menemukan, antara lain, 791 selongsong peluru, 797 martil peluru (kaliber 5,56, 7,62 dan 7 milimeter), serta 205 serpihan baju anti peluru dan detonator. Belakangan, aparat juga menemukan amunisi kaliber 5,56 milimeter untuk senjata M16 A1, peluru kaliber 7,62 milimeter model geren/espi untuk senapan api laras panjang jenis AK/SKS, dan peluru kaliber 9 milimeter untuk jenis pistol dan selongsong peluru keluaran Pindad.
Yang menjadi soal, dari mana amunisi dan granat sebanyak itu? Sumber FORUM di kalangan intelijen Jawa Timur pun menduga asalnya dari Direktorat Peralatan dan Perbekalan (Ditpalbek) TNI AD di Saradan, Madiun. Tiga anggota Ditpalbek, menurut sumber itu, diduga terlibat. Tapi, sejauh ini Pangdam V/Brawijaya, Mayjen TNI Sudi Silalahi, membantah. “Sampai satuan terkecil pun sudah kami teliti. Dan, alhamdulillah, tak satu butir pun hilang dari situ,” kata Pangdam.
Sudi Silalahi malah melihat kemungkinan lain. Sebab, ada sejumlah dokumen seruan untuk berjihad dan penggalangan dana untuk kaum muslimin di Maluku. Dokumen tersebut dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FK ASWJ) pada 10 Februari 2000 dan ditandatangani Sekretaris Jenderal organisasi itu, Ir. MA’ruf Bahrun. Jadi, “Patut diduga Laskar Jihad terlibat,” ujar Sudi.
Apalagi, menurut Kasat Serse Nganjuk Kapten Nanang Purnomo, Asmi Iskhaq, korban yang selamat [kendati menderita luka bakar serius], adalah Bendahara FK ASWJ. Sebelumnya, kelompok pimpinan Ustad Drs. H. Dja’far Umar Thalib itu pernah menggalang tablig akbar di Stadion Utama Senayan. Dan, secara terbuka menyatakan akan memberangkatkan ribuan pemuda untuk berjihad di Maluku.
Namun, Wakil Ketua FK ASWJ, Anwar Sururi, membantah bahwa para penumpang di mobil tersebut adalah kader ASWJ. “Mbok diselidiki dulu dan tidak buru-buru begitu,” katanya. Sebab, kegiatan FK ASWJ di Maluku hanya untuk berdakwah dan melakukan tugas-tugas kemanusiaan. “Sukarelawan yang kami kirim ke Ambon tidak untuk berperang,” ujar Anwar menegaskan.
Kelompok mana pun pemilik amunisi dan granat itu tampaknya ada kaitannya dengan berbagai kerusuhan akhir-akhirnya. Apalagi, tidak hanya di Ambon, huru-hara juga hampir saja meletus di Medan. Di sana, pekan lalu, serangkaian aksi peledakan bom terjadi. Letupan pertama muncul di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Padang Bulan, Minggu lalu. Ketika Pendeta S.A.M. Silitonga, S.Th. mengajak para jemaat menyanyikan lagu nomor 236, tiba-tiba sebuah bom rakitan berisi ratusan paku dan besi tajam meledak.
Akibatnya, tiga puluh tiga jemaat mengalami luka dan harus menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit di Kota Medan. Salah satunya, Lusiana Purba. Sebuah paku menghantam lehernya, sehingga ia harus dioperasi. Keadaan jemaat lainnya, Betty Hutauruk, lebih memprihatinkan. Sebuah paku nyelonong masuk dan merusak gendang telinga perempuan berusia 28 tahun itu. Beberapa paku lainnya mencederai tengkuk dan lehernya, sehingga penduduk Jalan Nilam, Perumahan Simalingkar, itu tak bisa menggerakkan lehernya.
Ketika suasana mencekam masih terasa, warga Medan kembali dikejutkan oleh kabar adanya dua unit bom lainnya. Masing-masing di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Jalan Sudirman dan Gereja Katholik Kristus Raja di Jalan M.T. Haryono. Tapi, niat jelek pelaku untuk menganiaya dan bahkan membunuh jemaat kali ini tidak kesampaian. Sebab, bom yang dilengkapi pengatur waktu itu keburu ditemukan oleh pengurus gereja. Lalu, bom itu dijinakkan oleh tim penjinak bahan peledak (Jihandak) dari Brigade Mobil Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Utara pimpinan Kolonel Drs. Bagoes Harry.
Keesokan harinya, sebuah ledakan terjadi persis di sebelah Rumah Makan Miramar di Jalan Pemuda. Tapi, tampaknya sumber ledakan bukan bom, melainkan sebuah granat tangan. Selain tembok rumah makan, dinding kaca PT Samudera Indonesia Group yang hanya dipisahkan jalan aspal dengan Miramar ikut hancur. Empat pekerja sebuah diskotek, tak jauh dari lokasi meledaknya granat, mengalami luka cukup serius.
Praktis, sepanjang pekan kemarin, Jihandak Polda Sumatra Utara sangat sibuk. Sebab, di beberapa tempat warga masih menemukan sejumlah bom. Antara lain, di sudut luar pagar Gereja Advent Lubuk Pakam dan di Dusun III Lau Gajah, Desa Namori, Deli Serdang. Belakangan ketahuan kalau bom di Lubuk Pakam itu adalah peninggalan Perang Dunia II yang masih aktif. Sementara yang di Deli Serdang, ternyata benda yang ditemukan Sumitro, warga dusun, adalah alat pengukur suhu milik Badan Meteorologi.
Dengan rentetan kabar semacam itu, wajar bila kemudian warga Medan menjadi sedikit traumatis. Seperti yang terjadi Kamis pekan lalu. Sebuah tas hitam merek President ditemukan tak jauh dari kediaman Wali Kota Medan Drs. Abdillah. Disaksikan oleh ribuan warga, tas seberat satu kilogram itu dibuka. Eh, ternyata isinya pakaian karate dan pakaian dalam.
Dengan komposisi penduduk yang nyaris berimbang antara pemeluk Islam dan Nasrani, menjadikan rumah peribadatan di Medan sebagai sasaran untuk dihancurkan sebenarnya bisa membuat emosi warga “meletup”. Dan, itu pun diakui oleh Kapolda Sumatra Utara, Brigjen Sutanto. “Ada kelompok tertentu yang menginginkan Medan menjadi ‘Ambon kedua’,” katanya.
Untunglah, para pemuka agama menyikapi masalah tersebut dengan arif. “Itu hanya ulah provokator yang ingin menciptakan kondisi kacau dan saling mencurigai,” kata pengurus Majelis Jemaat HKBP Jalan Sudirman, Prof. P. Siagian. Di tingkat nasional, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Yewangoe, menguatkan hal itu. “PGI mengimbau agar semua pihak jangan terpancing oleh berbagai hal bernuansa SARA,” kata Yewangoe.
Tapi, berbagai spekulasi tentang mengapa Medan diteror oleh bom telanjur merebak Tak sedikit yang percaya bahwa pemberantasan j udi dan pemeriksaan Bos Ikatan Pemuda Karya (IPK) Olo Panggabean oleh aparat kepolisian belum lama ini turut memiliki andil. Sebab, orang-orang yang biasanya kecipratan rezeki, seperti penjaga keamanan, kini menganggur. Karena itu, teror beruntun sengaja diciptakan supaya Kapolda terjungkal.
Lain lagi pendapat Timsar Zubil, pelaku peledakan gereja Methodist dan sebuah sekolah kepastoran di Medan, 14 tahun silam. Ia tidak percaya peledakan bom itu berkaitan dengan politik nasional. “Masih banyak cara untuk melengserkan Gus Dur,” kata Timsar kepada Emil W. Aulia dari FORUM. Ia lebih yakin bahwa ada satu skenario terpadu yang bersifat internasional di balik aksi teror tersebut. Tujuannya, tak lain, untuk memecah-belah Indonesia.
Namun, dugaan terkuat, aksi teror tersebut adalah bagian dari eskalasi kerusuhan yang sengaja diciptakan menjelang kerja besar MPR Agustus nanti. “Target pelaku adalah mengubah Sidang Umum MPR menjadi Sidang Istimewa MPR,” kata Brigjen Sutanto.
Masuk akal juga. Sebab, belakangan ini banyak sekali musuh-musuh Presiden Dur. Selain dari kalangan partai, Gus Dur juga mendapat serangan dari kekuatan lama. Buktinya, kerusuhan di daerah lain, seperti Poso, tak kunjung mereda meskipun belasan korban jiwa telah berjatuhan. Pada Jumat pekan silam, dua orang tewas ditembak petugas di Desa Toini, Poso Pesisir. Dan, Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka Sulawesi Tengah, Arianto Sangaji, berpendapat bahwa selain elite daerah, pendukung Cendana terlibat dalam kerusuhan itu. “Benang merahnya sudah jelas. Setiap ada tekanan terhadap kalangan militer atau keluarga Cendana, pasti pertikaian di daerah meletup,” kata Arianto kepada Mustopa dari FORUM.
Benarkah? Wallahu alam. Yang jelas, kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, menepis. Kata Juan, Pak Harto hanya menjadi komoditas politik. Buktinya, “Setiap ada kerusuhan, selalu saja Pak Harto yang dituduh berada di belakang itu,” ujarnya.
Fenty Effendy, Ade Nur Sa’adah (Medan), dan M. Toha (Surabaya)