Pengungkapan Korupsi Dana Kemanusiaan Poso
Pekan lalu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menetapkan Andi Azikin Suyuti, Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Sulawesi Tengah sebagai tersangka. Tuduhannya, terlibat dalam korupsi dana bahan bangunan rumah (BBR) untuk pengungsi korban kerusuhan Poso senilai Rp 6,4 milyar. Sejauh ini, bersama empat orang lainnya Hi Agus, Ivan Sijaya, Mubin Raja Dewa, dan Kadir Sidik ia ditahan di sel tahanan Mabes Polri. Sumber : Harian sore Mercusuar PaluPenahanan Azikin dan kawan-kawan sungguh istimewa. Pertama, merupakan kredit point bagi Polri dalam pemberantasan korupsi di Sulawesi Tengah. Bahwa, kepolisian telah membongkar mitos di sebagian kalangan bahwa Azikin tidak dapat disentuh (untouchable) dalam pemberantasan korupsi dana pengungsi Poso.
Bukan apa-apa, sebelum ini citra kepolisian dan juga kejaksaan di daerah ini sangat buruk dalam pemberantasan korupsi Poso. Kedua institusi ini kerap menjadi sorotan, karena beberapa anggotanya menjadi bagian dari problem. Investigasi Yayasan Tanah Merdeka menunjukkan hal itu, sejumlah bekas pejabat di kedua institusi itu memperoleh aliran dana dan gratifikasi yang bersumber dari dana pengungsi Poso.
Rencana Polri memeriksa Gubernur Sulawesi Tengah juga patut diacungi jempol. Kendati belum jelas dalam status apa pemeriksaan itu akan dilakukan, tetapi langkah hukum ini akan memberikan preseden positif, yakni memulihkan citra Polri yang sebelumnya kedodoran dalam perang melawan korupsi. Bahwa, Polri tidak bertindak diskriminatif terhadap siapa pun yang mesti bertanggung jawab terhadap penyaluran dana bantuan kemanusiaan Poso.
Kedua, Azikin juga tidak disentuh hukum, karena dikesankan memiliki jaringan politik yang kuat di daerah ini. Beberapa waktu lalu, ketika Partai Golkar mencari kandidat gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah, kendati tidak terpilih, tetapi nama Azikin juga diajukan sebagai salah satu kandidat wakil gubernur mendampingi Aminuddin Ponulele. Ini menunjukkan bahwa Azikin benar-benar memiliki “kaki” di partai warisan Orde Baru itu.
Ketiga, penahanan terhadap Azikin dan kawan-kawan benar-benar merupakan tindakan luar biasa (extraordinary action). Inilah untuk pertama kali, dalam sejarah penahanan tersangka korupsi di Indonesia, berlangsung tidak seperti biasanya. Mereka diboyong ke Jakarta menggunakan pesawat khusus milik polisi, di bawah penjagaan ketat aparat kepolisian.
Gunung es
Pemerintah pusat sejak tahun 2001 telah menyalurkan dana lebih seratusan milyar untuk pengungsi korban kerusuhan Poso. Bantuan itu meliputi jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup), bahan bangunan rumah (BBR), pemulangan pengungsi, santunan korban, dan dana lauk pauk (lihat Tabel). Nilai totalnya, diperkirakan mencapai Rp 168 milyar.
Tabel Bantuan dana kemanusiaan Poso (2002-2004)
Tahun Jenis Jumlah Nilai per KK Total
bantuan Pengungsi (KK) (rupiah) (rupiah)
2002 Jadup 13.326 2.500.000 33.315.000.000
& bedup
2002 BBR 5.813 5.000.000 29.065.000.000
2002 Pemulangan
pengungsi 11.000 1.250.000 13.750.000.000
2003-
2004 Jadup
& bedup 17.653 2.500.000 59.362.500.000
2003 BBR 1.298 5.000.000 6.490.000.000
TOTAL 141.982.500.000
Catatan : Bantuan ini di luar dana lauk pauk dan santunan korban kerusuhan.
Saat ini, Polri baru menjerat satu kasus dana bantuan yang disangkakan kepada Azikin dan kawan-kawan. Yakni, kasus penyaluran BBR senilai Rp 6,4 milyar pada tahun 2003. Dibandingkan dengan kasus bantuan pengungsi Poso, maka kasus BBR tahun 2003 hanya fenomena gunung saja. Sebab, kasus korupsi yang lebih “gila-gilaan” terjadi dalam tahun 2002, serta penyaluran jadup dan bedup tahun 2003/2004.
Oleh karena itu, kita mengharapkan pengungkapan kasus korupsi BBR tahun 2003 merupakan titik masuk. Aparat kepolisian harus bergerak cepat untuk mengungkap kasus-kasus dana bantuan tahun sebelumnya yang nilainya jauh berlipat ganda.
Waktu 6 (enam) bulan yang dimandatkan oleh Inpres No 14 tentang Langkah Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso, harus menjadi pijakan Polri untuk segera mengambil tindakan extraordinary, untuk mengungkap korupsi dana kemanusiaan Poso sampai ke akar-akarnya.
Modus operandi
Aparat kepolisian mesti memetakan modus operandi korupsi dana bantuan pengungsi Poso. Secara umum, modus itu meliputi, penggelembungan (mark up) angka pengungsi, pemotongan, pembayaran fiktif, pemalsuan dokumen, penyogokan, dan modus manipulatif lainnya.
Rencana Polri melacak aliran dana korupsi Poso (Mercusuar, 3 Desember 2005) juga merupakan langkah tepat. Pelacakan itu sangat diperlukan untuk mengetahui untuk apa dana itu dipakai dan siapa saja penggunanya. Yang lebih penting, penegak hukum harus tidak ragu-ragu menindak siapa saja yang terkait manipulasi dana bantuan kemanusiaan Poso itu.
Bagaimanapun, korupsi dana bantuan kemanusiaan Poso harus dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan tersendiri.
Di tengah-tengah darah dan air mata yang mengalir di Poso, sejumlah orang telah berpesta pora menggerogoti dana-dana itu. Para koruptor telah menjadikan kekerasan Poso sebagai komoditi, memperkaya diri sendiri dengan cara-cara paling primitif.
(Mahfud Masuara & Arianto Sangaji adalah aktivis Yayasan Tanah Merdeka di Palu).