Perhutanan Sosial Program Dibalik Agenda Eksploitasi
Palu – Program Perhutanan Sosial (PS) dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI dinilai sebuah program yang lahir di balik adanya agenda eksploitasi alam besar-besaran di negeri-negeri industri maju, termasuk salah satunya Indonesia. Mengapa demikian karena negara-negara maju tidak ingin menanggung resiko kerusakan alam sehingga menunjuk negeri-negeri berkembang yang memiliki hutan tropis seperti Indonesia untuk menjaga dan memperbaiki tata kelola hutan dan lahannya.
Demikian ditegaskan Adriansa Manu, Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Sulawesi Tengah, menyikapi soal program Perhutanan Sosial (PS) baru-baru ini. Menurutnya mekanisme itu telah lama sejak pertemuan Protocol Kyoto. Kemudian diratifikasi kembali dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada tahun 2015. Hasilnya negara-negara maju yang memproduksi energi fosil dalam jumlah masif tidak ingin bertanggung jawab atas krisis ekologi global. “Mereka lantas menunjuk negeri-negeri berkembang yang memiliki hutan tropis terbesar dunia untuk menanggulanginya,’’ ungkapnya.
Dia mengatakan negara-negara maju telah berhasil mengalihkan krisis ekologi dunia ini dengan menunjuk negeri seperti Indoesia untuk menanggung kerusakkan yang disebabkan oleh industri (negara maju). “Ini tentu tidak adil, akar masalahnya ada di sana (negeri industri maju) lalu kita (Indonesia) diminta untuk menanggungnya,” tuturnya.
Dalam pertemuan Protocol Kyoto itu terangnya, negeri-negeri industri maju hanya bertanggung jawab untuk memberikan insentif berupa dana kepada negara-negara berkembang untuk menjaga hutannya. Indonesia justru menganggap pemberian dana tersebut adalah peluang yang tak boleh ditolak. Sehingga Pemerintah Indonesia berkomitmen meneruskan progran REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) dan sejumlah program lainnya yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim.
“Dari situ 12 juni lalu Mmenteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia menandatangani kerja sama di Oslo, Norwegia, salah satu kerja sama yang dimaksud adalah bidang perubahhan iklim/kehutanan. Indonesia pada fase-2 kerja sama REDD+ memperoleh dana hibah USD 1 millyar. Indonesia juga memperoleh dana hibah dari Jepang, Inggris dan Ammerika Serikat,” terangnya.
Lanjut Adriansa, akibat dari lemahnya pemerintah Indonesia di hadapan negeri-negeri maju ini membuat petani-petani kecil yang hidup ratusan tahun di dalam kawasan hutan dikorbankan. Petani kemudian dikontrol melalui sejumlah program kehutanan bahkan mereka juga terancam diusir dari kampungnya. Sebagai tindak lanjut dari penanganan emisi karbon, pemerintah membuat sejumlah instrumen di antaranya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
“Instrumen ini secara eksplisit membatasi petani mengelola (berkebun) di dalam kawasan hutan. Para petani di dalam dan sekitar kawasan hutan seakan diberi akses untuk memanfaatkan komoditas tertentu. Sementara mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang berimplikasi mengubah fungsi kawasan hutan. Mereka juga tidak sembarang memanfaatkan hutan, harus ada izin dari KLHK jika ingin mengaksesnya,” tegasnya.
Selain itu, menurut Adriansa salah satu instrumen penting keseriusan pemerintah menata kembali pengelolaan hutan dan lahan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Peraturan ini menurutnya mengharuskan perlindungan terhadap kawasan hutan. “Petani-petani kecil yang selama ini tinggal di dalam kawasan hutan dikeluarkan/dipindahkan. Sementara, pilihan-pilihan lain yang diberikan negara kepada petani kecil amat berat, mereka hanya diberikan ruang untuk mengajukan skema Perhutanan Sosial atau justru resettlement,” tandasnya. (cdy/*)
Sumber: Harian Radar Sulteng, Edisi 21 Oktober 2017