Mengenal Wajah Industrialisasi di Kabupaten Banggai*
Doni Moidady (Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor)
Awal mula penulis mengajukan wacana di atas berawal dari beberapa opini para intelektual di Sulawesi Tengah dan Indonesia yang membahas Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Dari opini-opini tersebut dinyatakan beberapa masalah-masalah faktual yang terjadi di Sulawesi Tengah seperti penegakan hukum, korupsi, penyelamatan lingkungan, partai politik, demokrasi, desentralisasi, dan lain-lain. Namun di balik itu semua, mereka sama sekali tidak mempersoalkan akar masalah sebenarnya atau bahkan mereduksi logika yang bekerja di balik permasalahan itu semua, yaitu mengenai Kapitalisme-Neoliberalisme yang bekerja sebagai sistem ekonomi politik dominan saat ini.Problem yang mengemuka
Investasi datang, lapangan kerja tersedia, namun tingkat pengangguran pun tersedia (Jurnal IndoPROGRESS, Vol II, 2012: 195). Kredo tersebut menjelaskan bahwa masalah konkret di lapangan (baca: industri pertambangan, perkebunan dan kehutanan) saat ini sedang menjadi prioritas utama pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, baik nasional maupun daerah. Masalah-masalah tersebut antara lain; terbukanya peluang tenaga kerja secara luas sekaligus berimplikasi pada tersedianya tenaga kerja yang fleksibel (Labour Market Flexibility), melimpahnya keuntungan (surplus) bagi perusahaan (kapitalis), serta legalisasi kebijakan pemerintah lewat tenaga kerja kontrak dan outsourcing yang memposisikan kelas pekerja sebagai kelas sosial yang selalu di eksploitasi tenaganya.
Narasi singkat di atas kiranya menjadi entry point dari banyaknya masalah pasca masuknya investasi berbasis industri skala besar baik dalam konteks Nasional maupun Daerah.
Dalam konteks yang lebih makro (ekonomi nasional), Chalid Muhammad, mantan direktur eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Ketua Institut Hijau Indonesia (IHI), dalam presentasinya di kegiatan JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif), menyajikan data yang menarik, antara lain[1];
- Pertama, menurut majalah Forbes, 40 orang Indonesia terkaya memiliki aset sebesar 71 miliyar US$. Sebagian besar dari mereka adalah pengusaha industri kapitalis yang bergerak di bidang pengerukan sumber daya alam, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan, HPH dan HTI;
- Kedua, menurut Joyo Winoto, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset (properti, tanah, dan perkebunan) dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia;
- Ketiga, secara sektoral, ada 301 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menguasai 42 juta hektar hutan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut 35 persen daratan Indonesia diijinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan; Sawit Wacth menyatakan hingga Juni 2010, pemerintah telah menyerahkan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada tahun 2020 kepada 30 grup besar yang mengontrol 600 perusahaan.
Berdasarkan artikel dari Anto Sangaji tersebut, disebutkan bahwa Chalid kemudian memiliki kesimpulan bahwa, “negara tiada lain kecuali pelayan sempurna [jongos] korporasi.” Dari data Chalid yang sangat mencengangkan tersebut Sulawesi Tengah tentunya termasuk dalam penetrasi kapital atau bagian dari eksploitasi SDA (Sumber Daya Alam) dan tenaga kerja.
Penulis tidak akan mengelaborasi secara detil bagaimana proses masuknya atau bagaimana beroperasinya kapital (pemilik modal) yang sedang berlangsung di Sulawesi Tengah dan Kabupaten Banggai. Tetapi penulis akan mengajukan beberapa fakta empirik yang dapat membantu pembaca untuk memahami lebih jauh mengenai Sulawesi Tengah dan Kabupaten Banggai.
Pertama, saat ini Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai koridor produksi komoditi berbasis pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel dalam MP3EI (Master Plan Perencanaan Pengembangan Ekonomi Indonesia). Selain itu juga ada beberapa program Departemen/Kementrian beserta turunannya dengan logika yang hampir sama yaitu perluasan pasar komoditas berbasis sumber daya alam (ekstraktif).
Ahlis Djirimu, ekonom asal Universitas Tadulako (Untad), pada saat seminar implementasi MP3EI di Palu sempat menilai MP3EI sebagai mainan baru di Indonesia. Dia pun mempertanyakan apa yang harus dipercepat dan diperluas dalam program ini. Sebab kata dia, MP3EI ini agak terlambat pelaksanaannya. “Diluncurkan ketika potensi ekonomi Indonesia telah terjual ke pihak Asing. MP3EI ini diluncurkan justru setelah asingisasi asset-aset Indonesia,” tandasnya. (Palu ekspres, 2012).
Kemudian Arianto Sangaji, kandidat Doktor dari York University yang menjadi pembicara pada seminar tersebut juga mengatakan bahwa kita harus bisa memahami logika di balik kehadiran MP3EI. Menurutnya, arah dari semua ini adalah kapitalisme. “Kapitalisme atau pasar ini pasti muaranya ke kompetisi. Masyarakat disuruh berlomba untuk berebut, untuk meraih sesuatu. Jelas akumulasi dari Kapitalis ini adalah eksploitasi tenaga kerja murah dan penghancuran massif terhadap lingkungan hidup atau alam. Tiga aspek ini, yaitu kompetisi, SDM, dan teknologi dan konektivitas didiskusikan untuk menunjukkan bahwa MP3EI lebih baik dipahami sebagai sebuah proyek kelas yang memerintah, yakni kelas kapitalis (Palu ekspres, 2012).
Kedua, mari kita lihat problem konkret di Kabupaten Banggai. Di bulan Maret tahun 2011 laporan investigasi lapangan Ardath (aktivis Jatam Sulteng) yang di rilis dalam website Jatam Sulteng mengatakan bahwa proses penyelesaian pembebasan lahan di Desa Uso Kec.Batui yang menjadi loksi mega proyek migas DS-LNG melahirkan makelar tanah (pengusaha lokal). Makelar tanah tersebut terlebih dahulu membeli tanah-tanah warga setempat dengan harga murah kemudian menjualnya dengan memakai jasa pihak ke tiga sehingga negosiasi lebih mudah di lakukan atau melebihi harga pembelian atas warga setempat. Dimensi agraria banyak mempengaruhi proses penetrasi kapital dalam mengeksploitasi daerah ini.
Wajah yang sesungguhnya?
Wajah industri di Kabupaten Banggai bisa di bilang berbeda-beda tingkat perkembangan kapitalismenya (rate of capitalism) dari satu industri ke industri yang lain (unevent development). Hal itu bisa kita lihat dari beberapa variabel. Pertama, pengerahan tenaga kerja buruh oleh manajemen perusahaan. Apakah berbasis pertukaran tenaga kerja, rumah tangga atau buruh-upahan? Kedua, alat-alat produksi yang di gunakan. Apakah berbasis teknologi mutakhir (maju) atau masih menggunakan alat produksi biasa (belum maju secara teknologi)? Ketiga, pengalokasian waktu kerja. Apakah perusahaan menggenjot kerja buruh untuk menghasilkan surplus dengan memperpanjang waktu kerja atau memperpendek waktu kerja dengan mengintensifkan hasil dari apa yang di produksinya dengan bantuan alat teknologi?
Sebagian variabel di atas bisa kita pakai untuk mengetahui perkembangan tingkat kapitalisme di suatu wilayah tertentu yang penetrasi kapitalnya ditandai dengan masuknya industri kecil-menengah dan besar.
Mega proyek DS-LNG dengan pengerahan tenaga kerja berbasis buruh-upahan dan penggunaan teknologi yang sangat maju adalah proyek kelas kapitalis trans-nasional atau pada tingkat kapitalisme yang sudah sangat maju.
Sedangkan beberapa perusahaan sawit di Kabupaten Banggai, misalnya, Sawindo, Wira Mas Permai dan KLS, yang jika kita pakai kerangka yang sama untuk menganalisa perkembangan kapitalismenya, saya menduga baru akan menuju tingkat kapitalisme maju. Hal ini disebabkan salah satu perusahaan yang saya riset secara singkat, pengerahan tenaga kerjanya sudah buruh-upahan. Sementara eksploitasi tenaga kerjanya pun masih mengoptimalkan panjangnya waktu kerja dari pukul 07.00–15.00, dengan rata-rata jumlah panen per jamnya 100 buah/anjang. Jika per jamnya sudah bisa menghasilkan 100 buah (basis) per hari maka bila dari pukul 07.00-15.00 maka petani-pemanen bisa lebih dari 100 buah dalam berproduksi. Itulah surplus-keuntungan yang di nikmati perusahaan dari ratusan hingga ribuan hektar lahan yang di alih fungsikan.
Untuk industri Nikel sendiri, misalnya kita ambil contoh di Kecamatan Pagimana dan Bunta, saya kira kita perlu juga melihat sejauh apa perkembangan kapitalismenya. Kapitalisme yang terjadi adalah dengan karakter yang destruktif (menghancurkan) seluk beluk dimensi sosial, ekonomi, budaya dan kemampuan mengakumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya serta menekan biaya produksi serendah-rendahnya. Sejauh ini memang (sepanjang sejarah) tak pernah berniat pro terhadap kelas pekerja.
Tujuan untuk mengetahui latar belakang perusahaan dan logika ekonomi-politik yang bekerja di balik industri berbasis ekstraktif tersebut adalah upaya penulis untuk membagi tawaran perspektif (paradigma) yang jauh dari klise argumentasi yang banyak di ajukan intelektual-aktivis saat ini. Biasanya para intelektual-aktivis tersebut bersandar pada gosip politik, isu, atau moralitas yang jauh menjangkar dari informasinya (non-realis), atau dalam frase ‘kapitalisme itu bermasalah bukan karena orang-orangnya yang jahat, melainkan kapitalisme itu jahat karena memang dia bermasalah’ bukan sebaliknya.
Kesimpulan singkatnya adalah setelah melihat data dan fakta yang saya ajukan, mungkin pembaca bertanya apa gunanya data dan fakta mencengangkan tersebut atau bahkan mengajukan pertanyaan, apa solusinya dari semua ini?
Penulis tidak berniat memberikan solusi kompatibel atas problem di atas. Penulis berharap setelah pembaca mengetahui fakta dan data mengenai perkembangan tingkat kapitalisme saat ini, khususnya di Sulawesi Tengah dan Kabupaten Banggai, maka pembacalah yang harus mengambil sikap atas semua problem ini.
*Artikel ini ditulis menjelang diskusi publik di Kabupaten Banggai yang diselenggarakan oleh Kpa Waracita dan BEM FISIP Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Luwuk.
[1] Anto Sangaji, “Kapitalisme dan Produksi Ruang,” http://indoprogress.com/kapitalisme-dan-produksi-ruang/
Sumber: Perspektifnews.com