Pasukan Terlatih dan Perubahan Pola Kekerasan di Poso
DALAM wawancara dengan sebuah televisi swasta nasional (13/10), Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla menyatakan, serangan-serangan yang terjadi di Poso belakangan ini dilakukan pasukan terlatih. Jusuf menolak peristiwa Beteleme dan penyerangan di Kecamatan Poso Pesisir merupakan konflik antarkomunitas. Pernyataan Menko Kesra sebenarnya hanya mengulangi sejumlah pernyataan yang kerap disampaikan pemegang otoritas keamanan di Poso atau di Sulawesi Tengah. Karena dalam berbagai kasus serangan bersenjata dan misterius di Poso pasca-Deklarasi Malino, pihak kepolisian daerah Sulawesi Tengah sering menuding pasukan terlatih sebagai pelakunya.
Namun, pernyataan-pernyataan itu hanya berhenti di situ tanpa mengungkapkannya secara tuntas.
Tulisan ini hendak melihat, apa yang disebut pasukan terlatih, mengaitkannya dengan pola kekerasan terakhir, serta memberi perspektif tentang penanganan keamanan secara lebih baik sehingga kekerasan dapat diminimalisir.Pasukan terlatih
Pernyataan resmi tentang pasukan terlatih yang meneror Poso terkesan amat abstrak. Pernyataan itu merujuk pada pola-pola teror atau serangan yang terjadi. Misalnya, para penyerang menggunakan senjata organik atau serangan dilakukan kelompok kecil dengan memakai topeng. Para penyerang lalu menghilang setelah melepaskan tembakan yang mematikan dan kerap membakar permukiman penduduk. Sama sekali tak ada elaborasi terhadap sosok pasukan terlatih.
Sebenarnya, amat mudah mengelaborasi sosok pasukan terlatih yang menebar teror di Poso. Di antaranya, mereka menggunakan senjata api-seperti digunakan kesatuan Polri dan TNI-terampil bertempur atau menyerang dalam kelompok kecil. Itu juga berarti pasukan seperti ini memiliki struktur organisasi tempur.
Minimal ada dua pihak yang dapat dikelompokkan sebagai “pasukan terlatih” di Poso. Pertama, pasukan-pasukan organik dan non-organik Polri dan TNI yang ditempatkan di Poso dalam rangka pengamanan daerah itu. Sejak tragedi kemanusiaan Poso terjadi, pemerintah telah atau pernah mengarahkan berbagai kesatuan Polri dan TNI di Poso. Di antaranya, kesatuan Brimob, kesatuan-kesatuan tempur di bawah Kodam Hasanuddin, hingga pasukan elite Kopassus.
Kedua, milisi-milisi bersenjata yang berperang di Poso dengan dalih pembelaan terhadap agama atau umat. Sebut saja, Laskar Jihad dan Laskar Mujahidin di pihak Islam, dan Laskar Kristus dari kelompok Kristen.
Sejak Deklarasi Malino Desember 2001, sebenarnya milisi-milisi bersenjata sudah dilucuti. Dimulai dengan penyerahan puluhan ribu senjata rakitan, pembubaran Laskar Jihad Oktober 2002, dan tumbuhnya kebutuhan untuk hidup damai di masyarakat, maka kekuatan-kekuatan milisi sudah mengalami kemunduran signifikan bila tidak mau dikatakan habis sama sekali.
Karena itu, penyebutan pasukan terlatih mestinya terfokus kepada dua kekuatan itu. Dengan demikian, akan mudah melihat kemungkinan pasukan terlatih berasal dari kesatuan Polri dan TNI yang melakukan desersi atau insubordinasi atau sisa milisi yang sudah tidak terorganisir di Poso. Tanpa itu, aneka pernyataan yang dikeluarkan para pejabat pemerintah hanya akan membingungkan rakyat.
Pola-pola kekerasan
Modus kekerasan di Poso berbeda dari waktu ke waktu. Pada peristiwa Poso Desember 1998 dan April 2000, pola penyerangan antarkomunitas berlangsung terbuka. Serangan melibatkan massa kedua pihak berjumlah ratusan hingga ribuan, menggunakan batu, senjata tajam, senapan angin, bom ikan, dan senjata rakitan dalam jumlah amat terbatas.
Pada peristiwa Poso Mei-Juni 2000, polanya mirip. Aneka serangan antarkomunitas terjadi secara terbuka dengan melibatkan massa ribuan. Penyerangan masih tetap memakai senjata tajam, tetapi pemakaian senjata rakitan kian marak, selain senjata api organik.
Pola ini terus berlanjut hingga Deklarasi Malino. Perang terbuka kerap terjadi, melibatkan pasukan dalam jumlah besar. Penggunaan senjata api rakitan dan organik, selain bom dan senjata tajam tetap terjadi. Para penyerang tidak menghilangkan identitasnya, misalnya dengan menggunakan topeng. Serangan dilakukan kapan saja, siang atau malam hari.
Namun setelah Deklarasi Malino, terjadi perubahan signifikan dalam pola kekerasan di Poso. Pertama, mulai marak terjadi pembunuhan misterius. Belasan korban tewas setelah diberondong senjata organik, umumnya ditembak dari jarak dekat dan di tempat sepi.
Kedua, pemboman dan ancaman bom misterius. Peledakan bom terjadi di berbagai tempat, tidak saja di Poso tetapi juga di Palu. Korban berjatuhan (tewas dan cedera) menyusul peledakan bom. Bahkan, terjadi teror bom melalui telepon.
Ketiga, penyerangan yang dilakukan kelompok misterius. Dikatakan misterius karena penyerangan dilakukan malam hari dan para penyerang memakai topeng. Setelah memberondong penduduk dengan senjata api dan membakar perkampungan, para penyerang menghilang tanpa jejak. Contoh penyerangan kelompok misterius ini adalah peristiwa Beteleme (10/10/2003) dan Poso Pesisir (12/10/2003). Tetapi, jauh sebelum itu modus ini pernah terjadi 6 Agustus 2002. Ketika itu pasukan misterius menyerang Desa Malitu, Kecamatan Poso Pesisir, menggunakan senjata-senjata organik.
Memulihkan atau mengawetkan
Tragedi kemanusiaan Poso mengundang sejumlah pertanyaan, terutama berkait dengan pengerahan pasukan untuk memulihkan keamanan. Biasanya, pengerahan pasukan dalam jumlah besar diikuti redanya ketegangan. Tetapi, kerap terjadi eskalasi kekerasan meningkat tajam menyusul rencana penarikan atau pengurangan pasukan. Karena itu, masyarakat sering mengaitkan hubungan antara penarikan atau pengurangan pasukan dengan peningkatan kekerasan.
Namun, pengaitan ini dilihat dalam konteks Polri dan TNI sendiri. Masyarakat berspekulasi, Polri dan TNI berkepentingan dengan konflik ini.
Pertama, konflik dapat memulihkan citra baik kepada Polri dan TNI sebagai pengayom rasa aman masyarakat. Sebuah citra yang rusak sejak reformasi 1998.
Kedua, konflik yang menahun telah mendatangkan biaya pengamanan tersendiri. Pengerahan pasukan memerlukan biaya. Dengan demikian konflik memiliki benefit impact, tertentu, jika bukan untuk Polri dan TNI secara institusional, maka paling kurang kepada “oknum”, yang menangani keamanan dan ketertiban di Poso.
Pertanyaan lain berhubungan dengan peredaran senjata organik dan amunisi. Berbagai jenis senjata laras panjang seperti SS-1, M-16, AK-47, dan senjata laras pendek seperti berbagai jenis FN, revolver, dan amunisi digunakan dalam tindak kekerasan di Poso.
Tetapi, sejauh ini Polri dan TNI sama sekali tidak pernah mengungkap sumber penyebaran. Memang, penghargaan patut diberikan kepada aparat Polri dan TNI yang berhasil menggagalkan beberapa kasus penyelundupan senjata dan amunisi ke Poso. Sayang, tidak ada investigasi terhadap sumber hulu penyebarannya. Sebagai contoh, dalam kasus penyelundupan ribuan amunisi yang dilakukan Farihin (kini ditahan). Pada boks tertulis PT Pindad. Artinya, amat mudah bagi aparat keamanan untuk mengungkap mata rantainya. Padahal, tanpa mengungkap sumber hulu, ibarat aparat keamanan mengawetkan kekerasan.
Karena itu, perspektif mengenai penanganan keamanan di Poso harus memprioritaskan dua jalan. Pertama, Polri dan TNI harus dapat mengungkap jaringan penyebaran senjata dan amunisi di Poso dengan menginvestigasi sumber hulu. Bagaimanapun, hanya Polri dan TNI yang memiliki otoritas dan hak eksklusif dalam mengontrol penyebaran senjata dan amunisi di Nusantara.
Kedua, Polri dan TNI harus dapat mengungkapkan kekuatan-kekuatan bersenjata dan terlatih yang menebar teror di Poso akhir-akhir ini. Apalagi, indikasi awal tentang hal itu sudah terkuak. Misalnya, Badan Intelijen Negara (BIN) telah mencium adanya penyerangan sebelum peristiwa Beteleme dan Poso Pesisir. Mestinya, aparat Polri dan TNI sesigap seperti pengungkapan kasus bom Bali dan bom Marriott dalam waktu relatif singkat.
Tanpa melakukan dua hal itu, kredibilitas Polri dan TNI kian merosot. Bagaimanapun, masyarakat di Poso dan Sulawesi Tengah sudah kian cerdas dalam melihat kekerasan yang terjadi di sekitarnya. Terutama di Poso, tumbuhnya saling kepercayaan di antara masyarakat kian menegaskan, kekerasan yang terjadi saat ini bukan datang dari masyarakat. Masyarakat percaya, ada pihak yang bermain api di Poso. Itu tanggung jawab Polri dan TNI untuk mengungkapnya.
Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka di Palu