Palu Butuh TGPF Independen
Anto Sangaji [AS]: Kalau melihat dari perspektifnya aparat keamanan, itu kan mereka masih tetap menggunakan cara pandang bahwa kekerasan ini dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kami menganggap bahwa cara pandang ini tidak cukup. Karena, dalam sejumlah kekerasan sebelumnya, misalnya dalam peristiwa pemboman di pasar Tentena dan juga pemboman di pasar Poso, sampai hari ini kan aparat keamanan sama sekali tidak bisa mengungkap siapa pelakunya dan motif di balik kekerasan itu. Yang terjadi adalah selalu salah tangkap.
Kami kemudian melihat bahwa sangat potensial kekerasan-kekerasan semacam itu juga dilakukan oleh unsur-unsur tertentu dalam struktur aparat keamanan misalnya. Dengan motif-motif yang tentu saja mungkin bisa politis, bisa juga alasan-alasan lain yang menggabungkan antara kepentingan politik dan ekonomi tentu saja.
Tentunya kekerasan ini bukan lagi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok yang bertikai. Tokoh-tokoh agama dari kedua belah pihak misalnya, Islam dan Kristen, awal bulan Desember kami pernah memfasilitasi suatu tour (perjalanan, red) ke Jakarta untuk bertemu dengan sejumlah pihak di sana, dengan Dewan Perwakilan Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat sampai dengan Gus Dur. Di situ para tokoh agama ini menyatakan bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi di Sulawesi Tengah, khususnya di Poso dan Palu, bukan lagi dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kita juga bisa mengecek di lapangan.
Kepercayaan antara komunitas itu kan sudah sangat tinggi. Tidak ada lagi serangan-serangan terbuka antara kedua belah pihak. Oleh karena itu investigasi mestinya juga harus dilakukan terhadap aktor-aktor dalam tubuh pemerintah sendiri, aktor-aktor kekerasan yang kemungkinan bisa bergerak secara otonom di luar kendali, di luar kontrol untuk melakukan serangkaian kekerasan ini.
TGPF yang Menekan Pemerintah
Radio Nederland [RN]: Tapi bagaimana supaya mereka itu berpikir ke sana bahwa penyelidikan itu ke aktor-aktor yang ada di dalam tubuh aparat? Bagaimana supaya menekan itu?
AS: Yang paling penting adalah kami menggagas pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPFI). Karena dengan adanya TGPFI, tentu dengan kewenangan yang luas, diharapkan bisa melakukan satu investigasi yang mendalam terhadap siapa saja atau institusi mana saja yang potensial dianggap terkait dengan sejumlah kekerasan di sini.
RN: Tim pencari fakta itu harus terdiri dari siapa saja menurut anda?
AS: Kelompok-kelompok masyarakat sipil, institusi hak asasi manusia dan juga bisa diwakili oleh institusi dari aparat keamanan, misalnya kepolisian. Kita berharap tim gabungan pencari fakta bisa mengungkap jaringan kekerasan secara tuntas dan kemudian bisa merekomendasikan tindakan-tindakan hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan ini.
RN: Tapi apakah anda optimis TPF ini akan berhasil. Ternyata dari pengalaman lalu seperti kasus Munir dan kasus-kasus lain mentok juga?
AS: Saya kira kita menyadari bahwa sejumlah TGPF di Indonesia selama ini boleh disebut mandul sama sekali. Tapi kami juga berharap bahwa usulan pembentukan TPF adalah salah satu model yang bisa dilakukan. Tapi di sisi yang lain, secara paralel memang perlu ada aktivitas-aktivitas yang secara politis diarahkan untuk menekan pemerintah untuk bisa secara lebih serius mengurusi masalah ini.
Jadi tidak hanya sekedar memberikan jalan bagi bekerjanya sebuah otoritas seperti TGPF, tapi secara paralel dilakukan di level (tingkat,red) masyarakat sipil harus juga berlangsung aktivitas politik yang dilakukan secara terus menerus untuk memperjuangkan agar kasus-kasus kekerasan di Sulawesi Tengah ini bisa diungkap secara tuntas.
© Radio Nederland Wereldomroep, all rights reserved.
Sumber : Radio Netherland