Siaran Pers

MENGECAM TINDAKAN REPRESIF APARAT KEPOLISIAN TERHADAP PETANI DONGI-DONGI

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA

 

(ED WALHI_Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, KPW- Partai Rakyat Demokratik Sulteng, Serikat Mahasiswa Progresif_Sulteng, Komkot Palu – Partai Rakyat Pekerja, KPKP-ST)

 

Tindakan represif kembali dilakukan oleh aparat kepolisian Sulawesi Tengah. Kali ini terhadap ribuan masa yang dalam perjalanan melakukan demonstrasi menolak pemberhentian tambang rakyat di Dongi-dongi. Demo yang berlangsung pada 29 Maret 2016 itu sedianya akan dilakukan di depan kantor Gubernur Sulawesi Tengah di Kota Palu, tetapi mendapatkan blokade aparat kepolisian di Kawasan Ranoromba, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Dalam memblokade pihak kepolisian membrondong pera demonstran dengan peluru karet dan menembakkan gas air mata. Akibatnya 14 (Empat belas) orang luka akibat tertembak peluru karet dan sekitar 64 orang ditangkap oleh pihak kepolisian.

 

Tindakan represif ini merupakan buntut dari kegagalan pemerintah dalam membangun prespektif penyelesaian konflik agraria di Sulawesi Tengah. Terutama dalam melihat kronis agraria di pedesaan. Di mana petani yang hidup dan menggantungkan hidup di wilayah konservasi diusir tanpa ada jaminan keberlangsungan hidup kedepan. Parahnya lagi, pemerintah dan kepolisian melihat ketika mereka melakukan demonstrasi untuk menyampaikan masalah, dianggap sebagai ancaman.

Penertiban sporadik dengan cara kekerasan terhadap tambang rakyat di Dongi-dongi disebabkan karena sejak awal masalah Dongi-dongi tidak dilihat sebagai masalah sistemik. Di mana negara gagal menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup petani. Sejarah keberadaan penduduk di Dongi-dongi, merupakan sejarah penyingkiran penduduk oleh pemerintah dari tempat tinggal mereka sebelumnya, yakni dari Kulawi dan penduduk Da’a di lereng-lereng Gunung Kamalisi. Penyingkiran ini dengan alasan petani yang tinggal di kawasan hutan dengan aktifitas bertaninnya dianggap merusak hutan.

Artinta, pemerintah menganggap konservasi lingkungan lebih penting dari pada kehidupan rakyat. Sehingga rakyat yang berada dalam wilayah konservasi dipaksa untuk keluar dari kawasan itu, tanpa mempertimbangkan dan memberikan solusi keberlangsungan hidup mereka.

Di sisi lain di balik sporadiknya kolaborasi pemerintah dengan kepolisian dalam menertibkan tambang rakyat di kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu Dongi-dongi, justru kami melihat adanya kebijakan yang ambigu terhadap perlakuan pertambangan skala besar yang nyata-nyata merusak baik hutan maupun lingkungan. Penyerobotan seluas 562.08 hektare Suaka Margasatwa Bangkiriang oleh perusahaan sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati di Kabupaten Banggai dan sekitar 200 hektar hutan lindung menjadi konsesi tambang PT Reski Utama di Kabupaten Morowali Utara, sampai saat ini tidak pernah ditindak tegas kasus tersebut.

Dengan alasan apapun, tindakan represif aparat kepolisian kepada ribuan massa yang hendak menyuarakan aspirasi tidak bisa dibenarkan. Pemerintah dan kepolisian seharusnya melihat aksi demonstrasi sebagai bentuk protes atas kebijakan yang belum memberikan perlindungan dan kesejahtraan bukan sebagai ancaman. Demonstrasi merupakan aksi yang umum dilakukan oleh rakyat di manapun dalam menyampaikan aspirasi bersama.

Sehingga kami antaralain; Eksekutif Daerah WALHI (ED WALHI Sulteng), Yayasan Tanah Merdeka (YTM), KPW- Partai Rakyat Demokratik (KPW-PRD Sulteng), Serikat Mahasiswa Progresif (SMIP Sulteng), Komite kota Palu Partai Rakyat Pekerja (Komkot Palu PRP), KPKP-ST, menyatakan sikap bersama mengecam keras tidakkan represif aparat kepolisian kepada massa demonstrasi dari Dongi-dongi. Dengan alasan apapun, tindakan represif aparat kepolisian kepada ribuan massa yang hendak menyuarakan aspirasi tidak bisa dibenarkan. Pemerintah dan kepolisian seharusnya melihat aksi demonstrasi sebagai bentuk protes atas kebijakan yang belum memberikan perlindungan dan kesejahtraan bukan sebagai ancaman. Demonstrasi merupakan aksi yang umum dilakukan oleh rakyat di manapun dalam menyampaikan aspirasi bersama.